_
kingdom of Srivijaya
Change to views  Mobile1, 2 Laptop 
Article Index (Title) A B C G H I M N 
Search in Collection of Free Studies   
Sri Lanka  (Previous)(After thissTAI Darunnajah

Sriwijaya

Sriwijaya
Minanga
 
Kedah
600-an–1100-anDharmasraya
 
Kerajaan Singapura
Lokasi Sriwijaya
Jangkauan terluas Kemaharajaan Sriwijaya sekitar masa seratus tahun ke-8 Masehi.
Ibu kotaSriwijaya, Jawa, Kadaram, Dharmasraya
BahasaMelayu Kuna, Sanskerta
AgamaBuddha Vajrayana, Buddha Mahayana, Buddha Hinayana, Hindu
PemerintahanMonarki
Maharaja
 - 683Sri Jayanasa
 - 702Sri Indrawarman
 - 775Dharanindra
 - 792Samaratungga
 - 835Balaputradewa
 - 988Sri Cudamani Warmadewa
 - 1008Sri Mara-Vijayottunggawarman
 - 1025Sangrama-Vijayottunggawarman
Sejarah 
 - Didirikan600-an
 - Invasi Dharmasraya1100-an
Mata uangKoin emas dan perak
Artikel ini bagian dari seri
Sejarah Indonesia
Sejarah Indonesia .png
Lihat pula:
Garis waktu sejarah Indonesia
Sejarah Nusantara
Prasejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Kutai (abad ke-4)
Tarumanagara (358–669)
Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-11)
Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)
Kerajaan Medang (752–1045)
Kerajaan Sunda (932–1579)
Kediri (1045–1221)
Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)
Singhasari (1222–1292)
Majapahit (1293–1500)
Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)
Kerajaan Islam
Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521)
Kesultanan Ternate (1257–sekarang)
Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)
Kesultanan Malaka (1400–1511)
Kerajaan Inderapura (1500-1792)
Kesultanan Demak (1475–1548)
Kesultanan Aceh (1496–1903)
Kesultanan Banten (1527–1813)
Kesultanan Cirebon (1552 - 1677)
Kesultanan Mataram (1588—1681)
Kesultanan Siak (1723-1945)
Kerajaan Kristen
Kerajaan Larantuka (1600-1904)
Kolonialisme bangsa Eropa
Portugis (1512–1850)
VOC (1602-1800)
Belanda (1800–1942)
Kedatangan Indonesia
Kebangkitan Nasional (1899-1942)
Pendudukan Jepang (1942–1945)
Revolusi nasional (1945–1950)
Indonesia Bebas sama sekali
Orde Lama (1950–1959)
Demokrasi Terpimpin (1959–1966)
Orde Baru (1966–1998)
Era Reformasi (1998–sekarang)

Sriwijaya (atau juga dikata Srivijaya; Thai: ศรีวิชัย atau "Ṣ̄rī wichạy") yaitu salah satu kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di pulau Sumatera dan jumlah memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, dan pesisir Kalimantan.[1][2] Dalam bahasa Sanskerta, sri berarti "bercahaya" atau "gemilang", dan wijaya berarti "kemenangan" atau "kejayaan",[2] maka nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang". Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari masa seratus tahun ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal sementara 6 bulan.[3][4] Selanjutnya prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada masa seratus tahun ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682.[5] Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan sebagian peperangan[2] di antaranya serangan dari raja Dharmawangsa Teguh dari Jawa pada tahun 990, dan tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya di bawah kemudi kerajaan Dharmasraya.[6]

Sehabis jatuh, kerajaan ini terlupakan dan keberadaannya baru diketahui kembali lewat publikasi tahun 1918 dari sejarawan Perancis George Cœdès dari École française d'Extrême-Orient.[7]

Daftar isi

Catatan sejarah

Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa akhirnya yang terlupakan dibuat bentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak mempunyai orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Cœdès menyebarluaskan penemuannya dalam surat kabar bicara Belanda dan Indonesia.[8] Coedès mengatakan bahwa sumber acuan Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", semasih belumnya dibaca "Sribhoja", dan sebagian prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.[9]

Selain berita-berita diatas tersebut, telah ditemukan oleh Balai Arkeologi Palembang sebuah perahu kuno yang diperkirakan mempunyai sejak masa awal atau proto Kerajaan Sriwijaya di Desa Sungai Pasir, Disktrik Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.[10] Sayang, kepala perahu kuno itu sudah hilang dan sebagian papan perahu itu dipakai justru buat jembatan. Tercatat mempunyai 17 keping perahu yang terdiri dari bagian lunas, 14 papan perahu yang terdiri dari bagian badan dan bagian buritan bagi mendudukkan kemudi.[10] Perahu ini dibuat dengan teknik pasak kayu dan papan ikat yang menggunakan tali ijuk. Cara ini sendiri dikenal dengan sebutan teknik tradisi Asia Tenggara. Selain bangkai perahu, ditemukan juga sejumlah artefak-artefak lain yang berkomunikasi dengan temuan perahu, seperti tembikar, keramik, dan alat kayu.[10]

Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan luhur Nusantara selain Majapahit di Jawa Timur. Pada masa seratus tahun ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi sumber acuan oleh kaum nasionalis bagi memperlihatkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara semasih belum kolonialisme Belanda.[8]

Sriwijaya dikata dengan bermacam macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sanskerta dan bahasa Pali, kerajaan Sriwijaya dikata Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj[11] dan Khmer menyebutnya Malayu. Jumlahnya nama merupakan argumen lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan.[2] Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang mempunyainya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.[6]

Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang), tepatnya di sekitar situs Karanganyar yang kini menjadi Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya.[2] Gagasan ini didasarkan dari foto udara tahun 1984 yang memperlihatkan bahwa situs Karanganyar menampilkan bentuk kontruksi cairan, yaitu jaringan kanal, parit, kolam serta pulau buatan yang disusun rapi yang ditetapkan situs ini yaitu buatan manusia. Kontruksi cairan ini terdiri atas kolam dan dua pulau berwujud bujur sangkar dan empat persegi panjang, serta jaringan kanal dengan lebar areal meliputi 20 hektar. Di kawasan ini ditemukan jumlah peninggalan purbakala yang memperlihatkan bahwa kawasan ini pernah menjadi pusat permukiman dan pusat aktifitas manusia.[12] Namun semasih belumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang),[6] dengan catatan Malayu tidak di kawasan tersebut, jika Malayu pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada gagasan Moens,[13] yang semasih belumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi nasihat arah perjalanan dalam catatan I Tsing,[14] serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).[15] Namun yang mesti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, bersesuaian prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).[6]

Pembentukan dan pertumbuhan

Candi Muara Takus, salah satu kawasan yang dianggap menjadi ibukota Sriwijaya.
Candi Gumpung, candi Buddha di Muaro Jambi, Kerajaan Melayu yang ditaklukkan Sriwijaya.
Reruntuhan Wat (Candi) Kaew yang berasal dari zaman Sriwijaya di Chaiya, Thailand Selatan.

Belum jumlah bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan.[8] Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara bahari, namun kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi bagi populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Sebagian pandai masih memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya,[16] selain itu kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota tetap diperintah dengan cara langsung oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya diperintah oleh datu setempat.[17][18]

Kemaharajaan Sriwijaya telah mempunyai sejak 671 bersesuaian dengan catatan I Tsing, dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit yaitu prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu. Para pandai berpendapat bahwa prasasti ini mengadaptasi ortografi India bagi menulis prasasti ini.[19] Di masa seratus tahun ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya.[2] Bersesuaian prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyatakan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer bagi menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan luhur belakang suatu peristiwa serangan Sriwijaya. Kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi Jawa yaitu Tarumanegara.[20] Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.

Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, merupakan Sriwijaya mengendalikan dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Bersesuaian observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di masa seratus tahun ke-7, pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai memindahkan jumlah pedagang dari Sriwijaya. Bagi mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan sebagian serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal masa seratus tahun ke-8 berada di bawah kemudi Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri kemaharajaan Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada masa seratus tahun yang sama.[2] Di belakang masa seratus tahun ke-8 sebagian kerajaan di Jawa, diantaranya Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di masa seratus tahun ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan.[2] Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.

Sehabis Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih menetapkan pilihan bagi memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Sementara masa kepemimpinannya, ia mendirikan candi Borobudur di Jawa Tengah yang beres pada tahun 825.[2]

Agama

Arca Buddha dalam langgam Amarawati setinggi 2,77 meter, ditemukan di situs Bukit Seguntang, Palembang, berasal dari masa seratus tahun ke-7 sampai ke-8 masehi.

Menjadi pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik jumlah peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Diantaranya pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Selain berita diatas, terdapat berita yang dibawakan oleh I Tsing, dikemukakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang berlatih agama Budha pada Sakyakirti, seorang pendeta populer di Sriwijaya.[21] Pengunjung yang datang ke pulau ini menyatakan bahwa koin emas telah dipakai di pesisir kerajaan. Selain itu nasihat Buddha saluran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana juga ikut berkembang di Sriwijaya. Menjelang belakang masa seratus tahun ke-10, Atiśa, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang mempunyai peran dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet dalam kertas kerjanya Durbodhāloka menyatakan ditulis pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri di Suvarnadvipa.[22]

Kerajaan Sriwijaya jumlah dipengaruhi ingatan budi India, pertama oleh ingatan budi Hindu akhir didatangi pula oleh agama Buddha. Peranannya dalam agama Budha dibuktikannya dengan mendirikan tempat pemujaan agama Budha di Ligor, Thailand.[23] Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun masa seratus tahun ke-7 hingga masa seratus tahun ke-9, sehingga dengan cara langsung ikut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.

"...... jumlah raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan percaya dan mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam kelakuan baik. Di dalam benteng kota Sriwijaya diberi jawaban lebih dari 1000 biksu Budha, yang berlatih dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik...... Jika seorang biarawan Cina bersedia pergi ke India bagi berlatih Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini sementara satu atau dua tahun bagi mendalami ilmunya semasih belum dilanjutkan di India".

— Bayangan Sriwijaya menurut I Tsing.[4]

Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur menjadi bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara, mestinya menarik minat para pedagang dan ulama muslim dari Timur Tengah, sehingga sebagian kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya, akhir tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera akhir hari, disaat melemahnya pengaruh Sriwijaya.

Mempunyai asal yang menyatakan, karena pengaruh orang muslim Arab yang jumlah berkunjung dan berjualan di Sriwijaya, maka seorang raja Sriwijaya yang bernama Sri Indrawarman pada tahun 718 dikabarkan tertarik bagi menelaah Islam dan kebudayaan Arab,[24] sehingga jangan-jangan kehidupan sosial Sriwijaya yaitu warga sosial yang di dalamnya terdapat warga Budha dan Muslim sekaligus. Tercatat sebagian kali raja Sriwijaya bertulis ke khalifah Islam di Damaskus, Suriah. Pada salah satu naskah surat yang ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720) memuat permintaan agar khalifah sudi mengirimkan ulama ke istana Sriwijaya.[25]

Ingatan budi

Arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan, seni Sriwijaya sekitar masa seratus tahun ke-9 M.

Bersesuaian bermacam asal sejarah, sebuah warga yang kompleks dan kosmopolitan yang sangat dipengaruhi alam pikiran Budha Wajrayana digambarkan bersemi di ibu kota Sriwijaya. Sebagian prasasti Siddhayatra masa seratus tahun ke-7 seperti Prasasti Talang Tuwo menggambarkan ritual Budha bagi memberkati peristiwa penuh berkah yaitu peresmian taman Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya bagi rakyatnya. Prasasti Telaga Batu menggambarkan kerumitan dan tingkatan jabatan pejabat kerajaan, sementara Prasasti Kota Kapur menyatakan keperkasaan balatentara Sriwijaya atas Jawa. Semua prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Kuno, leluhur bahasa Melayu dan bahasa Indonesia modern. Sejak masa seratus tahun ke-7, bahasa Melayu kuno telah dipakai di Nusantara. Ditandai dengan ditemukannya bermacam prasasti Sriwijaya dan sebagian prasasti bicara Melayu Kuno di tempat lain, seperti yang ditemukan di pulau Jawa. Hubungan dagang yang dilaksanakan bermacam suku bangsa Nusantara menjadi wahana penyebaran bahasa Melayu, karena bahasa ini menjadi alat komunikasi bagi kaum pedagang. Sejak saat itu, bahasa Melayu menjadi lingua franca dan dipakai dengan cara meluas oleh jumlah penutur di Kepulauan Nusantara.[26]

Meskipun dikata memiliki kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya hanya pergi dari sedikit tinggalan purbakala di jantung negerinya di Sumatera. Sangat berbeda dengan episode Sriwijaya di Jawa Tengah saat kepemimpinan wangsa Syailendra yang jumlah mendirikan monumen besar; seperti Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Borobudur. Candi-candi Budha yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatera diantaranya Candi Muaro Jambi, Candi Muara Takus, dan Biaro Bahal. Akan tetapi tidak seperti candi periode Jawa Tengah yang dibuat dari dari batu andesit, candi di Sumatera dibuat dari dari bata merah.

Sebagian arca-arca bersifat Budhisme, seperti bermacam arca Budha yang ditemukan di Bukit Seguntang, Palembang[27], dan arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi[28], Bidor, Perak[29] dan Chaiya,[30] dan arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan. Semua arca-arca ini menampilkan keanggunan dan langgam yang sama yang dikata "Seni Sriwijaya" atau "Langgam/Gaya Sriwijaya" yang memperlihatkan kemiripan — jangan-jangan diilhami — oleh langgam Amarawati India dan langgam Syailendra Jawa (sekitar masa seratus tahun ke-8 sampai ke-9).[31]

Perdagangan

Model kapal Sriwijaya tahun 800-an Masehi yang terdapat pada candi Borobudur.

Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, pemroduksi raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India.[14] Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassal-nya di seluruh Asia Tenggara. Dengan mempunyai peran menjadi entreport atau pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan menemukan restu, persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar China bagi dapat berjualan dengan Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengendalikan jejaring perdagangan bahari dan menguasi urat nadi pelayaran antara Tiongkok dan India.[32]

Karena argumen itulah Sriwijaya harus terus mengawal dominasi perdagangannya dengan selalu mengawal — dan jika perlu — melawan pelabuhan pesaing di negara jirannya. Keperluan bagi mengawal monopoli perdagangan inilah yang mendorong Sriwijaya menggelar ekspedisi militer bagi menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di kawasan sekitarnya dan merembes mereka ke dalam mandala Sriwijaya. Bandar Malayu di Jambi, Kota Kapur di pulau Bangka, Tarumanagara dan pelabuhan Sunda di Jawa Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di semenanjung Melaya yaitu sebagian bandar pelabuhan yang ditaklukan dan diresap kedalam lingkup pengaruh Sriwijaya. Disebutkan dalam catatan sejarah Champa mempunyainya serangkaian serbuan angkatan laut yang berasal dari Jawa terhadap sebagian pelabuhan di Champa dan Kamboja. Jangan-jangan angkatan laut penyerbu yang dimaksud yaitu armada Sriwijaya, karena saat itu wangsa Sailendra di Jawa yaitu bagian dari mandala Sriwijaya. Hal ini merupakan upaya Sriwijaya bagi menjamin monopoli perdagangan laut di Asia Tenggara dengan menggempur bandar pelabuhan pesaingnya. Sriwijaya juga pernah berjaya dalam hal perdagangan sedari tahun 670 hingga 1025 M.[33]

Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur yaitu menggambarkan Kapal Borobudur, kapal kayu bercadik ganda dan bertiang layar yang melayari lautan Nusantara sekitar masa seratus tahun ke-8 Masehi. Fungsi cadik ini yaitu bagi menyeimbangkan dan menstabilkan perahu. Cadik tunggal atau cadik ganda yaitu ciri khas perahu bangsa Austronesia dan perahu bercadik inilah yang membawa bangsa Austronesia berlayar di seantero Asia Tenggara, Oseania, dan Samudra Hindia. Kapal layar bercadik yang diabadikan dalam relief Borobudur jangan-jangan yaitu macam kapal yang dipakai armada Sailendra dan Sriwijaya dalam pelayaran antarpulaunya, kemaharajaan bahari yang menguasai kawasan pada kurun masa seratus tahun ke-7 hingga ke-13 masehi.

Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin perdagangan dengan tanah Arab. Kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarman yang mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718, kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan akhir dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan hadiah bagi kaisar Cina, berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).[34]

Pada paruh pertama masa seratus tahun ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan kerajaan Nan Han dengan negeri kayanya Guangdong. Tak diragukan kembali Sriwijaya menemukan keuntungan dari perdagangan ini.

Penyebaran penduduk Kemaharajaan Bahari

Upaya Sriwijaya bagi menjamin dominasi perdagangan bahari di Asia Tenggara berjalan seiring dengan perluasan Sriwijaya menjadi sebuah kemaharajaan bahari atau thalasokrasi. Dengan menaklukkan bandar pelabuhan negara jiran yang berpotensi menjadi pesaingnya, Sriwijaya dengan cara otomatis juga melebarkan pengaruh dan wilayah kekuasaannya di kawasan. Menjadi kemaharajaan bahari, pengaruh Sriwijaya jarang masuk hingga jauh di wilayah pedalaman. Sriwijaya biasanya menerapkan kedaulatannya di kawasan pesisir pantai dan kawasan sungai luhur yang dapat dijangkau armada perahu angkatan lautnya di wilayah Nusantara, dengan pengecualian pulau Madagaskar. Diduga penduduk yang berasal dari Sriwijaya telah mengkoloni dan mendirikan populasi di pulau Madagaskar yang terletak 3300 mil atau 8000 kilometer di sebelah Barat di seberang Samudra Hindia.[35]

Sebuah pengamatan yang dipasarkan oleh Jurnal Proceedings of The Royal Society, bahwa nenek moyang penduduk Madagaskar yaitu orang Indonesia. Para peneliti meyakini mereka yaitu pemukim asal Kerajaan Sriwijaya.[36] Migrasi ke Madagaskar diperkirakan terjadi 1200 tahun yang akhir sekitar kurun tahun 830 M. Bersesuaian pengamatan DNA mitokondria, suku pribumi Malagasy dapat merunut silsilah mereka kepada 30 perempuan perintis yang berlayar dari Indonesia 1200 tahun yang akhir.[37] Bahasa Malagasy berisi kata serapan dari bahasa Sansekerta dengan modifikasi linguistik melalui bahasa Jawa dan bahasa Melayu, hal ini merupakan sebuah nasihat bahwa penduduk Madagaskar dikoloni oleh penduduk yang berasal dari Sriwijaya.[38] Periode kolonisasi Madagaskar bersamaan dengan kurun ketika Sriwijaya mengembangkan jaringan perdagangan bahari di seantero Nusantara dan Samudra Hindia.[39]

Hubungan dengan wangsa Sailendra

Candi Borobudur, pembangunannya disilakan duduk pada masa Samaratungga

Munculnya keterkaitan antara Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai karena mempunyainya nama Śailendravamśa pada sebagian prasasti di antaranya pada prasasti Kalasan di pulau Jawa, prasasti Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India. Sementara pada prasasti Sojomerto dijumpai nama Dapunta Selendra. Walau asal-usul dinasti ini masih diperbantahkan sampai sekarang.[14]

Majumdar berpendapat dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa) dan Medang (Jawa), keduanya berasal dari Kalinga di selatan India.[40] Akhir Moens menambahkan kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang, menyebabkan salah satu keluarga dalam dinasti ini berpindah ke Jawa.[41] Sementara Poerbatjaraka berpendapat bahwa dinasti ini berasal dari Nusantara, didasarkan atas Carita Parahiyangan[42] akhir dikaitkan dengan sebagian prasasti lain di Jawa yang bicara Melayu Kuna di antaranya prasasti Sojomerto.[43][44]

Hubungan dengan kekuatan regional

Pagoda Borom That bergaya Sriwijaya di Chaiya, Thailand.

Bagi memperkuat kedudukannya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran China, dan dengan cara teratur mengantarkan utusan beserta upeti.[45]

Pada tahun 100 Hijriyah (718 Masehi) Maharaja Sriwijaya bernama Sri Indrawarman mengirimkan sepucuk surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah, yang memuat permintaan kepada Khalifah bagi mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan nasihat dan hukum Islam kepadanya. Dalam surat itu tertulis:

" Dari Raja sekalian para raja yang juga yaitu keturunan ribuan raja, yang isterinya pun yaitu cucu dari ribuan raja, yang kebun binatangnya diberi jawaban ribuan gajah, yang wilayah kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang mengairi tanaman lidah buaya, rempah wangi, pala, dan jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil. Kepada Raja Arab yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah. Diri sendiri telah mengirimkan kepadamu bingkisan yang tak sedikit menjadi tanda persahabatan. Kuharap engkau sudi mengutus seseorang bagi menjelaskan nasihat Islam dan segala hukum-hukumnya kepadaku."

— Surat Maharaja Sriwijaya, Sri Indrawarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz.[34]

Peristiwa ini membuktikan bahwa Sriwijaya telah menjalin hubungan diplomatik dengan dunia Islam atau dunia Arab. Meskipun demikian surat ini bukanlah berarti bahwa raja Sriwijaya telah memeluk agama Islam, melainkan hanya memperlihatkan hasrat sang raja bagi mengenal dan menelaah bermacam hukum, ingatan budi, dan adat-istiadat dari bermacam rekan perniagaan dan peradaban yang dikenal Sriwijaya saat itu; yakni Tiongkok, India, dan Timur Tengah.

Pada masa awal, Kerajaan Khmer merupakan daerah taklukan Sriwijaya. Jumlah sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, menjadi ibu kota kerajaan tersebut. Pengaruh Sriwijaya nampak pada kontruksi pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Sehabis kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.

Seperti disebutkan semasih belumnya, Sriwijaya di Sumatra menjalin persekutuan melalui hubungan perkawinan dengan Wangsa Sailendra di Jawa. Pada kurun waktu tertentu wangsa Sailendra menjadi anggota mandala Sriwijaya mengambil kemudi kekuasaan, menjadi Maharaja Sriwijaya dan memerintah dari Jawa. Maka Wangsa Sailendra berkuasa sekaligus atas Sriwijaya dan Kerajaan Medang, yaitu Sumatera dan Jawa. Akan tetapi belakang suatu peristiwa pertikaian suksesi singgasana Sailendra antara Balaputradewa melawan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani, hubungan antara Sriwijaya dan Medang memburuk.[46] Balaputra berkuasa di Palembang, dan permusuhan ini diwariskan hingga sebagian generasi berikutnya. Dalam prasasti Nalanda yang bertarikh 860 Balaputra menegaskan asal-usulnya menjadi keturunan raja Sailendra di Jawa sekaligus cucu Sri Dharmasetu raja Sriwijaya. Dengan kata lain ia mengadukan kepada raja Dewapaladewa, raja Pala di India, bahwa haknya menjadi raja Jawa dirampas Rakai Pikatan.[47] Persaingan antara Sriwijaya di Sumatera dan Medang di Jawa ini kian memanas ketika raja Dharmawangsa Teguh menyerang Palembang pada tahun 990, gerakan yang akhir dibalas dengan penghancuran Medang pada tahun 1006 oleh Raja Wurawari atas sorongan Sriwijaya.[48]

Sriwijaya juga berkomunikasi dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan Dinasti Chola di selatan India juga cukup baik. Dari prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya di Kataha Sri Mara-Vijayottunggawarman telah mendirikan sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk sehabis Rajendra Chola I naik tahta yang melakukan penyerangan pada masa seratus tahun ke-11. Akhir hubungan ini kembali pulih pada masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang memohon dibawa keluarnya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut. Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyatakan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) menjadi raja San-fo-ts'i, membantu pembetulan candi dekat Kanton pada tahun 1079. Pada masa dinasti Song candi ini dikata dengan nama Tien Ching Kuan, dan pada masa dinasti Yuan dikata dengan nama Yuan Miau Kwan.[6]

Masa keemasan

Arca emas Avalokiteçvara bergaya Malayu-Sriwijaya, ditemukan di Rantaukapastuo, Muarabulian, Jambi, Indonesia.

Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim. Mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan mendirikan sebagian kawasan strategis menjadi pangkalan armadanya dalam mengawal, mengawal kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta bagi mengawal wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.[49]

Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada masa seratus tahun ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam,[2] dan Filipina.[50] Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, merupakan Sriwijaya menjadi pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.

Bersesuaian asal catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya dikata dengan nama Sribuza. Pada tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya yaitu sebuah kerajaan luhur yang kaya raya, dengan tentara yang jumlah sekali. Disebutkan kapal yang tercepat dalam waktu dua tahun pun tidak begitu bagi mengelilingi seluruh pulau wilayahnya. Hasil bumi Sriwijaya yaitu kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kapulaga, gambir dan sebagian hasil bumi lainya.[51]

Catatan lain menyuratkan bahwa Sriwijaya maju dalam segi agraris. Ini disimpulkan dari seorang pandai dari Bangsa Persia yang bernama Abu Zaid Hasan yang mendapat keterangan dari Sujaimana, seorang pedagang Arab. Abu Zaid menulis bahwasanya Kerajaan Zabaj (Sriwijaya -sebutan Sriwijaya oleh bangsa Arab pada masa itu-) memiliki tanah yang subur dan kekuasaaan yang lebar hingga ke seberang lautan.[11]

Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara setahu masa seratus tahun ke-10, akan tetapi pada belakang masa seratus tahun ini Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh menjadi kekuatan bahari baru dan mulai menantang dominasi Sriwijaya. Berita Tiongkok dari Dinasti Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama Cho-po. Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan Cho-po terlibat persaingan bagi menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta luhur ke Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan Kanton ketika hendak kembali, karena negerinya diserang oleh balatentara Jawa. Serangan dari Jawa ini diduga berlangsung sekitar tahun 990-an, yaitu antara tahun 988 dan 992 pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.[52]

Pada musim semi tahun 992 duta Sriwijaya tersebut mencoba kembali namun kembali tertahan di Champa karena negerinya belum terlindung. Ia memohon kaisar Song agar Tiongkok memberi perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di Tiongkok tahun 992. Ia dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991. Raja baru Jawa tersebut yaitu Dharmawangsa Teguh.[52]

Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 bagi sementara waktu, namun akhir pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit tahun 997 kembali menyatakan mempunyainya serangan Jawa terhadap Sumatera. Rangkaian serangan dari Jawa ini pada belakangnya gagal karena Jawa tidak berhasil mendirikan pijakan di Sumatera. Menguasai ibu kota di Palembang tidak begitu karena pada hakikatnya kekuasaan dan kekuatan mandala Sriwijaya tersebar di sebagian bandar pelabuhan di kawasan Selat Malaka. Maharaja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa, berhasil terlepas keluar dari ibu kota dan berkeliling menghimpun kekuatan dan bala pertolongan dari sekutu dan raja-raja bawahannya bagi memukul mundur tentara Jawa. Sriwijaya memperlihatkan kegigihan persekutuan mandalanya, bertahan dan berjaya memukul mundur angkatan laut Jawa.[52]

Sri Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya, memenangi dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati Kaisarnya. Pada tahun 1003, ia mengirimkan utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di negerinya telah beres dibangun sebuah candi Buddha yang didedikasikan bagi mendoakan agar Kaisar Tiongkok panjang usia. Kaisar Tiongkok yang berbesar hati dengan persembahan itu menamai candi itu cheng tien wan shou dan menganugerahkan genta yang akan dipasang di candi itu.[53] (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).[54]

Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman Jawa, maka Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha menghancurkan Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut-sebut mempunyai peran dalam menghancurkan Kerajaan Medang di Jawa. Dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya, yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang kemungkinan merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.[6][48]

Masa penurunan

Sebuah lukisan dari Siam memperlihatkan penyerangan Chola di Kedah.

Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India selatan, mengirim ekspedisi laut bagi menyerang Sriwijaya. Bersesuaian prasasti Tanjore bertarikh 1030, Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, seperti wilayah Nikobar dan sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu Sangrama-Vijayottunggawarman. Sementara sebagian dekade berikutnya, seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan kesempatan kepada raja-raja yang ditaklukannya bagi tetap berkuasa sementara tetap tunduk kepadanya.[55] Hal ini dapat dikaitkan dengan mempunyainya berita utusan San-fo-ts'i ke Cina tahun 1028.[56]

Faktor lain kemunduran Sriwijaya yaitu faktor alam. Karena mempunyainya pengendapan lumpur di Sungai Musi dan sebagian anak sungai lainnya, sehingga kapal-kapal dagang yang tiba di Palembang lebih susut.[57] Akibatnya, Kota Palembang lebih menjauh dari laut dan menjadi tidak strategis. Belakang suatu peristiwa kapal dagang yang datang lebih susut, pajak susut dan memperlemah ekonomi dan kedudukan Sriwijaya.[11]

Kerajaan Tanjungpura dan Nan Sarunai di Kalimantan yaitu kerajaan yang sezaman dengan Sriwijaya, namun Kerajaan Tanjungpura disebutkan diurus oleh pelarian orang Melayu Sriwijaya, yang ketika pada saat itu Sriwijaya diserang Kerajaan Chola mereka bermigrasi ke Kalimantan Selatan.[58]

Kawasan Sriwijaya dalam prasasti Tanjore
Nama kawasanKeterangan
PannaiPannai
MalaiyurMalayu
Mayirudingam 
IlangasogamLangkasuka
Mappappalam 
Mevilimbangam 
Valaippanduru 
Takkolam 
MadamalingamTambralingga
Ilamuri-DesamLamuri
NakkavaramNikobar
KadaramKedah

Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyatakan bahwa pada tahun 1079, Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) raja dinasti Chola dikata juga menjadi raja San-fo-ts'i, yang akhir mengirimkan utusan bagi membantu pembetulan candi dekat Kanton. Selanjutnya dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 masih mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta luhur tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Akhir juga mengirimkan utusan berikutnya pada tahun 1088.[2] Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah. Sebagian daerah taklukan membiarkan bebas diri, sampai muncul Dharmasraya dan Pagaruyung menjadi kekuatan baru yang akhir menguasai kembali wilayah taklukan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.

Pada tahun 1079 dan 1088, catatan Cina memperlihatkan bahwa Sriwijaya mengirimkan duta luhur pada Cina.[59] Khususnya pada tahun 1079, setiap duta luhur tersebut mengunjungi Cina.[59] Ini memperlihatkan bahwa ibu kota Sriwijaya selalu bergeser dari satu kota maupun kota lainnya sementara periode tersebut.[59] Ekspedisi Chola mengubah jalur perdagangan dan melemahkan Palembang, yang memungkinkan Jambi bagi mengambil kepemimpinan Sriwijaya pada masa seratus tahun ke-11.[60]

Bersesuaian asal Tiongkok pada buku Chu-fan-chi[61] yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa ia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts'ien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t'o (Sunda).[6][13]

Namun demikian, kata San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak kembali identik dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya. Dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut, ternyata yaitu wilayah taklukan Kerajaan Dharmasraya. Walaupun asal Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi menjadi kerajaan yang berada di kawasan Laut Cina Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah disebutkan Malayu. Kitab ini mengisahkan bahwa Kertanagara raja Singhasari, mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu, dan akhir menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini akhir dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti Grahi. Begitu juga dalam Nagarakretagama yang menguraikan tentang daerah taklukan Majapahit, juga sudah tidak menyatakan kembali nama Sriwijaya bagi kawasan yang semasih belumnya merupakan kawasan Sriwijaya.

Bangun pemerintahan

Prasasti Telaga Batu

Warga Sriwjaya sangat majemuk, dan mengenal stratatifikasi sosial.[11] Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi bangun otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari sebagian prasasti yang berisi informasi penting tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi.[62]

Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu, (tnah rumah) tempat tinggal bini hāji, tempat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) menjadi kawasan yang mesti diawasi. Kadātuan ini dibeliti oleh vanua, yang dapat dianggap menjadi kawasan kota dari Sriwijaya yang didalamnya terdapat vihara bagi tempat beribadah bagi warganya. Kadātuan dan vanua ini merupakan satu kawasan isi bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyāda merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadātuan Sriwijaya.

Penguasa Sriwijaya dikata dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja terdapat dengan cara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya).[63] Prasasti Telaga Batu jumlah menyatakan bermacam jabatan dalam bangun pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya. Menurut Prasasti Telaga Batu, selain disebutkan kutukan raja Sriwijaya kepada siapa saja yang menentang raja, disebutkan pula bermacam-macam jabatan dan mata pencaharian yang mempunyai di zaman Sriwijaya.[20] Adapun, jabatan dan mata pencaharian perkataan tersebut yaitu raja putra (putra raja yang keempat), bhupati (bupati), senopati (komandan pasukan), dan dandanayaka (hakim). Akhir terdapat juga Tuha an watak wuruh (pengawas gugusan pekerja),[Note 1] Adyaksi nijawarna/wasikarana (pembuat pisau), kayastha (juru tulis), sthapaka (pemahat), puwaham (nakhoda kapal), waniyaga, pratisra, marsi haji, dan hulu haji (peniaga, pemimpin, tukang cuci, budak raja).[20]

Menurut kronik Cina Hsin Tang-shu, Sriwijaya yang begitu lebar dibagi menjadi dua. Seperti yang dikemukakan diatas, Dapunta Hyang punya dua orang anak yang diberi gelar putra mahkota, yakni yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua).[20][63] Maka dari itu, Ahmad Jelani Halimi (profesor di Universiti Sains Malaysia) menyatakan bahwa bagi mencegah perpecahan di antara anak-anaknya itulah, maka kemungkinan Kerajaan Sriwijaya dibagi menjadi dua.[44]

Raja yang memerintah

Para Maharaja Sriwijaya[2][6]

TahunNama RajaIbukotaPrasasti, catatan pengiriman utusan ke Tiongkok serta peristiwa
671Dapunta Hyang atau
Sri Jayanasa
Srivijaya

Shih-li-fo-shih

Catatan perjalanan I Tsing pada tahun 671-685, Penaklukan Malayu, penaklukan Jawa

Prasasti Kedukan Bukit (683), Talang Tuo (684), Kota Kapur (686), Karang Brahi dan Palas Pasemah

702Sri Indrawarman

Shih-li-t-'o-pa-mo

Sriwijaya

Shih-li-fo-shih

Utusan ke Tiongkok 702-716, 724

Utusan ke Khalifah Muawiyah I dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz

728Rudra Vikraman

Lieou-t'eng-wei-kong

Sriwijaya

Shih-li-fo-shih

Utusan ke Tiongkok 728-742
743-774  Belum mempunyai berita pada periode ini
775Sri MaharajaSriwijayaPrasasti Ligor B tahun 775 di Nakhon Si Thammarat, selatan Thailand dan menaklukkan Kamboja
  Berpindah ke Jawa (Jawa Tengah atau Yogyakarta)Wangsa Sailendra mengantikan Wangsa Sanjaya
778Dharanindra atau
Rakai Panangkaran
JawaPrasasti Kelurak 782 di sebelah utara kompleks Candi Prambanan

Prasasti Kalasan tahun 778 di Candi Kalasan

782Samaragrawira atau
Rakai Warak
JawaPrasasti Nalanda dan prasasti Mantyasih tahun 907
792Samaratungga atau
Rakai Garung
JawaPrasasti Karang Tengah tahun 824,

825 membereskan pembangunan candi Borobudur

840  Kebangkitan Wangsa Sanjaya, Rakai Pikatan
856BalaputradewaSuwarnadwipaKehilangan kekuasaan di Jawa, dan kembali ke Suwarnadwipa

Prasasti Nalanda tahun 860, India

861-959  Belum mempunyai berita pada periode ini
960Sri Udayaditya Warmadewa

Se-li-hou-ta-hia-li-tan

Sriwijaya

San-fo-ts'i

Utusan ke Tiongkok 960, & 962
980  Utusan ke Tiongkok 980 & 983: dengan raja, Hie-tche (Haji)
988Sri Cudamani Warmadewa

Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa

Sriwijaya

Malayagiri (Suwarnadwipa) San-fo-ts'i

990 Jawa menyerang Sriwijaya, Catatan Atiśa,

Utusan ke Tiongkok 988-992-1003,
pembangunan candi bagi kaisar Cina yang diberi nama
cheng tien wan shou

1008Sri Mara-Vijayottunggawarman

Se-li-ma-la-pi

San-fo-ts'i

Kataha

Prasasti Leiden & utusan ke Tiongkok 1008
1017  Utusan San-fo-ts'i ke Tiongkok 1017: dengan raja, Ha-ch'i-su-wa-ch'a-p'u
(Haji Sumatrabhumi (?)); gelar haji biasanya bagi raja bawahan
1025Sangrama-VijayottunggawarmanSriwijaya

Kadaram

Diserang oleh Rajendra Chola I dan menjadi tawanan

Prasasti Tanjore bertarikh 1030 pada candi Rajaraja, Tanjore, India

1030  Dibawah Dinasti Chola dari Koromandel
1079  Utusan San-fo-ts'i dengan raja Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) ke Tiongkok 1079 membantu memperbaiki candi Tien Ching di Kuang Cho (dekat Kanton)
1082  Utusan San-fo-ts'i dari Kien-pi (Jambi) ke Tiongkok 1082 dan 1088
1089-1177  Belum mempunyai berita
1178  Laporan Chou-Ju-Kua dalam buku Chu-fan-chi memuat daftar koloni San-fo-ts'i
1183Srimat Trailokyaraja Maulibhusana WarmadewaDharmasrayaDibawah Dinasti Mauli, Kerajaan Melayu, Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand

Warisan sejarah

Busana gadis penari Gending Sriwijaya yang raya dan keemasan menggambarkan kegemilangan dan kekayaan Sriwijaya.

Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan keberadaanya pernah terlupakan dari ingatan warga pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coedès pada tahun 1920-an telah menggerakkan kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangung, tumbuh, dan berjaya pada masa akhir.

Warisan paling utama Sriwijaya jangan-jangan yaitu bahasanya. Sementara beberapa zaman, kekuatan ekononomi dan keperkasaan militernya telah mempunyai peran luhur atas tersebarluasnya penggunaan Bahasa Melayu Kuno di Nusantara, setidaknya di kawasan pesisir. Bahasa ini menjadi bahasa kerja atau bahasa yang berfungsi menjadi penghubung (lingua franca) yang dipakai di bermacam bandar dan pasar di kawasan Nusantara.[65] Tersebar lebarnya Bahasa Melayu Kuno ini jangan-jangan yang telah membuka dan memuluskan jalan bagi Bahasa Melayu menjadi bahasa nasional Malaysia, dan Bahasa Indonesia menjadi bahasa pemersatu Indonesia modern. Adapun Bahasa Melayu Kuno masih tetap dipakai sampai pada masa seratus tahun ke-14 M.[66]

Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya menjadi asal kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia.[67] Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi asal kebanggaan nasional dan identitas daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang, Sumatera Selatan. Keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni ingatan budi, seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi warga selatan Thailand yang menciptakan kembali tarian Sevichai yang bersesuaian pada keanggunan seni ingatan budi Sriwijaya.

Di Indonesia, nama Sriwijaya telah dipakai dan diabadikan menjadi nama jalan di bermacam kota, dan nama ini juga dipakai oleh Universitas Sriwijaya propertti tahun 1960 di Palembang. Demikian pula Kodam II Sriwijaya (unit komando militer), PT Pupuk Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera Selatan), Sriwijaya Post (Surat kabar harian di Palembang), Sriwijaya TV, Sriwijaya Cairan (maskapai penerbangan), Stadion Gelora Sriwijaya, dan Sriwijaya Football Club (Klab sepak bola Palembang). Semuanya dinamakan demikian bagi menghormati, memuliakan, dan merayakan kemaharajaan Sriwijaya yang gemilang. Pada tanggal 11 November 2011 digelar upacara pembukaan SEA Games 2011 di Stadion Gelora Sriwijaya, Palembang. Upacara pembukaan ini menampilkan tarian kolosal yang bertingkat "Srivijaya the Golden Peninsula" menampilkan tarian tradisional Palembang dan juga replika ukuran sebenarnya perahu Sriwijaya bagi menggambarkan kejayaan kemaharajaan bahari ini.[68][69]

Catatan bawah

  1. ^ Tuha an watak wuruh juga bersifat pengelola perdagangan dan pertukangan. Tugas mereka selain itu yaitu menjalankan perdagangan di pasar-pasar dan merekalah yang bertindak menjadi pengelolanya .[64]

Rujukan

  1. ^ Cœdès, George (1930). "Les inscriptions malaises de Çrivijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient (BEFEO) 30: 29–80. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. ISBN 981-4155-67-5. 
  3. ^ Gabriel Ferrand, (1922), L’Empire Sumatranais de Crivijaya, Imprimerie Nationale, Paris, “Textes Chinois”
  4. ^ a b Junjiro Takakusu, (1896), A record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing, Oxford, London.
  5. ^ Casparis, J.G. (1975). Indonesian palaeography: a history of writing in Indonesia from the beginnings to C. A, Part 1500. E. J. Brill. ISBN 90-04-04172-9. 
  6. ^ a b c d e f g h Muljana, Slamet (2006). In F.W. Stapel. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1. 
  7. ^ Cœdès, George (1918). "Le Royaume de Çriwijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient 18 (6): 1–36. 
  8. ^ a b c Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press. ISBN 0-300-10518-5. 
  9. ^ Krom, N.J. (1938). "Het Hindoe-tijdperk". In F.W. Stapel. Geschiedenis van Nederlandsch Indië. Amsterdam: N.V. U.M. Joost van den Vondel. pp. vol. I p. 149. 
  10. ^ a b c Wijaya, Taufik (24 March 2012). "Perahu Kuno Kerajaan Sriwijaya Ditemukan di Sumatera Selatan". Detik. Retrieved 20 April 2012. 
  11. ^ a b c d Sucipto 2009, hlm. 30.
  12. ^ Ahmad Rapanie, Cahyo Sulistianingsih, Ribuan Nata, "Kerajaan Sriwijaya, Sebagian Situs dan Temuannya", Museum Negeri Sumatera Selatan, Dinas Edukasi Provinsi Sumatera Selatan.
  13. ^ a b Soekmono, R. (2002). Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 2. Kanisius. ISBN 979-413-290-X. 
  14. ^ a b c Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1992), Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuna, PT Balai Pustaka, ISBN 979-407-408-X
  15. ^ Forgotten Kingdoms in Sumatra, Brill Archive
  16. ^ George Coedès, Louis-Charles Damais, (1992), Sriwijaya: history, religion & language of an early Malay polity : collected studies, MBRAS, ISBN 9839961411.
  17. ^ P. J. Suwarno, (1993), Pancasila ingatan budi bangsa Indonesia:Pengamatan Pancasila dengan pendekatan historis, filosofis & sosio-yuridis kenegaraan, Kanisius, ISBN 979413967X.
  18. ^ Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1993), Sejarah Nasional Indonesia II (6 Seri), Edisi Pemuktahiran, PT Balai Pustaka, ISBN 979407408X
  19. ^ Collins 2005, hlm. 8.
  20. ^ a b c d Susanti, Dini; Rohman, Yusuf Ali (August 2011). PELAJARAN IPS-SEJARAH BILINGUAL:Bagi SMP/MTs. Kelas VII. Bandung: CV. YRAMA WIDYA. p. 86. ISBN 978-979-543-708-6. 
  21. ^ Supratna, Nana (2008). Sejarah bagi Kelas XI Sekolah Pertengahan Atas: Program Bahasa. Bandung: Grasindo. ISBN 979-758-597-2. Retrieved 20 April 2012. 
  22. ^ Cœdès, George (1996). The Indianized States of Southeast Asia. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-0368-X. 
  23. ^ Collins 2005, hlm. 9.
  24. ^ Ahmad, H. Zainal Abidin (1979). Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya sampai sekarang. Bulan Bintang. 
  25. ^ Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., (1994). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Masa seratus tahun XVII & XVIII. Jakarta: Mizan. 
  26. ^ Melayu Online: Bambang Budi Utomo
  27. ^ Bukit Siguntang
  28. ^ Titik Temu, Jejak Peradaban di Tepi Batanghari, Photograph and artifact exhibition of Muara Jambi Archaeological site, Bentara Ingatan budi Jakarta, 9-11 November 2006
  29. ^ KaalaChaKra, Early Indian Influences in Southeast Asia
  30. ^ Bridgeman: Avalokitesvara figure from the Srivijaya Period, found in Chaiya, Thailand, 9th-10th century (bronze)
  31. ^ Srivijaya Art In Thailand
  32. ^ Sucipto 2009, hlm. 28.
  33. ^ Halimi 2008, hlm. 121.
  34. ^ a b Azra, Azyumardi (2006). Islam in the Indonesian world: an account of institutional formation. Mizan Pustaka. ISBN 979-433-430-8. 
  35. ^ "History of Madagascar". Lonely Planet.com. Retrieved 2010-07-07. 
  36. ^ Iqbal, Muhammad (17 April 2012). "Penghuni Pertama Pulau Madagaskar Berasal dari Kerajaan Sriwijaya". Detik. Retrieved 18 April 2012. 
  37. ^ "Madagascar Founded By Women". Discovery.com. Retrieved 2012-03-23. 
  38. ^ "A small cohort of Island Southeast Asian women founded Madagascar". Proceedings of The Royal Society B. Retrieved 2012-03-23. 
  39. ^ "Wanita Indonesia Nenek Moyang Penduduk Madagaskar". Yahoo News Indonesia. 21-03-2012. Retrieved 2012-03-23. 
  40. ^ Majumdar, R.C., (1933). "Le rois Çriwijaya de Suvarnadvipa". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient. XXXIII: 121–144. 
  41. ^ Moensr, J.L., (1937). "Çriwijaya, Yāva en Katāha". TBG. LXXVII: 317–487. 
  42. ^ Poerbatjaraka, R.N., (1956). "Çriwijaya, de Çailendra-en de Sanjāyavança". BKI 114: 254–264. 
  43. ^ Boechari (1966). "Preliminary report on the discovery of an Old malay inscription at Sojomerto". MISI III: 241–251. 
  44. ^ a b Halimi 2008, hlm. 120.
  45. ^ O. W. Wolters, (1967), Early Indonesian Commerce: a study of the origins of Śrīvijaya, Cornell University Press, Ithaca.
  46. ^ De Casparis. Prasasti Indonesia I. p. 110-111. Accessdate used without URL
  47. ^ Muljana, Slamet (2006). In F.W. Stapel. Sriwijaya. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1. 
  48. ^ a b Munoz 2006, hlm. 151.
  49. ^ Pramono, Djoko (2005). Ingatan budi bahari. Gramedia Pustaka Utama. ISBN 979-22-1351-1. 
  50. ^ Rasul, Jainal D. (2003). Agonies and Dreams: The Filipino Muslims and Other Minorities". Quezon City: CARE Minorities. pp. pages 77. 
  51. ^ Wade, Geoffrey (2009). "An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 900–1300 CE". www.eastwestcenter.org. p. 252. Retrieved 16 January 2013. 
  52. ^ a b c Munoz 2006, hlm. 150.
  53. ^ Muljana, Slamet (2006). In F.W. Stapel. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1. 
  54. ^ Forgotten Kingdoms in Sumatra, Brill Archive
  55. ^ Sastri K. A. N., (1935). The Cholas. University of Madras.
  56. ^ Kulke, H.; Kesavapany, K.; Sakhuja, V. (2009). Nagapattinam to Suvarnadwipa: reflections on Chola naval expeditions to Southeast Asia. Institute of Southeast Asian. ISBN 981-230-936-5. 
  57. ^ Sucipto 2009, hlm. 29.
  58. ^ Suriansyah Ideham. (2007:17). "Kerajaan Nan Sarunai". Melayu online. Archived from the original on 25 August 2012. Retrieved 25 August 2012. 
  59. ^ a b c Munoz. Early Kingdoms. p. 165. 
  60. ^ Munoz 2006, hlm. 167.
  61. ^ Hirth, F.; Rockhill, W.W. (1911). Chao Ju-kua, His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteen centuries, entitled Chu-fan-chi. St Petersburg. .
  62. ^ Kulke, H. (1993). "Kadātuan Śrīvijaya’—Empire or Kraton of Śrīvijaya? A Reassessment of the Epigraphic Data". Bulletin de l’École Française d’Extreme Orient 80 (1): 159–180. 
  63. ^ a b Casparis, J.C., (1956), Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions from the 7th to the 9th century A.D., Vol. II. Bandung: Masa Baru.
  64. ^ Halimi 2008, hlm. 122.
  65. ^ Southeast Asia Digital Library: About Malay
  66. ^ Collins 2005, hlm. 12.
  67. ^ Smith, A.L. (2000). Centrality: Indonesia's changing role in ASEAN Strategic Centrality: Indonesia's changing role in ASEAN. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. p. 9. ISBN 981-230-103-8. 
  68. ^ The new Golden Peninsula Games
  69. ^ Spectacular Opening of the 26th SEA GAMES in Palembang

Bacaan Lanjutan

  • D. G. E. Hall, A History of South-east Asia. London: Macmillan, 1955.
  • D. R. SarDesai. Southeast Asia: Past and Present. Boulder: Westview Press, 1997.
  • Lynda Norene Shaffer. Maritime Southeast Asia to 1500. London: ME Sharpe Armonk, 1996.
  • Stuart-Fox, Martin. A Short History of China and Southeast Asia: Tribute, Trade, and Influence. London: Allen and Unwin, 2003.
  • Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapura:Editions Didier Millet. ISBN 981-4155-67-5. 
  • Muljana, Slamet (2006). Sriwijaya. Yogyakarta: LKiS. ISBN 9798451627. 
  • Halimi, Ahmad Jelani (2008). Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu [Sejarah dan Peradaban Bangsa Melayu] (in Melayu). Kuala Lumpur: Utusan Publication & Distributors Sdn Bhd. ISBN 978-967-61-2155-X. 
  • Collins, James T. (2005). Bahasa Melayu, Bahasa Dunia - Sejarah Singkat (in Indonesia). Jakarta: KITLV bekerjasama dengan Pusat Bahasa dan Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-537-4. 
  • Sucipto (2009). In Suminto. Perkembangan Warga pada Masa Kerajaan Hindu Budha serta Peningalannya (in Indonesia). Solo: Tiga Serangkai. ISBN 978-979-045-686-0. 

Pranala luar

  • (Indonesia) Kerajaan Sriwijaya di MelayuOnline.com
  • (Indonesia) Balai Arkeologi Palembang dan Sriwijaya Society
  • (Inggris) Sejarah Melayu, Buddhist Empires
  • (Inggris) Śrīwijaya: A Centre of Learning?
Asal sejarah berkaitan dengan Sriwijaya
 
 
Sejarah kekaisaran di dunia
 
Kekaisaran kuno
Akkadia · Mesir · Assiria · Babilonia · Aksum · Hittit · Persia (Media · Akhemeniyah · Parthia · Sasaniyah· Makedonia (Ptolemaik · Seleukia· India (Maurya · Kushan · Gupta· Cina (Qin · Han · Jin· Romawi (Romawi Barat · Romawi Timur)
 
Kekaisaran masa seratus tahun pertengahan
Byzantium · Hun · Arab (Rasyidin · Umayyah · Abbasiyah · Fatimiyah · Kordoba · Ayyubiyyah· Maroko (Idrisiyah · Almoraviyah · Almohad · Mariniyah· Persia (Tahiriyah · Samaniyah · Buwayhiyah · Sallariyah · Ziyariyah) · Ghaznaviyah · Benin · Seljuk · Oyo · Bornu · Khwarezmia · Timuriyah · Chola · Mongol (Yuan · Jochi · Chagatai · Il· Kanem · Serbia · Songhai · Khmer · Bulgaria · Karoling · Romawi Suci · Angevin · Mali · Cina (Tang · Song · Yuan· Ghana · Aztec · Inca · Sriwijaya · Majapahit · Ethiopia (Zagwe · Salomo· Pala · Kesultanan Aceh
 
Kekaisaran modern
Maratha · Mughal · Cina (Ming · Qing· Utsmaniyah · Persia (Safawiyah · Afshariyah · Zand · Qajar· Ethiopia · Portugis · Spanyol · Iberia · Belanda · Britania · Perancis (Napoleon Perancis · Kolonial Perancis· Austria · Jerman (Kolonial Jerman · Jerman Nazi· Rusia · Swedia · Austria–Hongaria · Brazil · Kolonial Italia · Kolonial Belgia · Kolonial Denmark · Kolonial Norwegia · Korea · Jepang


Asal :
id.wikipedia.org, ilmu-pendidikan.com, pasar.kpt.co.id, wiki.edunitas.com, dsb-nya.



 Download Brochures
 Job Fairs
 Information Technology Manual
 Online College Programs in the Best 168 PTS
 Shalat Schedule
 Online Try Out Platform
 Al Qur'an Online
eduNitas.com
Toll-free service
0800 1234 000
Intern Knowledge
 ☝ Animals
 ☝ Biology
 ☝ Economics
 ☝ Electronic
 ☝ Geography
 ☝ Language
 ☝ Law
 ☝ Mathematics
Site Extension Class
UNKRIS Jakarta
Online Registration
Profile UNKRIS Jakarta
Student Admission
Study Program
Postgraduate (MM, S2)
Prospects Alumnus
UNKRIS Jakarta web list
Employee Class Web
Main Websites
 Relief Money Study Request
 Sundry Discussions
 Science Set
 Psychological Test Questions
 Sundry Adverts
 Night Lecture Program
 Regular Morning Tuition
 Master School Program
 Executive Class
 Tuition free of charge
 Online Registration


_