Islam di Sumatera Barat

Islam di Sumatera Barat dipeluk oleh sekitar 98% masyarakat Sumatera Barat.[1] Jumlah ini hendak meningkat dijadikan 99,6% bila Kabupaten Kepulauan Mentawai tidak dibawa turut. Namun, meskipun Islam dijadikan mayoritas, sampai kala ini Sumatera Barat belum diberikan keistimewaan oleh Pemerintah Indonesia untuk menerapkan syariat Islam seperti Aceh.

Islam di Minangkabau

Sejarah

Turutnya Islam

Agama Islam pertama kali turut ke dalam Sumatera Barat pada masa seratus tahun ke-7, dimana pada tahun 674 telah didapati warga Arab di pesisir timur Pulau Sumatera. Selain berdagang, secara perlahan mereka membawa turut agama Islam ke dataran tinggi Minangkabau atau Sumatera Barat sekarang mengalami aliran sungai yang bermuara di timur pulau Sumatera, seperti Batang Hari.

Perkembangan agama Islam di Sumatera Barat dijadikan sangat pesat sehabis Kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar, yang berhasil memperluas wilayahnya nyaris ke seluruh pantai barat Sumatera. Sehingga pada masa seratus tahun ke-13, Islam mulai turut ke dalam Tiku, Pariaman, Air Bangis, dan kawasan pesisir Sumatera Barat lainnya. Islam kemudian juga turut ke kawasan pedalaman atau dataran tinggi Minangkabau yang dinamakan "darek". Di kawasan daerak pada kala itu berdiri Kerajaan Pagaruyung, dimana kerajaan tersebut mulai mendapat pengaruh Islam sekitar masa seratus tahun ke-14. Ketika belum Islam diterima secara luas, warga yang mempunyai di sekitar pusat kerajaan dari beberapa bukti arkeologis menunjukan pernah memeluk agama Buddha dan Hindu terutama ketika belum turut ke dalam masa seratus tahun ke-7.

Perang Padri

Sejak masa seratus tahun ke-16, agama Islam telah dianut oleh seluruh warga Minangkabau baik yang menetap di Sumatera Barat maupun di luar Sumatera Barat. Jika mempunyai warganya keluar dari agama Islam atau murtad, secara langsung yang bersangkutan juga diasumsikan keluar dari warga Minangkabau. Namun sampai kemudian masa seratus tahun ke-17, beberapa dari mereka terutama yang mempunyai di lingkungan kerajaan, belum sepenuhnya menjalankan syariat Islam dengan sempurna dan bahkan masih memainkan tingkah laku yang dilarang dalam Islam. Paham hal tersebut, ulama-ulama Minangkabau yang kala itu dinamakan Kaum Padri dalam suatu perundingan mengajak warga di sekitar kerajaan Pagaruyung terutama Raja Pagaruyung untuk kembali ke nasihat Islam. Namun perundingan tersebut pada tahun 1803 berujung untuk konflik yang dikenal sebagai Perang Padri.

Perang Padri melibatkan sesama warga Minang, yaitu antara Kaum Padri dan Kaum Norma budaya. Sehabis 20 tahun konflik belangsung, pada tahun 1833 terjadi penyesalan di Kaum Norma budaya[2] karena telah mengundang Belanda 12 tahun sebelumnya,[3] yang selain mengakibatkan kerugian harta dan mengorbankan jiwa raga, juga meruntuhkan kekuasaan Pagaruyung. Kala itu, Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol mulai merangkul Kaum Adat, dan terjadilah suatu kesepakatan di antara kedua pihak untuk bersatu melawan Belanda. Tidak hanya itu, Kaum Norma budaya dan Kaum Padri juga mewujudkan konsesus bersama, yaitu "Norma budaya basandi syarak, syarak basandi Kitabullah" (Norma budaya berlandaskan nasihat Islam, nasihat Islam berlandaskan Al-Qur'an).[4]

Demografi

Edukasi

Tokoh Islam

Pengaruh

Arsitektur

Islam di Mentawai

Kabupaten Kepulauan Mentawai adalah kabupaten kepulauan yang terletak di sepanjang lepas pantai Sumatera Barat. Dikelilingi oleh Samudra Hindia, kabupaten ini terdiri dari seberapanya 106 pulau. Empat pula terbesarnya adalah: Siberut, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan. Keempat pulau tersebut mayoritas dihuni oleh Suku Mentawai. Suku Aceh dan Bugis, yang diperkirakan turut sejak tahun 1897, terkonsentrasi terutama di Pasapuat, Pagai Utara dan Labuhan Baju, Siberut Utara. Sehabis kemerdekaan, suku Mentawai telah membaur dengan suku-suku bangsa lain terutama sehabis kabupaten ini dijadikan salah satu kawasan transmigrasi di Indonesia.

Mayoritas suku Mentawai kala ini gemar sekali terhadap benda sangat memuja-muja Kristen. Misi pengkristenan di Mentawai berlangsung secara besar-besaran selama masa seratus tahun ke-18. Misionaris pertama yang paham keberadaan Kepulauan Mentawai yaitu Augyst Lerr dan rekannya A. Kramer pada tahun 1901. Mereka adalah Pastor Protestan yang berasal dari Jerman. Baru pada tahun 1954, Pastor Katolik menjejakkan kaki di kepulauan ini di bawah pimpinan Pastor Aurelio Cannizzaro.[5]

Sejarah

Dari sekitar 71.000 jiwa masyarakat Mentawai kala ini, hanya 15% saja yang Muslim. Terbanyak yaitu Protestan 60%, Khatolik 20%, dan sisanya animisme. Hal ini diakibatkan karena pihak Kristen didukung dana yang luhur dalam misi penyebaran agama mereka.[6]

Meskipun Kristen adalah agama terbesar, Islam lebih dahulu turut ke Mentawai. Agama Islam dibawa oleh suku-suku pendatang, seperti: Bugis, Aceh, Melayu, dan Minangkabau. Pada awal mulanya, mereka turut hendak berdagang. Lambat laun mereka menetap di sepanjang pantai, bergaul, dan berasimilasi dengan warga setempat. Mereka menyebarkan Islam mengalami pendekatan-pendekatan pribadi secara timbal balik tanpa pemaksaan atau memberikan iming-iming seperti yang dilakukan oleh misionaris Kristen.[6]

Pada tahun 1968, sebagai upaya untuk menyebarkan kembali Islam, Mohammad Natsir mencanangkan program bertingkat "Dakwah Khusus Mentawai". Sepulang dari Padang, Natsir bersurat untuk Fachruddin Datuk Majo Indo tertanggal 20 Juni 1968, yang mengingatkan agar berhatihati menghadapi aksi pemurtadan oleh pihak Salibiyah... Dokumen inilah yang nantinya membidani kelahirannya aksi dakwah ke Mentawai. Pada tahun 1970, Dewan Dakwah Indonesia mulai mengirimkan para dai ke Mentawai.[6] Namun, jumlah dai di Mentawai masih sangat tidak cukup. Ketua Aksi Muslim Minangkabau (GMM) Maat Acin misalnya menyebutkan, banyak penyelanggaraan jenazah Muslim yang kemudiannya dikuburkan dengan cara Kristen karena ketiadaan dai. Bahkan, mempunyai satu desa yang dahulunya 100% masyarakatnya Muslim, tapi sekarang Muslimnya tinggal 5 orang saja.[5]

Referensi

  1. ^ "Masyarakat Menurut Kelompok Umur dan Agama yang Dianut: Provinsi Sumatera Barat". Badan Pusat Statistik. Diakses 2012-05-03. 
  2. ^ Abdullah, Taufik (1966). Norma budaya and Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau 2 (2). hlm. 1–24. doi:10.2307/3350753. 
  3. ^ Amran, Rusli (1981). Sumatera Barat sampai Plakat Panjang. Penerbit Sinar Harapan. 
  4. ^ Jones, Gavin W.; Chee, Heng Leng; Mohamad, Maznah (2009). "Not Muslim, Not Minangkabau, Interreligious Marriage and its Culture Impact in Minangkabau Society by Mina Elvira". Muslim-Non-Muslim Marriage: Political and Cultural Contestations in Southeast Asia. Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 51. ISBN 978-981-230-874-0. 
  5. ^ Ghani 2013.
  6. ^ Abidin 1997.
 
Sumatera
  • Aceh
  • Sumatera Utara
  • Sumatera Barat
  • Bengkulu
  • Riau
  • Kepulauan Riau
  • Jambi
  • Sumatera Selatan
  • Lampung
  • Kepulauan Bangka Belitung
Garuda Pancasila
 
Jawa
 
Kalimantan
  • Kalimantan Barat
  • Kalimantan Tengah
  • Kalimantan Selatan
  • Kalimantan Timur
  • Kalimantan Utara
 
Nusa Tenggara
 
Sulawesi
 
Celaku
 
Papua


Sumber :
m.andrafarm.com, pasar.kuliah-karyawan.com, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, dsb-nya.