_
INDONESIAN TRIBE PERANAKAN
COLLECTION OF FREE STUDIES
Change to views  Mobile1, 2 Laptop 
Collection of Free Studies         A C D E F G H J 
First Website : Agriculture   ■ Astronomy   ■ Biology   ■ Brunei   ■ Jayawijaya   ■ National Hero   ■ North Africa   ■ Table of Content
Search in Collection of Free Studies   
thiol  (Before this)(Nexttip Top

Tionghoa-Indonesia

Suku Tionghoa-Indonesia
Kwik kian gie.jpgMari Pangestu at the World Economic Forum on East Asia 2008.jpgCiputra.jpg
Rudy hartono kurniawan.jpgSusi Susanti.jpgAlanbudikusuma.jpg
Angelique Widjaja.jpgAgnes Monica.jpgNikita with you jo juan.jpg
Christianjohn.jpgCOLLECTIE TROPENMUSEUM Studioportret van Tjong A Fie Majoor der Chinezen in Medan TMnr 10018656.jpgSoehokgie.jpg
Kwik Kian Gie · Mari Elka Pangestu · Ciputra
Rudy Hartono Kurniawan · Susi Susanti · Alan Budikusuma
Angelique Widjaja · Agnes Monica · Natashia Nikita
Chris John · Tjong A Fie · Soe Hok Gie
Jumlah populasi

1.739.000 (sensus 2000)[1]
2.832.510 (sensus 2010)[2]
7.670.000 (perkiraan 2006)[3]

Kawasan dengan populasi yang signifikan
Kalimantan Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka-Belitung, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.
Bahasa
Indonesia, Hokkien, Hakka, Tiochiu, Mandarin, Jawa dan bahasa-bahasa daerah lainnya.
Agama
beberapa agung penganut agama Kristen, Katolik dan Buddha, beberapa kecil menganut Kong Hu Cu dan Islam.
Himpunan etnik terdekat
Mayoritas suku Han dan minoritas suku Hui di Cina.

Suku bangsa Tionghoa (biasa disebut juga Cina[4]) di Indonesia adalah salah satu etnis di Indonesia. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut Tangren (Hanzi: 唐人, "orang Tang") atau lazim disebut Huaren (Hanzi Tradisional: 華人 ; Hanzi Sederhana : 华人) . Disebut Tangren dikarenakan berdasarkan dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas bermula dari Cina selatan yang menyebut diri mereka menjadi orang Tang, selama orang Cina utara menyebut diri mereka menjadi orang Han (Hanzi: 漢人, Hanyu Pinyin: Hanren, "orang Han").

Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi dengan cara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui aktivitas perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan ketika belum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berkomunikasi dekat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah yang lalu menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya.

Setelah negara Indonesia bebas, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan menjadi salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 perihal Kewarganegaraan Republik Indonesia.[5]

Daftar konten

Sumber kata

Kata Tionghwa telah digunakan dalam surat setia kepada tentara Nippon ini.

Tionghoa atau tionghwa, adalah istilah yang dibentuk sendiri oleh orang keturunan Cina di Indonesia, yang bermula dari kata zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan menjadi Tionghoa.

Wacana Cung Hwa setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, adalah tidak kekurangannya harapan dari orang-orang di Cina bagi terbebas dari kekuasaan dinasti kerajaan dan membentuk suatu negara yang bertambah demokratis dan kuat. Wacana ini hingga terdengar oleh orang sumber Cina yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu disebut Orang Cina.

Sekelompok orang sumber Cina yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda, merasa perlu mempelajari kebudayaan dan bahasanya. Pada tahun 1900, mereka membangun sekolah di Hindia Belanda, di bawah naungan suatu badan yang disebut "Tjung Hwa Hwei Kwan", yang bila lafalnya diindonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam budi pekertinya bukan saja memberikan edukasi bahasa dan kebudayaan Cina, tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah "Cina" menjadi "Tionghoa" di Hindia Belanda.

Populasi di Indonesia

Berdasarkan Volkstelling (sensus) pada masa Hindia Belanda, populasi Tionghoa-Indonesia mencapai 1.233.000 (2,03%) dari masyarakat Indonesia pada tahun 1930.[6] Tidak tidak kekurangan data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dibawa keluar pemerintah sejak Indonesia bebas. Namun pakar antropologi Amerika, G.W. Skinner, dalam risetnya sudah melalui memperkirakan populasi warga Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000 (2,5%) pada tahun 1961.[7]

Dalam sensus masyarakat pada tahun 2000, ketika bagi pertama kalinya responden sensus ditanyai mengenai sumber etnis mereka, hanya 1% dari jumlah semuanya populasi Indonesia mengaku menjadi Tionghoa. Lebih kurang kasar yang dipercaya mengenai jumlah suku Tionghoa-Indonesia saat ini ialah tidak kekurangan di selang kisaran 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.[8]

Daerah sumber di Cina

Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara Cina, menyebabkan banyak sekali orang-orang yang juga merasa perlu keluar berlayar bagi berjualan. Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara. Karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap tahunnya para pedagang akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian selanjutnya tidak kekurangan pedagang yang mengambil keputusan bagi bertempat tinggal tetap dan menikahi wanita setempat, tidak kekurangan pula pedagang yang pulang ke Cina bagi terus berjualan.

Orang-orang Tionghoa di Indonesia, umumnya bermula dari tenggara Cina. Mereka termasuk suku-suku:

Daerah sumber yang terkonsentrasi di pesisir tenggara ini dapat dipahami, karena dari sejak zaman Dinasti Tang kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Cina memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou sudah melalui tercatat menjadi bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.

Daerah konsentrasi

Beberapa agung dari orang-orang Tionghoa di Indonesia bertempat tinggal tetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga bertempat tinggal tetap dalam jumlah agung kecuali di daerah perkotaan adalah: Sumatera Utara, Bangka-Belitung, Sumatera Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.

Di Tangerang Banten, warga Tionghoa telah menyatu dengan masyarakat setempat dan melalui pembauran lewat perkawinan, sehingga warna kulit mereka kadang bertambah gelap dari Tionghoa yang lain. Istilah buat mereka disebut Cina Benteng. Keseniannya yang sedang tidak kekurangan disebut Cokek, sebuah tarian lawan macam dengan cara bersama dengan iringan paduan musik campuran Cina, Jawa, Sunda dan Melayu.

Sejarah

Masa-masa permulaan

Seorang pria Tionghoa berkuncir (toucang) di jalanan Batavia pertengahan tahun 1910-an.

Orang dari Tiongkok daratan telah ribuan tahun mengunjungi dan merebut kepulauan Nusantara.

Beberapa catatan tertua ditulis oleh para agamawan, seperti Fa Hien pada zaman ke-4 dan I Ching pada zaman ke-7. Fa Hien melaporkan suatu kerajaan di Jawa ("To lo mo") dan I Ching berhasrat datang ke India bagi mempelajari agama Buddha dan singgah dahulu di Nusantara bagi berlatih bahasa Sanskerta. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernama Jñânabhadra.

Dengan mengembangnya kerajaan-kerajaan di Nusantara, para imigran Tiongkok pun mulai berdatangan, terutama bagi kepentingan perdagangan. Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang Cina disebut-sebut menjadi warga asing yang bertempat tinggal tetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anakbenua India. Dalam suatu prasasti perunggu bertahun 860 dari Jawa Timur disebut suatu istilah, Juru Cina, yang berkait dengan jabatan pengurus orang-orang Tionghoa yang tinggal di sana. Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga juga mendapat pengaruh dari motif-motif kain sutera Tiongkok.[9]

Catatan Ma Huan, ketika turut serta dalam ekspedisi Cheng Ho, menyebut dengan cara jelas bahwa pedagang Cina muslim menghuni ibukota dan kota-kota bandar Majapahit (abad ke-15) dan membentuk satu dari tiga komponen masyarakat kerajaan itu.[10] Ekspedisi Cheng Ho juga pergi dari jejak di Semarang, ketika orang keduanya, Wang Jinghong, sakit dan memaksa rombongan menyetop sauh di Simongan (sekarang anggota dari Kota Semarang). Wang lalu bertempat tinggal tetap karena tidak mampu mengiringi ekspedisi selanjutnya. Ia dan penganutnya menjadi salah satu cikal-bakal warga Tionghoa Semarang. Wang mengabadikan Cheng Ho menjadi sebuah patung (disebut "Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong"), serta membangun kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu.[11] Di komplek ini Wang juga dikuburkan dan dijuluki "Mbah Jurumudi Dampo Awang".[12]

Sejumlah sejarawan juga menunjukkan bahwa Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak, memiliki darah Tiongkok kecuali keturunan Majapahit. Beberapa wali penyebar agama Islam di Jawa juga memiliki darah Tiongkok, meskipun mereka memeluk Islam dan tidak lagi dengan cara aktif mempraktekkan kultur Tionghoa.[13]

Kitab Sunda Tina Layang Parahyang menyebutkan kedatangan rombongan Tionghoa ke muara Ci Sadane (sekarang Teluknaga) pada tahun 1407, pada masa daerah itu sedang di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda (Pajajaran). Pemimpinnya adalah Halung dan mereka terdampar ketika belum mencapai tujuan di Kalapa.

Ilustrasi pedagang Tionghoa di Banten

Era kolonial

Sepasang mempelai Tionghoa di Salatiga, circa 1918

Di masa kolonial, Belanda sudah melalui mengangkat beberapa pemimpin komunitas dengan gelar Kapiten Cina, yang diwajibkan setia dan menjadi penghubung selang pemerintah dengan komunitas Tionghoa. Beberapa di selang mereka ternyata juga telah berbuat jasa bagi warga umum, misalnya So Beng Kong dan Phoa Beng Gan yang membangun kanal di Batavia. Di Batavia, Mohamad Djafar menjadi kapten Tionghoa muslim yang paling terakhir (ke-dua). Di Yogyakarta, Kapiten Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta.[14]

Pembantaian orang Tionghoa tanggal 9 Oktober 1740 di Batavia

Sebetulnya terdapat juga himpunan Tionghoa yang sudah melalui berjuang melawan Belanda, baik sendiri maupun bersama etnis lain. Bersama etnis Jawa, himpunan Tionghoa berperang melawan VOC tahun 1740-1743. Di Kalimantan Barat, komunitas Tionghoa yang tergabung dalam "Republik" Lanfong berperang dengan pasukan Belanda pada zaman XIX.

Dalam budi pekerti sejarah pra kemerdekaan, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan, seperti pembantaian di Batavia 1740 dan pembantaian masa peperangan Jawa 1825-1830. Pembantaian di Batavia tersebut [15][16][4] melahirkan gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di beberapa kota di Jawa Tengah yang ditolong pula oleh etnis Jawa. Pada gilirannya ini mengakibatkan pecahnya kerajaan Mataram. Orang Tionghoa tidak lagi diperbolehkan bermukim di sembarang tempat. Aturan Wijkenstelsel ini menciptakan pemukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota agung di Hindia Belanda.

Daerah Pecinan di Banjarmasin.
Kelenteng Tua Pek Kong di Ketapang.

Edukasi

Kebangkitan nasionalisme di Hindia Belanda tidak terlepas dari perkembangan yang menjadi pada komunitas Tionghoa. Tanggal 17 Maret 1900 terbentuk di Batavia Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang membangun sekolah-sekolah, seperti di kota Garut dirintis dan didirikan pada tahun 1907 oleh seorang pengusaha hasil bumi saat itu bernama Lauw O Teng beserta kedua anak lelakinya bernama Lauw Tek Hay dan Lauw Tek Siang,dengan maksud supaya orang Tionghoa bisa pintar, (kemudian jumlahnya mencapai 54 buah sekolah dan pada tahun 1908 dan mencapai 450 sekolah tahun 1934). Inisiatif ini diiringi oleh etnis lain, seperti keturunan Arab yang membangun Djamiat-ul Chair meniru model THHK. Pada gilirannya perihal ini menyadarkan priyayi Jawa perihal pentingnya edukasi bagi generasi muda sehingga dibentuklah Budi Utomo.

Perekonomian

Target pemerintah kolonial bagi mencegah interaksi pribumi dengan etnis Tionghoa melalui aturan passenstelsel dan Wijkenstelsel itu ternyata menciptakan konsentrasi aktivitas ekonomi orang Tionghoa di perkotaan. Ketika perekonomian dunia berpindah ke sektor industri, orang-orang Tionghoa paling siap berusaha dengan spesialisasi usaha makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan kontruksi, pemintalan, batik, kretek dan transportasi. Tahun 1909 di Buitenzorg (Bogor) Sarekat Dagang Islamiyah didirikan oleh RA Tirtoadisuryo mengiringi model Siang Hwee (kamar dagang orang Tionghoa) yang dibentuk tahun 1906 di Batavia. Bahkan perwujudan Sarekat Islam (SI) di Surakarta tidak terlepas dari pengaruh asosiasi yang bertambah dahulu dibentuk oleh warga Tionghoa. Pendiri SI, Haji Samanhudi, pada mulanya adalah anggota Kong Sing, organisasi paguyuban tolong-menolong orang Tionghoa di Surakarta. Samanhudi juga lalu membentuk Rekso Rumekso adalah Kong Sing-nya orang Jawa.

Pergerakan

Pemerintah kolonial Belanda makin kuatir karena Sun Yat Sen memproklamasikan Republik Cina, Januari 1912. Organisasi Tionghoa yang pada mulanya berkecimpung dalam anggota sosial-budaya mulai mengarah kepada politik. Tujuannya menghapuskan perlakukan diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda dalam anggota edukasi, hukum/peradilan, status sipil, beban pajak, hambatan bergerak dan bertempat tinggal.

Dalam rangka pelaksanaan Politik Etis, pemerintah kolonial berusaha memajukan edukasi, namun warga Tionghoa tidak diikutkan dalam program tersebut. Padahal orang Tionghoa membayar pajak ganda (pajak pendapatan dan pajak kekayaan). Pajak pendapatan diwajibkan kepada warga pribumi yang bukan petani. Pajak kekayaan (rumah, kuda, kereta, kendaraan bermotor dan peralatan rumah tangga) dikenakan hanya bagi Orang Eropa dan Timur Asing (termasuk orang etnis Tionghoa). Hambatan bagi bergerak dikenakan bagi warga Tionghoa dengan tidak kekurangannya passenstelsel.

Pada waktu menjadinya Sumpah Pemuda, tidak kekurangan beberapa nama dari himpunan Tionghoa sempat berada, selang lain Kwee Tiam Hong dan tiga pemuda Tionghoa lainnya. Sin Po menjadi koran Melayu Tionghoa juga banyak sekali memberikan sumbangan dalam menyebarkan informasi yang bersifat nasionalis. Pada 1920-an itu, harian Sin Po memelopori penggunaan kata Indonesia bumiputera menjadi pengganti kata Belanda inlander di semua penerbitannya. Langkah ini lalu diiringi oleh banyak harian lain. Menjadi balas budi, semua pers lokal lalu mengganti kata "Tjina" dengan kata Tionghoa. Pada 1931 Liem Koen Hian membangun PTI, Partai Tionghoa Indonesia (dan bukan Partai Tjina Indonesia).

Masa Revolusi dan Pra Kemerdekaan RI

Pada masa revolusi tahun 1945-an, Mayor John Lie yang menyelundupkan barang-barang ke Singapura bagi kepentingan pembiayaan Republik. Rumah Djiaw Kie Siong di Rengasdengklok, dekat Karawang, diambil-alih oleh Tentara Pembela Tanah Cairan (PETA), lalu penghuninya dipindahkan supaya Bung Karno dan Bung Hatta dapat selesai setelah "disingkirkan" dari Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1945. Di Badan Penyelidik Usaha Perlengkapan dan persediaan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan UUD'45 terdapat 4 orang Tionghoa yaitu; Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, dan di Panitia Perlengkapan dan persediaan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) terdapat 1 orang Tionghoa adalah Drs.Yap Tjwan Bing. Liem Koen Hian yang meninggal dalam status menjadi warganegara asing, sesungguhnya turut merencanakan UUD 1945. Lagu Indonesia Raya yang dibentuk oleh W.R. Supratman, pun pertama kali dipromosikan oleh Koran Sin Po.

Dalam perjuangan fisik tidak kekurangan beberapa pejuang dari kalangan Tionghoa, namun nama mereka tidak banyak dicatat dan diberitakan. Salah seorang yang diketahui ialah Tony Wen, adalah orang yang terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Hotel Oranye Surabaya.

Pasca kemerdekaan

Orde Lama

Penerbang tingkatan udara Tionghoa-Indonesia di tahun 1950

Pada Orde Lama, terdapat beberapa menteri Republik Indonesia dari keturunan Tionghoa seperti Oei Tjoe Tat, Ong Eng Die, Siauw Giok Tjhan, dll. Bahkan Oei Tjoe Tat sudah melalui dinaikkan menjadi salah satu Tangan Kanan Ir. Soekarno pada masa Kabinet Dwikora. Pada masa ini hubungan Ir. Soekarno dengan beberapa tokoh dari kalangan Tionghoa dapat disebutkan sangat baik. Walau pada Orde Lama terdapat beberapa kebijakan politik yang diskriminatif seperti Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa bagi berjualan eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten. Perihal ini menyembulkan dampak yang lebar terhadap distribusi barang dan pada terakhirnya menjadi salah satu karena keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965 dan lainnya.

Orde Baru

Selama Orde Baru diterapkan penerapan kepastian perihal Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, atau yang bertambah termasyhur disebut SBKRI, yang utamanya ditujukan kepada warga negara Indonesia (WNI) etnis Tionghoa beserta keturunan-keturunannya. Walaupun kepastian ini bersifat administratif, dengan cara esensi penerapan SBKRI sama berarti dengan upaya yang mendudukkan WNI Tionghoa pada jabatan status hukum WNI yang "masih dipertanyakan".

Pada Orde Baru Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan diasumsikan menjadi warga negara asing di Indonesia dan jabatannya tidak kekurangan di bawah warga pribumi, yang dengan cara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai dengan cara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski lalu perihal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Luhur dan terakhirnya Jaksa Luhur Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun daya bagi memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.

Satu-satunya surat kabar bicara Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang beberapa artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikendalikan dan diteliti oleh militer Indonesia dalam perihal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bertugas juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Dampaknya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.

Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang bertambah 5 juta dari semuanya rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan bicara bahwa biasanya dari mereka berprofesi menjadi pedagang, yang pasti bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan diterapkan.

Orang Tionghoa disingkirkan dari kehidupan politik praktis. Beberapa lagi memilih bagi menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.

Pada masa terakhir dari Orde Baru, terdapat peristiwa kerusuhan rasial yang adalah peristiwa terkelam bagi warga Indonesia terutama warga Tionghoa karena kerusuhan tersebut menyebabkan jatuhnya banyak korban bahkan banyak di selang mereka melalui pelecehan seksual, penjarahan, kekerasan, dan lainnya.

Reformasi

Reformasi yang digulirkan pada 1998 telah banyak menyebabkan perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia. Walau belum 100% perubahan tersebut menjadi, namun perihal ini sudah menunjukkan tidak kekurangannya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi terhadap warga Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, tipu daya budi, ataupun atraksi Tionghoa dilarang diperllihatkan di depan publik, saat ini telah menjadi pemandangan umum perihal tersebut diterapkan. Di Medan, Sumatera Utara, misalnya, adalah perihal yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan bahasa Hokkien ataupun memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Kecuali itu, pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden Megawati-Hasyim Muzadi menggunakan aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya bagi menarik minat warga Tionghoa.

Kerusuhan Rasial terhadap Warga Tionghoa di Indonesia

Semarang. Dua orang wanita di Gedung Batu. 1989.

Kerusuhan-kerusuhan yang menimpa etnis Tionghoa selang lain pembunuhan massal di Jawa 1946-1948, peristiwa rasialis 10 Mei 1963 di Bandung, 5 Agustus 1973 di Jakarta, Malari 1974 di Jakarta, Kerusuhan Mei 1998 di beberapa kota agung seperti Jakarta, Medan, Bandung, Solo ,dll. serta bermacam kerusuhan rasial lainnya.

Beberapa contoh kerusuhan rasial yang menjadi yaitu :

  • Bandung, 10 Mei 1963. Kerusuhan anti suku peranakan Tionghoa terbesar di Jawa Barat. Awalnya, menjadi keributan di kampus Institut Teknologi Bandung selang mahasiswa pribumi dan non-pribumi. Keributan berubah menjadi kerusuhan yang menjalar ke mana-mana, bahkan ke kota-kota lain seperti Yogyakarta, Malang, Surabaya, dan Medan.
  • Desember, tahun 1966. Sekolah- sekolah Cina di Indonesia ditutup pada bulan Desember.
  • Jakarta, tahun 1967. Koran- koran bicara Cina ditutup oleh pemerintah.

April, gereja- gereja diserang di Aceh, berbarengan dengan demonstrasi anti Cina di Jakarta.

  • Pekalongan, 31 Desember 1972. Menjadi keributan selang orang-orang Arab dan peranakan Tionghoa. Awalnya, perkelahian yang berujung terbunuhnya seorang pemuda Tionghoa. Keributan menjadi saat perkara pemakaman.
  • Palu, 27 Juni 1973. Sekelompok pemuda menghancurkan toko Tionghoa. Kerusuhan muncul karena pemilik toko itu memakai kertas yang bertuliskan huruf Arab menjadi pembungkus dagangan.
  • Bandung, 5 Agustus 1973. Dimulai dari serempetan sebuah gerobak dengan mobil yang berbuntut perkelahian. Kebetulan penumpang mobil orang-orang Tionghoa. Akhirnya, kerusuhan meledak di mana-mana.
  • Jakarta, tahun 1978. Pelarangan penggunaan karakter- karakter huruf Cina di setiap barang/ media cetak di Indonesia.
  • Ujungpandang, April 1980. Suharti, seorang pembantu rumah-tangga meninggal mendadak. Lalu beredar desas-desus: Ia mati karena dianiaya majikannya seorang Tionghoa. Kerusuhan rasial meledak. Ratusan rumah dan toko milik suku peranakan Tionghoa dirusak.
  • Medan, 12 April 1980. Sekelompok mahasiswa USU bersepeda motor keliling kota, sambil memekikkan teriakan anti suku peranakan Tionghoa. Kerusuhan itu bermula dari perkelahian.
  • Solo, 20 November 1980. Kerusuhan melanda kota Solo dan merembet ke kota-kota lain di Jawa Tengah. Bermula dari perkelahian pelajar Sekolah Guru Olahraga, selang Pipit Supriyadi dan Kicak, seorang pemuda suku peranakan TiongHoa. Perkelahian itu berubah menjadi perusakan dan pembakaran toko-toko milik orang-orang TiongHoa.
  • Surabaya, September 1986. Pembantu rumah tangga dianiaya oleh majikannya suku peranakan TiongHoa. Kejadian itu memancing kemarahan warga Surabaya. Mereka melempari mobil dan toko-toko milik orang-orang TiongHoa.
  • Pekalongan, 24 November 1995. Yoe Sing Yung, pedagang kelontong, menyobek kitab suci Alquran. Dampak ulah penderita gangguan jiwa itu, warga marah dan menghancurkan toko-toko milik orang-orang Tiong Hoa.
  • Bandung, 14 Januari 1996. Massa mengamuk seusai perhelatan musik Iwan Fals. Mereka melempari toko-toko milik orang-orang Tiong Hoa. Pemicunya, mereka kecewa tak bisa masuk perhelatan karena tak punya karcis.
  • Rengasdengklok, 30 Januari 1997. Mula-mula tidak kekurangan seorang suku peranakan Tiong Hoa yang merasa terganggu suara beduk Subuh. Percekcokan menjadi. Warga mengamuk, menghancurkan rumah dan toko TiongHoa.
  • Ujungpandang, 15 September 1997. Benny Karre, seorang keturunan Tiong Hoa dan pengidap penyakit jiwa, membacok seorang anak pribumi, kerusuhan meledak, toko-toko TiongHoa dibakar dan dihancurkan.
  • Februari 1998. Kraksaan, Donggala, Sumbawa, Flores, Jatiwangi, Losari, Gebang, Pamanukan, Lombok, Rantauprapat, Aeknabara: Januari – Anti Tionghua
  • Kerusuhan Mei 1998. Salah satu contoh kerusuhan rasial yang paling dikenang warga Tionghoa Indonesia adalah Kerusuhan Mei 1998. Pada kerusuhan ini banyak toko-toko dan perusahaan-perusahaan dihancurkan oleh amuk massa — terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa. Konsentrasi kerusuhan terbesar menjadi di Jakarta, Bandung, dan Solo. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan melalui pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut. Beberapa bahkan diperkosa beramai-ramai, dianiaya dengan cara sadis, lalu dibunuh. Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang terbunuh, terluka, melalui pelecehan seksual, penderitaan fisik dan batin serta banyak warga keturunan Tionghoa yang pergi dari Indonesia. Hingga bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia belum mengambil gerakan apapun terhadap nama-nama agung yang diasumsikan provokator kerusuhan Mei 1998. Bahkan pemerintah mengeluarkan pernyataan berkontradiksi dengan fakta yang sebenarnya yang menjadi dengan memberitahukan sama sekali tidak tidak kekurangan pemerkosaan massal terhadap wanita keturunan Tionghoa diakibatkan tidak tidak kekurangan bukti-bukti konkret perihal pemerkosaan tersebut. Karena dan alasan kerusuhan ini sedang banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi hingga hari ini. Namun demikian umumnya orang setuju bahwa peristiwa ini adalah sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, selama beberapa pihak, terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini adalah gerakan pembasmian orang-orang tersebut.
  • 5-8 Mei 1998. Medan, Belawan, Pulobrayan, Lubuk-Pakam, Perbaungan, Tebing-Tinggi, Pematang-Siantar, Tanjungmorawa, Pantailabu, Galang, Pagarmerbau, Beringin, Batangkuis, Percut Sei Tuan: Ketidakpuasan politik yang mengembang aci anti Tionghoa.
  • Jakarta, 13-14 Mei 1998. Kemarahan massa dampak penembakan mahasiswa Universitas Trisakti yang dikembangkan oleh himpunan politik tertentu aci kerusuhan anti Cina. Peristiwa ini adalah persitiwa anti Cina paling agung sepanjang sejarah Republik Indonesia. Sejumlah perempuan keturunan Tionghoa diperkosa.
  • Solo, 14 Mei 1998. Ketidakpuasan politik yang lalu digerakkan oleh himpunan politik tertentu menjadi kerusuhan anti Tionghua.

Peran Warga Tionghoa Bagi Republik Indonesia

Peran Ekonomi

Peran Sosial Tipu daya budi dan Edukasi

Didirikannya sekolah-sekolah Tionghoa oleh organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) sejak 1900, mendorong mengembangnya pers dan sastra Melayu Tionghoa. Maka dalam waktu 70 tahun telah diproduksi anggar-anggar 3000 buku, suatu prestasi yang luar biasa bila dibandingkan dengan sastra yang diproduksi oleh tingkatan pujangga baru, tingkatan 45, 66 dan pasca 66 yang tidak seproduktif itu. Dengan demikian komunitas ini telah berbuat jasa dalam membentuk satu permulaan perkembangan bahasa Indonesia.

Sumbangsih warga Tionghoa Indonesia juga kelihatan dalam koran Sin Po, dimana koran Sin Po menjadi koran pertama yang menerbitkan teks lagu Indonesia Raya setelah disepakati pada Sumpah Pemuda tahun 1928.

Nama Sie Kok Liong memang sangat jarang didengar oleh warga Indonesia, namun Sie Kok Liong adalah seorang warga Tionghoa yang menyewakan rumahnya bagi para pemuda dalam menyelenggarakan Sumpah Pemuda. Hanya sedikit catatan mengenai Sie Kok Liong, seiring dengan tumbuhnya sekolah-sekolah pada permulaan zaman ke-20 di Jakarta tumbuh pula pondokan-pondokan pelajar bagi menampung mereka yang tidak tertampung di asrama sekolah atau bagi mereka yang berhasrat hidup bertambah bebas di luar asrama yang ketat. Salah satu di selang pondokan pelajar itu adalah Gedung Kramat 106 milik Sie Kok Liong. Di Gedung Kramat 106 inilah sejumlah pemuda pergerakan dan pelajar sering bersama-sama menjadi satu himpunan. Gedung itu, kecuali menjadi tempat tinggal dan sering digunakan menjadi tempat latihan kesenian Langen Siswo juga sering dipakai bagi tempat diskusi perihal politik para pemuda dan pelajar. Terlebih lagi setelah Pengerahan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) didirikan pada September 1926. Kecuali menjadi kantor PPPI dan kantor redaksi majalah Indonesia Raya yang diterbitkan oleh PPPI, bermacam organisasi pemuda sering menggunakan gedung ini menjadi tempat kongres. Bahkan pada 1928 Gedung Kramat 106 aci salah satu tempat penyelenggaraan Kongres Pemuda II tanggal 27 - 28 Oktober 1928.

Universitas Trisakti yang kini menjadi salah satu universitas termasyhur di Indonesia juga adalah salah satu sumbangsih warga Tionghoa di Indonesia. Pada tahun 1958, universitas ini didirikan oleh para petinggi Baperki yang biasanya keturunan Tionghoa salah satunya adalah Siauw Giok Tjhan, pada tahun 1962 oleh Presiden Soekarno nama universitas ini diganti menjadi Universitas Res Publika hingga 1965, dan sejak Orde Baru, universitas ini berpindah nama menjadi Universitas Trisakti hingga sekarang.

Di Medan dikenal kedermawanan Tjong A Fie, rasa hormatnya terhadap Sultan Deli Makmun Al Rasyid diwujudkannya pengusaha Tionghoa ini dengan menyumbang sepertiga dari pengembangan Mesjid Raya Medan. Rumah peninggalan Tjong A Fie hingga sekarang sedang tidak kekurangan di kota Medan walaupun kontruksinya kelihatan tidak terurus lagi.

Di Bagansiapiapi terdapat Ritual Bakar Tongkang menjadi ucapan rasa syukur warga Tionghoa Bagansiapiapi atas perlindungan Dewa Kie Ong Ya. Ritual Bakar Tongkang sangat diandalkan pemerintah daerah setempat menjadi daya tarik wisata daerah dimana setiap tahunnya menyedot puluhan ribu lawatan wisatawan baik dalam maupun luar negeri.

Saat ini di Taman Mini Indonesia Indah baru saja didirikan taman tipu daya budi Tionghoa Indonesia yang diprakarsai oleh PSMTI. Pengembangan taman ini direncanakan akan bubar ketika belum tahun 2012 dengan biaya kurang bertambah 50 milyar rupiah.


Tionghoa-Indonesia saat ini

Footnote dan referensi

  1. ^ Makna "etnis" yang dipakai BPS didasarkan atas pengakuan orang yang disensus. Atas dasar ini, jumlah ini dapat diasumsikan menjadi batas bawah ("lowerbound") karena banyak warga Tionghoa yang enggan mengaku menjadi "Tionghoa" dalam sensus. Menurut Perpustakaan Universitas Ohio [1], jumlah suku Tionghoa di Indonesia mencapai 7.310.000 jiwa. Jumlah ini adalah yang terbesar di luar Cina.
  2. ^ Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Masyarakat Indonesia Hasil Sensus Masyarakat 2010. Badan Pusat Statistik. 2011. ISBN 9789790644175. 
  3. ^ (Tionghoa) "印尼2006 年華人人口統計推估 (Lebih kurang Statistik Jumlah Masyarakat Tionghoa-Indonesia Tahun 2006)" (PDF). Overseas Compatriot Affairs Commission, R.O.C (Taiwan). Retrieved 2010-05-10. "本會以人口增加率1.38%估計,2006 年印尼華人人口約有767 萬人,約占印尼總人口的3.4%,尚屬合理。" 
  4. ^ Lihat pula Penggunaan istilah Cina, China dan Tiongkok#Di Indonesia
  5. ^ Trisnanto, AM Adhy (Minggu, 18 Februari 2007), "Etnis Tionghoa Juga Bangsa Indonesia", Suara Bebas, retrieved 13 Agustus 2008 
  6. ^ Vasanty, Puspa (2004). In Prof. Dr. Koentjaraningrat. "Kebudayaan Orang Tionghoa Di Indonesia", Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Penerbit Djambatan. hlm. hal. 359. ISBN 979-428-510-2. 
  7. ^ Skinner, G.W. (1963). In R.T. McVey. "The Chinese Minority", Indonesia. New Haven, HRAF. hlm. hal. 99. 
  8. ^ Kusno, Malikul (Sabtu, 9 Desember 2006), "UU Kewarganegaraan dan Etnis Tionghoa", Harian Umum Sinar Harapan, retrieved 18 Agustus 2008 
  9. ^ Rustopo 2008. Jawa Sejati. Otobiografi Go Tik Swan. Penerbit Ombak Yogyakarta
  10. ^ Arismunandar A 2007. Kerajaan Majapahit zaman XIV dan XV. Artikel pada laman Majapahit Kingdom
  11. ^ Tidak kekurangan yang berpendapat kelenteng ini didirikan oleh orang dari Tuban, suatu pelabuhan penting di pantai utara Jawa Timur pada masa lalu.[2]
  12. ^ Zulkifli AA. Admiral Cheng Ho sudah melalui singgah di Surabaya[3]
  13. ^ (Indonesia) Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 63. ISBN 9798451163. ISBN 9789798451164
  14. ^ Setiono, Benny G. "Tionghoa Dalam Pusaran Politik", perihal. 167, Transmedia
  15. ^ http://home.iae.nl/users/arcengel/NedIndie/chinezenengels.htm
  16. ^ http://www.obor.co.id/DetailBuku.asp?Bk_ISBN=979-461-556-0

Lihat pula

Pranala luar

  • (Indonesia) Forum Diskusi Tipu daya budi Tionghoa dan Sejarah Tiongkok
  • (Indonesia) Budaya, Sejarah & Tradisi Tionghoa
  • (Indonesia) Tipu daya budi Tionghoa
  • (Indonesia) Sejarah Keturunan Tionghoa yang Terlupakan
  • (Indonesia) Persekutuan Gereja-gereja Tionghoa Indonesia
  • (Indonesia) Persatuan Islam Tionghoa Indonesia / Yasasan Karim Oey / Pengajian Muslim Tionghoa dan Keluarga
Orang Indonesia keturunan asing
 
Afrika
 
Asia
Arab-Indonesia  · India-Indonesia  · Jepang-Indonesia  · Korea-Indonesia  · Tionghoa-Indonesia  · Filipina-Indonesia  · Pakistan-Indonesia
 
Eropa
Orang Indo  · Armenia-Indonesia  · Jerman-Indonesia  · Portugis-Indonesia
 
Oceania
Australia-Indonesia  · Timor Leste-Indonesia
 
Multi-Sumber


Sumber :
id.wikipedia.org, m.andrafarm.com, pasar.gilland-ganesha.com, wiki.edunitas.com, dsb.



 Various Kinds Info
 Graduate School Program
 Download Catalogs
 Job Opportunities
Click Register Online
Get the Scholarship Info
eduNitas.com
Being Successful is Easy
Site
Advanced Class Program (Online Lectures)

Profile & Objectives
New Student Admission
Study Program each PTS
Department + Career
Main Solutions
Improve Career or Got New Job
First Website
 ■ Albanian
 ■ Biography
 ■ Chemistry
 ■ Culture
 ■ Dogiyai
 ■ Dompu
 ■ Economics
 ■ Education
 ■ Electronic
 ■ Geography
 ■ North Africa
List of Websites Regular Night Lecture
List of Websites Main
List of Websites Regular Day Tuition
List of Websites Graduate School Program
List of Websites Special Class
 Regular Day Tuition
 Regular Night Lecture Program
 Free Online Try Out
 Sholat Times
 Al-Qur'an Online
 Informatics Tutorials
 Psychotest Tips & Tricks
 Literature
 Various Forums
 Online Registration
 Waivers Tuition Submission
 Online College Programs in the Best 168 PTS
 Free Tuition Fees
 Special Class



Indonesian tribe Peranakan   ■   Collection of Free Studies
_