Kerajaan Medang

Mdaη

 

752–1045
Kerajaan Medang pada Periode Jawa Tengah dan Jawa Timur
IbukotaJawa Tengah: Mdaη i Bumi Mataram (lokasi tepat tidak diketahui, diperkirakan di lebih kurang Yogyakarta dan Prambanan), selanjutnya pindah ke Poh Pitu dan Mamrati

Jawa Timur: Mdaη i Tamwlang dan Mdaη i Watugaluh (dekat Jombang), selanjutnya pindah ke Mdaη i Wwatan (dekat Madiun)

BahasaJawa Kuna, Sanskerta
AgamaKejawen, Hindu, Buddha, Animisme
PemerintahanMonarki
Raja
 - 732—760Sri Sanjaya
 - 985—1006Dharmawangsa Teguh
Sejarah 
 - Sri Sanjaya mendirikan Wangsa Sanjaya (Prasasti Canggal)752
 - Kekalahan Dharmawangsa dari Wurawari dan Sriwijaya1045
Mata uangMasa dan Tahil (koin emas dan perak lokal)
Artikel ini anggota dari seri
Sejarah Indonesia
Sejarah Indonesia.png
Lihat pula:
Garis waktu sejarah Indonesia
Sejarah Nusantara
Prasejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Kutai (abad ke-4)
Tarumanagara (358–669)
Kalingga (abad ke-6 sampai ke-7)
Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-13)
Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)
Kerajaan Medang (752–1006)
Kerajaan Kahuripan (1006–1045)
Kerajaan Sunda (932–1579)
Kediri (1045–1221)
Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)
Singhasari (1222–1292)
Majapahit (1293–1500)
Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)
Kerajaan Islam
Penyebaran Islam (1200-1600)
Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521)
Kesultanan Ternate (1257–sekarang)
Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)
Kesultanan Malaka (1400–1511)
Kerajaan Inderapura (1500-1792)
Kesultanan Demak (1475–1548)
Kesultanan Kalinyamat (1527–1599)
Kesultanan Aceh (1496–1903)
Kesultanan Banten (1527–1813)
Kesultanan Cirebon (1552 - 1677)
Kesultanan Mataram (1588—1681)
Kesultanan Siak (1723-1945)
Kerajaan Kristen
Kerajaan Larantuka (1600-1904)
Kolonialisme bangsa Eropa
Portugis (1512–1850)
VOC (1602-1800)
Belanda (1800–1942)
Kemunculan Indonesia
Kebangkitan Nasional (1899-1942)
Pendudukan Jepang (1942–1945)
Revolusi nasional (1945–1950)
Indonesia Merdeka
Orde Lama (1950–1959)
Demokrasi Terpimpin (1959–1965)
Masa Transisi (1965–1966)
Orde Baru (1966–1998)
Era Reformasi (1998–sekarang)

Kerajaan Medang (atau sering juga dikata Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu) merupakan nama sebuah kerajaan yang berdiri di Jawa Tengah pada masa abad ke-8, selanjutnya berpindah ke Jawa Timur pada masa abad ke-10. Para raja kerajaan ini banyak membiarkan lepas sama sekali bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta mendirikan banyak candi baik yang bercorak Hindu maupun Buddha. Kerajaan Medang hasilnya runtuh pada awal masa abad ke-11.

Nama

Pada umumnya, kata Kerajaan Medang hanya lazim dipakai untuk menyebut periode Jawa Timur saja, padahal berdasarkan prasasti-prasasti yang telah ditemukan, nama Medang sudah dikenal sejak periode sebelumnya, yaitu periode Jawa Tengah.

Sementara itu, nama yang lazim dipakai untuk menyebut Kerajaan Medang periode Jawa Tengah merupakan Kerajaan Mataram, yaitu merujuk untuk salah daerah ibu kota kerajaan ini. Kadang untuk membedakannya dengan Kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada masa abad ke-16, Kerajaan Medang periode Jawa Tengah biasa pula dikata dengan nama Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu.

Pusat Kerajaan Medang

Letak Mataram Kuno periode Jawa Tengah.
Pusat Kerajaan Medang periode Jawa Timur.

Bhumi Mataram merupakan sebutan lama untuk Yogyakarta dan lebih kurangnya. Di daerah inilah untuk pertama kalinya istana Kerajaan Medang diperkirakan berdiri (Rajya Medang i Bhumi Mataram). Nama ini ditemukan dalam sebagian prasasti, misalnya prasasti Minto dan prasasti Anjuk ladang. Kata Mataram selanjutnya lazim dipakai untuk menyebut nama kerajaan secara keseluruhan, meskipun tidak semasanya kerajaan ini berpusat di sana.

Sesungguhnya, pusat Kerajaan Medang sempat mengalami sebagian kali perpindahan, bahkan sampai ke daerah Jawa Timur sekarang. Sebagian daerah yang sempat sebagai lokasi istana Medang berdasarkan prasasti-prasasti yang sudah ditemukan selang lain,

  • Medang i Bhumi Mataram (zaman Sanjaya)
  • Medang i Mamrati (zaman Rakai Pikatan)
  • Medang i Poh Pitu (zaman Dyah Balitung)
  • Medang i Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa)
  • Medang i Tamwlang (zaman Mpu Sindok)
  • Medang i Watugaluh (zaman Mpu Sindok)
  • Medang i Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh)

Menurut agak, Mataram terletak di daerah Yogyakarta sekarang. Mamrati dan Poh Pitu diperkirakan terletak di daerah Kedu. Sementara itu, Tamwlang sekarang dikata dengan nama Tembelang, sedangkan Watugaluh sekarang dikata Megaluh. Keduanya terletak di daerah Jombang. Istana paling kesudahan, yaitu Wwatan, sekarang dikata dengan nama Wotan, yang terletak di daerah Madiun.

Awal berdirinya kerajaan

Prasasti Mantyasih tahun 907 atas nama Dyah Balitung menceritakan dengan jelas bahwa raja pertama Kerajaan Medang (Rahyang ta rumuhun ri Medang ri Poh Pitu) merupakan Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.

Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732, namun tidak menyebut dengan jelas apa nama kerajaannya. Ia hanya memberitakan tidak kekurangannya raja lain yang memerintah pulau Jawa sebelum dirinya, bernama Sanna. Sepeninggal Sanna, negara sebagai serampangan. Sanjaya selanjutnya tampil sebagai raja, atas dukungan ibunya, yaitu Sannaha, saudara perempuan Sanna.

Sanna, juga dikenal dengan nama "Sena" atau "Bratasenawa", merupakan raja Kerajaan Galuh yang ketiga (709 - 716 M). Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora (saudara satu ibu Sanna) dalam tahun 716 M. Sena hasilnya melarikan diri ke Pakuan, menanti perlindungan pada Raja Tarusbawa. Tarusbawa yang merupakan raja pertama Kerajaan Sunda (setelah Tarumanegara pecah sebagai Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh) merupakan sahabat baik Sanna. Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya sebagai menantunya. Sanjaya, anak Sannaha saudara perempuan Sanna, berpikir-pikir menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Untuk itu ia menanti bantuan Tarusbawa (mertuanya yangg merupakan sahabat Sanna). Hasratnya diperllihatkan setelah sebagai Raja Sunda yang memerintah atas nama isterinya. Hasilnya Sanjaya sebagai penguasa Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Kalingga (setelah Ratu Shima mangkat). Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya. Sebelum ia membiarkan lepas sama sekali kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan selang puteranya, Tamperan, dan Resi Pengajar Demunawan. Sunda dan Galuh sebagai kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Pengajar Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.

Kisah hidup Sanjaya secara panjang lebar terdapat dalam Carita Parahyangan yang baru ditulis ratusan tahun setelah kematiannya, yaitu lebih kurang masa abad ke-16.

Dinasti yang berkuasa

Bukti terawal sistem mata uang di Jawa. Emas atau keping tahil Jawa, lebih kurang masa abad ke-9.

Biasanya para sejarawan menyebut tidak kekurangan tiga dinasti yang sempat berkuasa di Kerajaan Medang, yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra pada periode Jawa Tengah, serta Wangsa Isyana pada periode Jawa Timur.

Kata Wangsa Sanjaya merujuk pada nama raja pertama Medang, yaitu Sanjaya. Dinasti ini beribadat Hindu arus Siwa. Menurut teori van Naerssen, pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran (pengganti Sanjaya lebih kurang tahun 770-an), kekuasaan atas Medang ditempati oleh Wangsa Sailendra yang beribadat Buddha Mahayana.

Mulai saat itu Wangsa Sailendra berkuasa di Pulau Jawa, bahkan berhasil pula merebut Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatra. Sampai hasilnya, lebih kurang tahun 840-an, seorang keturunan Sanjaya bernama Rakai Pikatan berhasil menikahi Pramodawardhani putri mahkota Wangsa Sailendra. Berkat perkawinan itu ia bisa sebagai raja Medang, dan memindahkan istananya ke Mamrati. Peristiwa tersebut diasumsikan sebagai awal kebangkitan pulang Wangsa Sanjaya.

Menurut teori Bosch, nama raja-raja Medang dalam Prasasti Mantyasih diasumsikan sebagai anggota Wangsa Sanjaya secara keseluruhan. Sementara itu Slamet Muljana berpendapat bahwa daftar tersebut merupakan daftar raja-raja yang sempat berkuasa di Medang, dan bukan daftar silsilah keturunan Sanjaya.

Contoh yang diajukan Slamet Muljana merupakan Rakai Panangkaran yang diyakininya bukan putra Sanjaya. Gagasannya ialah, prasasti Kalasan tahun 778 memuji Rakai Panangkaran sebagai “permata wangsa Sailendra” (Sailendrawangsatilaka). Dengan demikian argumen ini mendorong teori van Naerssen tentang kekalahan Rakai Panangkaran oleh seorang raja Sailendra.

Menurut teori Slamet Muljana, raja-raja Medang versi Prasasti Mantyasih mulai dari Rakai Panangkaran sampai dengan Rakai Garung merupakan anggota Wangsa Sailendra. Sedangkan kebangkitan Wangsa Sanjaya baru dimulai sejak Rakai Pikatan naik takhta menukarkan Rakai Garung.

Kata Rakai pada zaman Medang identik dengan Bhre pada zaman Majapahit, yang bermakna “penguasa di”. Jadi, gelar Rakai Panangkaran sama gunanya dengan “Penguasa di Panangkaran”. Nama aslinya ditemukan dalam prasasti Kalasan, yaitu Dyah Pancapana.

Slamet Muljana selanjutnya mengidentifikasi Rakai Panunggalan sampai Rakai Garung dengan nama-nama raja Wangsa Sailendra yang telah diketahui, misalnya Dharanindra ataupun Samaratungga. yang semasa ini cenderung diasumsikan bukan anggota dari daftar para raja versi Prasasti Mantyasih.

Sementara itu, dinasti ketiga yang berkuasa di Medang merupakan Wangsa Isana yang baru muncul pada ‘’periode Jawa Timur’’. Dinasti ini didirikan oleh Mpu Sindok yang mendirikan istana baru di Tamwlang lebih kurang tahun 929. Dalam prasasti-prasastinya, Mpu Sindok menyebut dengan tegas bahwa kerajaannya merupakan kelanjutan dari Kadatwan Rahyangta i Medang i Bhumi Mataram.

Daftar raja-raja Medang

Apabila teori Slamet Muljana berlaku, maka daftar raja-raja Medang sejak masih berpusat di Bhumi Mataram sampai dihabisi di Wwatan bisa disusun secara komplet sebagai berikut:

Candi Prambanan dari masa abad ke-9, terletak di Prambanan, Yogyakarta, dibangun selang masa pemerintahan Rakai Pikatan dan Dyah Balitung.
  1. Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang
  2. Rakai Panangkaran, awal berkuasanya Wangsa Syailendra
  3. Rakai Panunggalan alias Dharanindra
  4. Rakai Warak alias Samaragrawira
  5. Rakai Garung alias Samaratungga
  6. Rakai Pikatan suami Pramodawardhani, awal kebangkitan Wangsa Sanjaya
  7. Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala
  8. Rakai Watuhumalang
  9. Rakai Watukura Dyah Balitung
  10. Mpu Daksa
  11. Rakai Layang Dyah Tulodong
  12. Rakai Sumba Dyah Wawa
  13. Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur
  14. Sri Lokapala suami Sri Isanatunggawijaya
  15. Makuthawangsawardhana
  16. Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Medang dihabisi

Pada daftar di atas hanya Sanjaya yang memakai gelar Sang Ratu, sedangkan raja-raja sesudahnya semua memakai gelar Sri Maharaja.

Susunan pemerintahan

Raja merupakan pemimpin tertinggi Kerajaan Medang. Sanjaya sebagai raja pertama memakai gelar Ratu. Pada zaman itu kata Ratu belum identik dengan kaum perempuan. Gelar ini setara dengan Datu yang gunanya "pemimpin". Keduanya merupakan gelar asli Indonesia.

Ketika Rakai Panangkaran dari Wangsa Sailendra berkuasa, gelar Ratu dihapusnya dan diwakili dengan gelar Sri Maharaja. Kasus yang sama terjadi pada Kerajaan Sriwijaya di mana raja-rajanya semula bergelar Dapunta Hyang, dan setelah dikuasai Wangsa Sailendra juga berubah sebagai Sri Maharaja.

Pemakaian gelar Sri Maharaja di Kerajaan Medang tetap dilestarikan oleh Rakai Pikatan meskipun Wangsa Sanjaya berkuasa pulang. Hal ini bisa dilihat dalam daftar raja-raja versi Prasasti Mantyasih yang menceritakan hanya Sanjaya yang bergelar Sang Ratu.

Jabatan tertinggi sesudah raja ialah Rakryan Mahamantri i Hino atau kadang ditulis Rakryan Mapatih Hino. Jabatan ini dipegang oleh putra atau saudara raja yang memiliki peluang untuk naik takhta selanjutnya. Misalnya, Mpu Sindok merupakan Mapatih Hino pada masa pemerintahan Dyah Wawa.

Jabatan Rakryan Mapatih Hino pada zaman ini lain dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Patih zaman Majapahit setara dengan perdana menteri namun tidak berhak untuk naik takhta.

Jabatan sesudah Mahamantri i Hino secara bersambung merupakan Mahamantri i Halu dan Mahamantri i Sirikan. Pada zaman Majapahit jabatan-jabatan ini masih tidak kekurangan namun hanya sekadar gelar kehormatan saja. Pada zaman Wangsa Isana berkuasa masih ditambah lagi dengan jabatan Mahamantri Wka dan Mahamantri Bawang.

Jabatan tertinggi di Medang selanjutnya ialah Rakryan Kanuruhan sebagai pelaksana perintah raja. Mungkin semacam perdana menteri pada zaman sekarang atau setara dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Jabatan Rakryan Kanuruhan pada zaman Majapahit memang masih tidak kekurangan, namun kiranya setara dengan menteri dalam negeri pada zaman sekarang.

Keadaan orang

Temuan Wonoboyo berupa artifak emas menunjukkan kekayaan dan kehalusan seni kecerdikan budi kerajaan Medang.

Orang Medang sejak periode Bhumi Mataram sampai periode Wwatan biasanya menjalankan tugas sebagai petani. Kerajaan Medang memang terkenal sebagai negara agraris, sedangkan saingannya, yaitu Kerajaan Sriwijaya merupakan negara maritim.

Agama resmi Kerajaan Medang pada masa pemerintahan Sanjaya merupakan Hindu arus Siwa. Ketika Sailendrawangsa berkuasa, agama resmi kerajaan beralih sebagai Buddha arus Mahayana. Selanjutnya pada saat Rakai Pikatan dari Sanjayawangsa berkuasa, agama Hindu dan Buddha tetap hidup berdampingan dengan penuh toleransi.

Konflik takhta periode Jawa Tengah

Pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi putra Rakai Pikatan (sekitar 856880–an), ditemukan sebagian prasasti atas nama raja-raja lain, yaitu Maharaja Rakai Gurunwangi dan Maharaja Rakai Limus Dyah Dewendra. Hal ini menunjukkan seandainya pada saat itu Rakai Kayuwangi bukanlah satu-satunya maharaja di Pulau Jawa. Sedangkan menurut prasasti Mantyasih, raja sesudah Rakai Kayuwangi merupakan Rakai Watuhumalang.

Dyah Balitung yang diduga merupakan menantu Rakai Watuhumalang berhasil mempersatukan pulang kekuasaan seluruh Jawa, bahkan sampai Bali. Mungkin sebab kepahlawanannya itu, ia bisa mewarisi takhta mertuanya.

Pemerintahan Balitung diperkirakan dihabisi sebab terjadinya kudeta oleh Mpu Daksa yang mengaku sebagai keturunan asli Sanjaya. Ia sendiri selanjutnya ditukarkan oleh menantunya, bernama Dyah Tulodhong. Tidak diketahui dengan pasti apakah pengolahan suksesi ini berlanjut damai ataukah melalui kudeta pula.

Tulodhong hasilnya tersingkir oleh pemberontakan Dyah Wawa yang sebelumnya menjabat sebagai pegawai pengadilan.

Teori van Bammelen

Menurut teori van Bammelen, perpindahan istana Medang dari Jawa Tengah menuju Jawa Timur disebabkan oleh letusan Gunung Merapi yang sangat dahsyat. Konon sebagian puncak Merapi hancur. Selanjutnya lapisan tanah begeser ke arah barat daya sehingga terjadi lipatan, yang selang lain, membentuk Gunung Gendol dan lempengan Pegunungan Menoreh. Letusan tersebut disertai gempa bumi dan hujan material vulkanik berupa sisa dari pembakaran dan batu.

Istana Medang yang diperkirakan pulang tidak kekurangan di Bhumi Mataram hancur. Tidak diketahui dengan pasti apakah Dyah Wawa tewas dalam bencana dunia tersebut ataukah sudah meninggal sebelum peristiwa itu terjadi, sebab raja selanjutnya yang bertakhta di Jawa Timur bernama Mpu Sindok.

Mpu Sindok yang menjabat sebagai Rakryan Mapatih Hino mendirikan istana baru di daerah Tamwlang. Prasasti tertuanya berangka tahun 929. Dinasti yang berkuasa di Medang periode Jawa Timur bukan lagi Sanjayawangsa, melainkan sebuah keluarga baru bernama Isanawangsa, yang merujuk pada gelar abhiseka Mpu Sindok yaitu Sri Isana Wikramadharmottungga.

Permusuhan dengan Sriwijaya

Selain merebut Medang, Wangsa Sailendra juga merebut Kerajaan Sriwijaya di pulau Sumatra. Hal ini ditandai dengan ditemukannya Prasasti Ligor tahun 775 yang menyebut nama Maharaja Wisnu dari Wangsa Sailendra sebagai penguasa Sriwijaya.

Hubungan senasib selang Jawa dan Sumatra berubah sebagai permusuhan ketika Wangsa Sanjaya bergerak pulang memerintah Medang. Menurut teori de Casparis, lebih kurang tahun 850–an, Rakai Pikatan berhasil menyingkirkan seorang anggota Wangsa Sailendra bernama Balaputradewa putra Samaragrawira.

Balaputradewa selanjutnya sebagai raja Sriwijaya di mana ia tetap menyimpan dendam terhadap Rakai Pikatan. Perselisihan selang kedua raja ini berkembang sebagai permusuhan turun-temurun pada generasi selanjutnya. Selain itu, Medang dan Sriwijaya juga berkompetisi untuk merebut kesudahan lintas perdagangan di Asia Tenggara.

Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut bahkan ketika Wangsa Isana berkuasa. Sewaktu Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur, pasukan Sriwijaya datang menyerangnya. Pertempuran terjadi di daerah Anjukladang (sekarang Nganjuk, Jawa Timur) yang dimenangkan oleh pihak Mpu Sindok.

Peristiwa Mahapralaya

Mahapralaya merupakan peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur berdasarkan berita dalam prasasti Pucangan. Tahun terjadinya peristiwa tersebut tidak bisa dibaca dengan jelas sehingga muncul dua versi argumen. Sebagian sejarawan menyebut Kerajaan Medang runtuh pada tahun 1006, sedangkan yang yang lain menyebut tahun 1016.

Raja paling kesudahan Medang merupakan Dharmawangsa Teguh, cicit Mpu Sindok. Kronik Cina dari Dinasti Song mencatat telah sebagian kali Dharmawangsa mengirim pasukan untuk menggempur ibu kota Sriwijaya sejak ia naik takhta tahun 991. Permusuhan selang Jawa dan Sumatra lebih memanas saat itu.

Pada tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah. Ketika ia menyediakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut, Dharmawangsa tewas.

Tiga tahun selanjutnya, seorang pangeran berdarah campuran JawaBali yang lolos dari Mahapralaya tampil mendirikan kerajaan baru sebagai kelanjutan Kerajaan Medang. Pangeran itu bernama Airlangga yang mengaku bahwa ibunya merupakan keturunan Mpu Sindok. Kerajaan yang ia dirikan selanjutnya lazim dikata dengan nama Kerajaan Kahuripan.

Peninggalan sejarah

(Kiri) Avalokitesvara lengan-dua. Jawa Tengah, masa abad ke-9/ke-10, tembaga, 12,0 x 7,5 cm. (Tengah: Chundā lengan-empat, Jawa Tengah, Wonosobo, Dataran Tinggi Dieng, masa abad ke-9/10, perunggu, 11 x 8 cm. (Kanan) Dewi Tantra lengan-empat (Chundā?), Jawa Tengah, Prambanan, masa abad ke 10, perunggu, 15 x 7,5 cm. Terletak di Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem.

Selain membiarkan lepas sama sekali bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Kerajaan Medang juga mendirikan banyak candi, baik itu yang bercorak Hindu maupun Buddha. Temuan Wonoboyo berupa artifak emas yang ditemukan tahun 1990 di Wonoboyo, Klaten, Jawa Tengah; menunjukkan kekayaan dan kehalusan seni kecerdikan budi kerajaan Medang.

Candi-candi peninggalan Kerajaan Medang selang lain, Candi Kalasan, Candi Plaosan, Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Sambisari, Candi Sari, Candi Kedulan, Candi Morangan, Candi Ijo, Candi Barong, Candi Sojiwan, dan tentu saja yang paling kolosal merupakan Candi Borobudur. Candi megah yang dibangun oleh Sailendrawangsa ini telah diambil keputusan UNESCO (PBB) sebagai salah satu warisan kecerdikan budi dunia.

Kepustakaan

  • Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
  • Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
  • Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
  • Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
  • Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS

Lihat pula

 
0-600 (Hindu-Buddha pra-Mataram)
 
600-1500 (Hindu-Buddha)
Mataram Hindu · Kahuripan · Janggala · Kadiri · Singasari · Majapahit · Pajajaran · Blambangan
 
1500-sekarang (Islam)


Sumber :
id.wikipedia.org, diskusi.biz, pasar.kpt.co.id, wiki.edunitas.com, dan lain sebagainya.