Herman Neubronner van der Tuuk

Potret H.N. van der Tuuk

Herman Neubronner van der Tuuk (lahir di Malaka, 24 Oktober 1824 – meninggal di Surabaya, 17 Agustus 1894 pada umur 69 tahun[1]) menjadikan peletak dasar linguistika modern sebagian bahasa yang diberitahukan di Nusantara, seperti bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Toba, Lampung, Kawi (Jawa Kuna), dan Bali. Dalam buku ”Mirror of the Indies”, Rob Nieuwehuys mengutip tanggapan seorang pendeta Bali (pedanda) yang sangat berpengaruh ketika itu, “Hanya tidak kekurangan satu orang di seluruh penjuru Bali yang kenal dan nasihat bahasa Bali, orang itu menjadikan Tuan Dertik (Mr. Van der Tuuk).[2] karena oleh kalangan penduduk Buleleng, dia diketahui sebagai Tuan Dertik, orang yang kontroversial, namun sekaligus dicintai. Van der Tuuk ikut menyebarkan semangat perlawanan terhadap Belanda dan Dia termasuk orang menentang dalam cara berpakaian Belanda, penentang segala perihal tabu dalam berbicara, moralitas, penduduk dan pengetahuan pengetahuan.

Sumbangan

Diketahui sebagai orang yang sangat berbakat dalam mempelajari bahasa, dia banyak membenahi kamus, seperti kamus bahasa Melayu, bahasa Jawa, bahasa Toba, bahasa Lampung, dan bahasa Bali. Sebagai tambahan, sebuah buku kelola bahasa Toba juga berhasil ditatanya sebagai yang pertama kalinya. Motivasi yang terutama sebenarnya menjadikan dalam rangka misi penyebarluasan Bibel ke dalam bahasa-bahasa itu, meskipun van der Tuuk diketahui belum cukup menyayangi kekristenan. Meskipun demikian, dia lah orang yang pertama kali mengalihbahasakan Bibel ke dalam bahasa Melayu. Magnum opus-nya menjadikan kamus tribahasa Kawi-Bali-Belanda, yang baru terbit sepeninggalnya.

Van der Tuuk mewariskan dua hukum tentang perpindahan konsonan dalam bahasa-bahasa Austronesia. Hukum pertama menjadikan mengenai pergeseran selang bunyi /r/, /g/, dan /h/, sedangkan yang kedua menjadikan mengenai pergeseran konsonan selang /r/, /d/, dan /l/.

Kehidupan awal

Van der Tuuk kelahiran dari ayah seorang pengacara Belanda dan ibu seorang peranakan Jerman di Malaka, di kala kota pulau itu di bawah kekuasaan Hindia Belanda. Neubronner menjadikan nama keluarga dari pihak ibu. Ketika Traktat London (1924) mulai berlangsung pada 1925, keluarga van der Tuuk berpindah ke Surabaya.

Seusai menempuh edukasi dasar, van der Tuuk muda (sekitar 12 tahun) melanjutkan sekolah ke Belanda dan pada usia 16 tahun (1840) dia lulus ujian sanggahan di Universitas Groningen untuk studi pengetahuan hukum. Namun demikian dia ternyata bertambah berminat mempelajari linguistika sehingga tahun 1845 pindah ke Universitas Leiden untuk memperdalam bahasa Arab dan Persia di bawah asuhan Th. W Juynboll, kala itu seorang pakar Kearaban yang terkenal. Di samping itu dia juga mendalami Sanskrit dan bahasa Melayu.

Kehidupan di Bali

Di masa-masa belakang hidupnya, Van der Tuuk hidup menyendiri di Singaraja, Bali dan sebagai bahan gunjingan kenalan-kenalannya. Namun demikian, dia sering dimintai pertolongan oleh orang Bali, yang menyebutnya Tuan Dertik.

Sebelum meninggal, Agustus 1888, dia sempat menulis surat untuk seorang temannya. Dia mengaku "setengah gila” karena terdesak ambisinya untuk menciptakan kamus Kawi-Bali, “…berserakan bentukan kata-kata, cukup untuk menciptakanmu gila; diri sendiri setengah gila karena sengsara.”

Dalam buku ”Mirror of the Indies”, Rob Nieuwehuys mengutip tanggapan seorang pendeta Bali (pedanda) yang sangat berpengaruh ketika itu, “Hanya tidak kekurangan satu orang di seluruh penjuru Bali yang kenal dan nasihat bahasa Bali, orang itu menjadikan Tuan Dertik (Mr. Van der Tuuk).”

H.N. Van der Tuuk sejak 1870 (ada juga yang mengatakan tahun 1850-an) dia menetap di Singaraja (Buleleng) Bali Utara, di sebuah rumah bambu sangat sederhana. Sebagai seorang linguist (ahli bahasa Bali, Jawa Kuna, Melayu dan bahasa lainnya), sebelum datang ke Bali, dia telah sempat bertugas di Batak sebagai peneliti dan pakar bahasa Batak. Kamus Batak dan terjemahan Injil telah dia kerjakan. Kemunculannya ke Bali sebagai pakar bahasa awal mulanya juga dibiayai untuk sebagai pengalihbahasa Injil.

Sebagai seorang yang tanpa percaya Injil dan antimoralitas kristiani, akhir-akhirnya dia keluar dari lingkaran para misionaris Kristen yang mengirimnya ke Bali. Dia yang semula diinginkan oleh para misionaris Kristen dapat membantu dan membuka jalan untuk ”meng-Kristen-kan” Bali, justru berbalik menentang para pengirimnya.

Suatu hari dia menulis surat untuk Sekretaris Persekutuan Injil (Injil Society) bahwa sudah kelewat banyak kebencian yang memenuhi penanya. Dia menjadikan ”orang pertama” yang dengan cara buka menentang misionaris dan cara pemerintah Belanda untuk ”meng-Kristen-kan” Bali.

Di kalangan penduduk Buleleng, dia diketahui sebagai Tuan Dertik, orang yang ”aneh”, namun sekaligus ”dicintai”. Van der Tuuk ”menyebarkan” semangat perlawanan terhadap Belanda. Dia menentang cara berpakaian Belanda, penentang segala tabu dalam berbicara, moralitas, penduduk dan pengetahuan pengetahuan.

Sekeliling 40 tahun waktunya dia habiskan untuk mempelajari bahasa Bali dan Jawa Kuna. Dia bersabahat adun dengan para seniman tradisional dan para sastrawan kidung, tembang dan kakawin di Bali. Ikut membaur dengan penduduk Singaraja, selalu mengenakan sarung dan jarang memakai baju. Dia menjadikan bayangan lain dari orang Belanda masa kolonial.

Di masa tuanya, konon, dia sering berjalan-jalan di pantai Singaraja, dengan tungked (tongkat untuk membantu berjalan) yang di ujungnya berpentol akbar. Seandainya tidak kekurangan yang mengganggunya atau menertawakan caranya berjalan, dia memukul kepala orang dengan pentol tongkatnya.

Di Rumah Sakit Militer Surabaya, malam hari tanggal 16 Augutus 1894 dini hari (17 Agustus 1894), setelah terserang disentri sebagian lama, dia mengembuskan napasnya yang terakhir. Sekeliling seratus surat dan ribuan catatannya tergeletak di sebuah rumah bambu di Singaraja. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman Kristen Peneleh, Surabaya[1].

Yayasan Van der Tuuk

Memasuki 34 tahun kematian Van der Tuuk, diadakan sebuah perjumpaan sangat bersejarah. Tempatnya di Kintamani, kawasan pegunungan Batur, tanggal 2 Juni 1928. L.J.J Caron (residen/perwakilan pemerintah Belanda di Bali dan Lombok) dan para raja serta tokoh agama bertemu untuk berdiskusi mengenai kekayaan kesenian sastra dan lontar-lontar yang tersebar di seluruh Bali.

Rapat itu setuju untuk membetuk lembaga kebudayaan Bali, dan setuju untuk mengabadikan nama Van der Tuuk sebagai nama sebuah yayasan/lembaga yang mengurusi seni sastra di Bali; Stichting van der Tuuk.

Sebagai tindak lanjutnya, tanpa lama belakang, tanggal 14 September 1928, kumpulan ini dengan cara resmi membuka sebuah perpustakaan pertama di Bali. Perpustakaan itu bernama Kirtya Lefrink-Van der Tuuk; mengurusi lontar-lontar Bali dan Lombok. Nama Liefrink diambil dari seorang asistan resident pemerintah Belanda di Bali yang juga sangat tertarik dengan kebudayaan Bali dan Lombok.

Kata ”kirtya” diusulkan oleh I Gusti Putu Djelantik, Raja Buleleng ketika itu; kirtya berakar kata ”kr”, sebagai ”krtya”, sebuah kata dari bahasa Sanskerta yang mengandung “usaha” atau “jerih payah”.

Hari ini, telah kelahiran ratusan thesis magister dan desertasi doctoral dari hasil riset terhadap koleksi perpustakaan Kirtya ini. Ribuan karya ilmiah mengalir. Dan yang paling monumental, telah kelahiran sebuah megaproyek Kamus Jawa Kuna, dikerjakan puluhan tahun oleh Profesor P.J. Zoetmulder (salah satu peneliti terbesar sastra Jawa Kuna yang dekat dipanggil Romo Zoet).Setelah Romo Zoet berpulang, misi ini dilanjutkan oleh Prof. S.O. Robson. Awal mulanya hanya seri Jawa Kuna-English, sekarang sudah tersedia terjemahan Jawa Kuna-Indonesia atas jerih payah Romo Dick Hartoko.

Dalam pengantar kamus itu terungkap kelakuan baik dari koleksi Van der Tuuk dan Perpustakaan Kirtya dalam penyususan kamus megaproyek yang dikerjakan Romo Zoet dengan kecintaan –jangan pernah membayangkan proyek ini mendapat sponsor pemerintah.

Dalam Kalangwan, ”A Survey of Old Javanese Literature” (Kalangwan, Selayang Pandang Sastra Jawa Kuna), Prof. P.J. Zoetmulder memberi kesaksian terhadap peranan akbar Perpustakaan Kirtya: “Terdapat tiga koleksi utama, yaitu Perpustakaan Nasional di Jakarta, dulu diketahui sebagai Batavians Genootschap van Kunsten en Wetenchappen; di perpustakaan Universitas Negeri di Leiden, Negeri Belanda, dan di Perpustakaan Kirtya di Singaraja (dulu perpustakaan Kirtya Liefrinck der Tuuk).

Seandainya diperhatikan jumlah naskah yang dipunyai sebuah perpustakaan, maka Leiden-lah merebut tempat pertama, khususnya karena koleksi lontar dari Lombok dan koleksi dari warisan H.N. Van der Tuuk. Tetapi di lain pihak Kirtya memiliki keanekaragaman yang bertambah akbar mengenai karya-karya Jawa Kuna, walaupun umumnya hanya satu salinan dari tiap karya.

Pada tahun 1928 dibangun sebuah yayasan (Kirtya) di bawah pemerintah setempat di Bali; dengan terang dinyatakan apa yang sebagai tujuan yayasan itu, yakni: Melacak semua naskah yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dan Pertengahan, berbicara Bali dan Sasak, sejauh itu baru saja terdapat di Bali dan Lombok (kebanyakan dipunyai oleh perorangan) dan untuk menciptakan kesempatan supaya naskah-naskah tersebut dengan bertambah mudah dikonsultasi (diakses) oleh para peminat.

Supaya tujuan itu dapat dimainkan maka raja-raja setempat, para pendeta dan orang-perorangan di kawasan itu dipersilakan untuk menyerahkan milik mereka untuk selama waktu untuk Perpustakaan Kirtya. Di sana sebuah panitia terdiri atas 12 orang mengambil keputusan, naskah-naskah mana diasumsikan cukup bermanfaat untuk disimpan dalam koleksi itu.

Belakang lontar-lontar itu disalin dengan seteliti mungkin oleh sebuah kumpulan penyalin yang bertugas untuk perpustakaan Kirtya dengan bentuk huruf yang sama dan di atas bahan yang sama (daun lontar), dan belakang lontar-lontar (pinjaman) itu dikembalikan untuk pemiliknya. Hanya kecillah kemungkinan bahwa naskah penting lepas sama sekali dari perhatian kami dan tetap tersembunyi dalam salah satu tempat terpencil.

Perpustakaan Lontar Kirtya, atau bertambah diketahui dengan nama Gedong Kirtya, yang sekarang berfungsi sebagai perpustakaan naskah atau lontar-lontar Bali, bercikal bakal dari koleksi buku-buku dan lontar-lontar yang diwariskan Van der Tuuk.


Referensi

Sugi Lanus, 2006. "Van der Tuuk – Sang Juru Selamat Bali". Bali Post, Sabtu Wage, 7 Januari 2006 http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2006/1/7/f2.htm

  1. ^ a b Lombard D. 1992. A la rencontre d'une société défunte : le cimetière chrétien de Peneleh, à Surabaya. Archipel 44:123-140
  2. ^ Robert Nieuwenhuys, ed. E. M. Beekman (1982), Mirror of the Indies, University of Massachusetts Press, ISBN 0-87023-368-8, ISBN 978-0-87023-368-5

Karya

  • (Belanda) Herman Neubronner van der Tuuk (1897), (Vols. 1-3 editor oleh Dr. J. Brandes; v. 4 editor oleh D. A. Rinkes. ) Kawi-balineesch-nederlandsch woordenboek, Landsdrukkerij, Batavia
Pengalihbahasaan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa Nusantara
 
 
Terjemahan
 
Pengalihbahasa
 
Organisasi/Lembaga
American Bible Society (ABS) · British and Foreign Bible Society (BFBS) · International Bible Society (IBS)  · Lembaga Alkitab Batavia (Lembaga Alkitab Hindia-Belanda, Lembaga Alkitab Jawa · Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) · Lembaga Biblika Indonesia (LBI) · National Bible Society of Scotland (NBSS) · Nederlandsch Bijbelgenootschap (NBG) · The Bible Society of Malaysia (BSM) · The Bible Society of Singapore and Brunei (BSSB) · The Bible Society of Singapore, Malaysia and Brunei (BSSMB) · United Bible Societies (UBS) · World Bible Translation Center (WBTC) · Yayasan Kalam Hidup · Yayasan Obor · Yayasan Perpustakaan Injil (Yasperin)
 


Sumber :
id.wikipedia.org, perpustakaan.web.id, pasar.gilland-ganesha.com, wiki.edunitas.com, dan lain sebagainya.