Rakai Pikatan

Sri Maharaja Rakai Pikatan Mpu Manuku yaitu raja keenam Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim dinamakan Kerajaan Mataram Kuno) yang memerintah sekitar tahun 840-an – 856.

Nama Asli dan Gelar

Rakai Pikatan terdapat dalam daftar para raja versi prasasti Mantyasih. Nama aslinya menurut prasasti Argapura yaitu Mpu Manuku. Pada prasasti Munduan tahun 807 dikenal Mpu Manuku memegang jabatan sebagai Rakai Patapan. Kemudian pada prasasti Kayumwungan tahun 824 jabatan Rakai Patapan dipegang oleh Mpu Palar. Mungkin kala itu Mpu Manuku sudah pindah jabatan dijadikan Rakai Pikatan.

Akan tetapi, pada prasasti Tulang Air tahun 850 Mpu Manuku balik bergelar Rakai Patapan. Sedangkan menurut prasasti Gondosuli, Mpu Palar telah berpulang ketika belum tahun 832. Gerangan daerah Patapan balik dijadikan tanggung jawab Mpu Manuku, meskipun kala itu dia sudah dijadikan maharaja. Tradisi seperti ini memang berjalan dalam sejarah Kerajaan Medang di mana seorang raja mencantumkan pula gelar lamanya sebagai kepala daerah, misalnya Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung.

Menurut prasasti Wantil, Mpu Manuku membangun ibu kota baru di desa Mamrati sehingga dia pun dijuluki sebagai Rakai Mamrati. Istana baru itu bernama Mamratipura, sebagai pengganti ibu kota yang lama, yaitu Mataram.

Prasasti Wantil juga menyebutkan bahwa Rakai Mamrati turun takhta dan dijadikan brahmana bergelar Sang Jatiningrat pada tahun 856.

Perkawinan dengan Pramodawardhani

Prasasti Wantil juga menyinggung perkawinan Sang Jatiningrat alias Rakai Pikatan Mpu Manuku dengan seorang putri taat kepada agama lain. Para sejarawan sepakat bahwa putri itu ialah Pramodawardhani dari Wangsa Sailendra yang taat kepada agama Buddha Mahayana, sementara Mpu Manuku sendiri memeluk agama Hindu Siwa.

Pramodawardhani yaitu putri Samaratungga yang namanya tercatat dalam prasasti Kayumwungan tahun 824. Kala itu yang memegang jabatan sebagai Rakai Patapan yaitu Mpu Palar, sedangkan nama Mpu Manuku sesuai sekali tidak dinamakan. Mungkin kala itu Pramodawardhani belum dijadikan istri Mpu Manuku.

Sejarawan De Casparis menganggap Rakai Patapan Mpu Palar sesuai dengan Maharaja Rakai Garung dan yaitu ayah dari Mpu Manuku. Keduanya yaitu bagian Wangsa Sanjaya yang berhasil menjalin hubungan perkawinan dengan Wangsa Sailendra.

Teori ini tidak diterima oleh Slamet Muljana sebab menurut prasasti Gondosuli, Mpu Palar yaitu pendatang dari pulau Sumatra dan semua anaknya perempuan. Lagi pula, Mpu Manuku sudah semakin dahulu memegang jabatan sebagai Rakai Patapan ketika belum Mpu Palar. Kemungkinan bahwa Mpu Manuku yaitu putra Mpu Palar sangat kecil.

Sementara itu, Mpu Manuku sudah memegang jabatan sebagai Rakai Patapan pada tahun 807, sedangkan Pramodawardhani sedang dijadikan gadis pada tahun 824. Hal ini menunjukkan kalau perbedaan usia di selang keduanya cukup jauh. Mungkin, Rakai Pikatan Mpu Manuku berusia sebaya dengan mertuanya, yaitu Samaratungga.

Pramodawardhani bukanlah satu-satunya istri Rakai Pikatan. Berdasarkan prasasti Telahap dikenal istri Rakai Pikatan yang lain bernama Rakai Watan Mpu Tamer. Gerangan kala itu gelar mpu belum identik dengan kaum laki-laki.

Selir bernama Rakai Watan Mpu Tamer ini yaitu nenek dari istri Dyah Balitung, yaitu raja yang mengeluarkan prasasti Mantyasih (907).

Peperangan Melawan Balaputradewa

Balaputradewa putra Samaragrawira yaitu raja Kerajaan Sriwijaya. Teori populer yang dirintis oleh sejarawan Krom menyebutkan bahwa, Samaragrawira identik dengan Samaratungga sehingga secara otomatis, Balaputradewa yaitu beradik-berkakak Pramodawardhani.

Dalam prasasti Wantil diberitahukan bahwa Sang Jatiningrat alias Rakai Pikatan berperang melawan musuh yang membangun pertahanan berupa timbunan batu di atas bukit. Musuh tersebut dikalahkan oleh Dyah Lokapala putra Jatiningrat. Dalam prasasti itu terdapat sebutan Walaputra, yang ditafsirkan sebagai Balaputradewa. Akibatnya, timbul teori bahwa telah dijadikan peperangan beradik-berkakak memperebutkan takhta sepeninggal Samaratungga yang hasilnya dengan kekalahan Balaputradewa.

Slamet Muljana menyorongkan anggapan bahwa Samaragrawira identik dengan Samaratungga sebab menurut prasasti Kayumwungan, Samaratungga hanya memiliki seorang anak bernama Pramodawardhani. Menurutnya, Samaragrawira semakin tepat dinamakan sebagai ayah dari Samaratungga. Dengan demikian, Balaputradewa yaitu paman dari Pramodawardhani.

Teori populer menganggap Balaputradewa membangun benteng dari timbunan batu di atas bukit Ratu Baka dalam peperangan melawan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani. Namun, menurut sejarawan Buchari, di bukit Ratu Baka tidak dijumpai prasasti atas nama Balaputradewa, melainkan atas nama Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni. Mungkin tokoh ini yang memberontak terhadap pemerintahan Rakai Pikatan sebab dia juga mengaku sebagai keturunan asli pendiri kerajaan, yaitu Sanjaya.

Sementara itu sebutan Walaputra dalam prasasti Wantil bermakna “putra bungsu”. Jadi, sebutan ini bukan nama lain dari Balaputradewa, melainkan julukan untuk Dyah Lokapala, yaitu pahlawan yang berhasil mengalahkan Rakai Walaing, musuh ayahnya.

Dengan demikian, teori populer bahwa telah dijadikan peperangan beradik-berkakak selang Rakai Pikatan melawan iparnya, yaitu Balaputradewa mungkin keliru. Gerangan Balaputradewa pergi dari pulau Jawa bukan sebab kalah peperangan, tetapi sebab sejak awal dia memang sudah tidak memiliki hak atas takhta Kerajaan Medang, memikirkan dia bukan putra Samaratungga melainkan kerabat yang lebih mudanya.

Wangsa Sailendra di bawah pimpinan Dharanindra berhasil menaklukkan Kerajaan Sriwijaya, bahkan sampai Kamboja. Sepeninggal Dharanindra, kekuasaannya diwarisi oleh Samaragrawira. Mungkin dia tidak sekuat ayahnya sebab menurut prasasti Po Ngar, Kamboja berhasil lepas dari penjajahan Jawa pada tahun 802.

Atas landasan tersebut, sepeninggal Samaragrawira mungkin kekuasaan Wangsa Sailendra dibagi dijadikan dua, dengan tujuan agar pengawasannya dapat semakin mudah. Kekuasaan atas pulau Jawa diberikan kepada Samaratungga, sedangkan kekuasaan atas pulau Sumatra diberikan kepada Balaputradewa.

Pendirian Candi Prambanan

Prasasti Wantil dinamakan juga Prasasti Siwagrha yang dibawa keluar pada tanggal 12 November 856. Prasasti ini lain daripada menyebut pendirian istana Mamratipura, juga menyebut perihal pendirian yang didirikan suci Siwagrha, yang dirumuskan sebagai Candi Siwa.

Berdasarkan ciri-ciri yang digambarkan dalam prasasti tersebut, Candi Siwa identik dengan salah satu candi utama pada komplek Candi Prambanan. Dengan demikian, yang didirikan utama pada komplek tersebut didirikan oleh Rakai Pikatan, sedangkan candi-candi kecil lainnya mungkin didirikan pada masa raja-raja selanjutnya.

Kesudahan Pemerintahan

Prasasti Wantil juga menyebutkan bahwa Rakai Pikatan alias Rakai Mamrati turun takhta dijadikan brahmana bergelar Sang Jatiningrat pada tahun 856. Takhta Kerajaan Medang kemudian dipegang oleh putra bungsunya, yaitu Dyah Lokapala alias Rakai Kayuwangi.

Penunjukan putra bungsu sebagai maharaja ini gerangan berdasarkan atas perbuatan yang berguna mengalahkan Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni sang pemberontak. Hal ini menyebabkan ketidakpuasan sebab kelak timbul prasasti Munggu Antan atas nama Maharaja Rakai Gurunwangi. Nama ini tidak terdapat dalam daftar raja prasasti Mantyasih, sehingga dapat dianggarkan pada kesudahan pemerintahan Rakai Kayuwangi telah dijadikan perpecahan kerajaan.

Nama Rakai Gurunwangi Dyah Saladu dan Dyah Ranu ditemukan dalam prasasti Plaosan sesudah Rakai Pikatan. Mungkin mereka yaitu anak Rakai Pikatan. Atau mungkin juga hubungan selang Dyah Ranu dan Dyah Saladu yaitu suami istri.

Pada tahun 807 Mpu Manuku sudah dijadikan pemegang jabatan, yaitu sebagai Rakai Patapan. Dia turun takhta dijadikan brahmana pada tahun 856. Mungkin kala itu usianya sudah di atas 70 tahun. Sesudah berpulang, Sang Jatiningrat dimakamkan atau didharmakan di desa Pastika.

Kepustakaan

  • Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
  • Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS


Sebelumnya:
Samaratungga
Raja Kerajaan Medang (periode Jawa Tengah)
840? – 856
Digantikan oleh:
Rakai Kayuwangi


Sumber :
wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, ensiklopedia.web.id, pasar.andrafarm.com, dsb.