Sunan Kudus

Sunan Kudus
Lahir9 September 1400 Masehi/ 808 Hijriyah
,Al-Quds (Palestina)
Wafat5 Mei 1550 Masehi/ 958 Hijriyah
,Kudus Jawa Tengah (Indonesia)
Sebab meninggalWafat dalam keadaan bersujud ketika sholat subuh
KediamanKudus Jawa Tengah
Pekerjaan

1. Penasehat Khalifah (Sultan Demak)
2. Panglima Perang
3. Qadhi
4. Mufti
5. Imam Akbar Masjid Demak & Masjid Kudus
6. Mursyid Tarekat
7. Naqib Nasab Keturunan Azmatkhan
8. Ketua Pasar Islam Walisongo
9. Penanggung Jawab Pencetak Dinar Dirham Islam
10. Ketua Baitulmal Walisongo


Tempat kerjaKekhalifahan Islam Demak
Dikenal karenaAnggota Walisongo yang paling alim (Waliyyul Ilmi)
Gaji7 Dinar Emas (1 Dinar Emas=24Karat,4.44 gram)/hari
Tinggi180 cm
Berat81 kg
GelarWaliyyul Ilmi
Jangka1400M-1550M/ 808H-958H (150 tahun)
PendahuluSayyid Usman Haji (Sunan Ngudung) (Ayah)
PenggantiSayyid Amir Hasan (Anak Pertama)
Anggota dewan dariMajelis Dakwah Walisongo
AgamaIslam Sunni
Pasangan hidupSyarifah Dewi Rahil binti Sunan Bonang
Anak

1. Amir Hasan
2. Panembahan Kudus
3. Nyai Ageng Pambayun
4. Amir Hamzah (Panembahan Palembang)
5. Panembahan Makaos Honggokusumo
6. Panembahan Kadhi
7. Panembahan Karimun
8. Panembahan Jaka
9. Ratu Pajaka
10. Ratu Probodinalar


KerabatSyarifah Dewi Sujinah (adik perempuan/isteri Sunan Muria)

Sunan Kudus dilahirkan dengan nama Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan. Dia yaitu putra dari pasangan Sunan Ngudung (Sayyid Utsman Haji) [1] dengan Syarifah Dewi Rahil binti Sunan Bonang. Lahir pada 9 September 1400M/ 808 Hijriah. Bapaknya yaitu Sunan Ngudung yaitu putra Sultan di Palestina yang bernama Sayyid Fadhal Ali Murtazha (Raja Pandita/Raden Santri) yang berhijrah fi sabilillah hingga ke Jawa dan sampailah di Kekhilafahan Islam Demak dan dinaikkan sebagai Panglima Perang.

Jati Diri Sunan Kudus

Nama Ja'far Shadiq diambil dari nama datuknya yang bernama Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib yang beristerikan Fatimah az-Zahra binti Muhammad.

Sunan Kudus sejatinya bukanlah asli warga Kudus, dia berasal dan lahir di Al-Quds negara Palestina. Kemudian bersama kakek, ayah dan kerabatnya berhijrah ke Tanah Jawa.

Nasab Sunan Kudus

Sunan Kudus yaitu putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan Kudus yaitu keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah.[2]

Sunan Kudus Dalam Babad Tanah Jawi

Babad Tanah Jawi (selanjutnya dinamakan BTJ) yaitu terjemahan dari Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegiing Taoen 1647 yang disusun oleh W. L. Olthof di Leiden, Belanda, pada tahun 1941. Seperti pada pengertian babad biasanya, di sini terdapat cerita-cerita perihal pendirian sebuah negara (kerajaan) dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar kerajaan tersebut.

“…Orang di tanah Jawa taat serta menganut agama Islam. Mereka bermusyawarah hendak mendirikan masjid di Demak. Para wali bergantian berbagi tugas, semua sudah siap sedia. Hanya Sunan Kali Jaga yang masih ketinggalan, anggota garapannya belum mempunyai bangun-bangun, sebab sedang tirakat di Pamantingan. Sekembalinya ke Demak, masjid sudah hendak didirikan. Sunan Kali Jaga segera mengumpulkan sisa-sisa kayu bekas sudah sebagai tiang.Pagi harinya tanggal 1 bulan Dulkangidah masjid didirikan dengan sengkalan tahun 1428. Kiblat di masjid sehaluan dengan ka’bah di Mekkah. Penghulunya Sunan Kudus. Setelah beberapa Jumat berdirinya masjid tadi, ketika para wali sedang berdzikir bersama di masjid itu, Sunan Kudus duduk khusuk bertafakur di bawah beduk, tiba-tiba tidak kekurangan bungkusan jatuh dari atas-buku kulit kambing, di dalamnya tidak kekurangan sajadah serta selendang Kanjeng Rasul.” [3]

“Pada waktu itu jumlah orang Jawa yang berusaha bisa agama Islam, kedigdayaan, dan daya badan. Tidak kekurangan dua orang pengajar yang terkenal, yaitu Sunan Kali Jaga dan Sunan Kudus. Sunan Kudus itu muridnya tiga orang, yaitu Arya Penansang di Jipang, Sunan Prawata, dan Sultan Pajang. Yang paling disayang yaitu Arya Penansang.

Waktu itu Sunan Kudus sedang duduk-duduk di rumahnya dengan Pangeran Arya Penansang, Sunan Kudus bercakap kepada Arya Penansang, “Orang membunuh sesama pengajar itu, hukumnya apa?” Perlahan jawab Arya Penangsang, “Hukumnya harus dibunuh, tetapi saya belum kenal siapa yang berbuat demikian itu.” Sunan Kudus berkata,”Kakakmu di Prawata.” Arya Penansang setelah mendengar perintah Sunan Kudus, bersedia membunuh Sunan Prawata. Dia lewat mengutus pelayan pengawalnya bernama Rangkud dan diperintah untuk membunuh Sunan Prawata. Rangkud lewat berangkat. Sesampai di Prawata ketemu dengan Sunan Prawata yang sedang sakit dan bersandar pada istrinya. Setelah melihat Rangkud Sunan Prawata berdialog, “Kamu itu orang siapa?” Rangkud menjawab, “Saya yaitu utusan Arya Penansang, memerintahkan untuk membunuhmu.” Sunan Prawata bercakap, “Ya, terserah, tetapi saya sendiri sajalah yang engkau bunuh, tidak usah mengikutkan orang lain.” Rangud lewat menusuk sekuat-kuatnya. Dada Sunan Prawata tembus sampai ke punggungnya serta menembus dada istrinya. Sunan Prawata setelah melihat istrinya terluka, segera mencabut kerisnya yang bernama Kyai Betok, lewat dilemparkan ke Rangkud. Si Rangkud tergores oleh kembang kacang (hiasan pada pangkal keris), dia jatuh di tanah lewat tewas. Sunan Prawata dan isterinya juga berpulang. Wafatnya ber-sinengkalan tahun 1453. Arya Penangsang begitu tega membunuh Sunan Prawata sebab ayahnya juga dibunuh oleh Sunan Prawata, saat balik dari sholat Jum'at. Dia dicegat di tengah jalan oleh utusan Sunan Prawata bernama Sura Yata. Ki Sura Yata tadi juga sudah dibunuh oleh teman ayahnya Arya Jipang.

Sunan Prawata tadi mempunyai saudara perempuan namanya Ratu Kali Nyamat. Dia begitu tidak terima atas kematian saudara laki-lakinya itu. Lewat berangkat ke Kudus bersama suaminya berniat minta keadilan kepada Sunan Kudus. Lewat jawab Sunan Kudus, “Kakakmu itu sudah hutang pati pada Arya Penangsang. Sekarang tinggal membayar hutang itu saja.” Ratu Kali Nyamat mendengar jawaban Sunan Kudus itu sangat sakit hatinya. Lewat kembali balik. Di tengah jalan dibegal utusannya Arya Penansang. Laki-lakinya dibunuh. Ratu Kali Nyamat sangat terpukul hatinya. Sebab baru saja kehilangan saudaranya, lewat kehilangan suaminya. Dia jadi sangat menderita. Lewat bertapa telanjang di Bukit Dana Raja. Sebagai ganti kain untuk menutup auratnya yaitu rambutnya yang diretas. Ratu Kalinyamat berprasetia tidak mau memakai kain sementara hidup bila Arya Penansang belum wafat. Dia bernadar barangsiapa dapat membunuh Arya Jipang, dia hendak mengabdi kepadanya dan hendak menyerahkan seluruh kekayaannya.

Pada suatu ketika Sunan Kudus sedang berbincang-bincang dengan Arya Penangsang, Sunan Kudus bercakap, “Kakakmu Sunan Prawata dan Kali Nyamat sekarang sudah mati, tapi belum lega agaknya kalau belum menguasai tanah Jawa semua. Bila masih tidak kekurangan adikmu Sultan Pajang saya kira tidak mungkin dapat jadi raja, sebab dia yaitu penghalang.” Arya Penansang bercakap, “Bila diperkenankan atas izin Sunan Kudus, Pajang hendak saya gempur dengan perang, adik saya di Pajang hendak saya bunuh supaya tidak tidak kekurangan penghalang.” Sunan Kudus menjawab, “Maksudmu itu saya belum cukup sepakat sebab hendak merusak negara serta jumlah korban. Adapun maksud saya, kakakmu di Pajang dapat mati, dengan cara diam-diam saja, tidak usah diketahui jumlah orang.” Arya Penangsang menjawab sangat sepakat. Lewat mengutus pelayan pengawal untuk menculik dan membunuh Sultan Pajang. Utusan segera berangkat. Masuk di Pajang tengah malam, lewat turut ke dalam istana. Sultan Pajang sedang tidur berselimut kain kampuh, jarik/kain sarung. Para istrinya tidur di bawah. Utusan menerjang dan menusuk dengan sekuat tenaga. Sultan Pajang tidak mempan (kebal), masih enak tidur saja. Kain yang dipakai untuk berselimut itu pun tidak tertembus. Para isrti kaget, wujud, menangis, dan menjerit. Sultan Pajang kaget juga dan wujud. Kain selimut terlempar menerpa para utusan itu, mereka terjatuh terkapar di tanah, tiak tidak kekurangan yang dapat pergi….” [4]

Asal-Usul Nama Kota Kudus

Dahulu kota Kudus masih bernama Tajug. Istilah warga setempat, awal mulanya tidak kekurangan Kyai Telingsing yang memperkembangkan kota ini. Telingsing sendiri yaitu panggilan sederhana kepada The Ling Sing, seorang Muslim Cina asal Yunnan, Tiongkok. Dia sudah tidak kekurangan sejak zaman ke-15 Masehi dan sebagai cikal bakal Tionghoa muslim di Kudus. Kyai Telingsing seorang mahir seni lukis dari Dinasti Sung yang terkenal dengan motif lukisan Dinasti Sung, juga sebagai pedagang dan mubaligh Islam terkemuka. Setelah masuk ke Kudus untuk menyebarkan Islam, didirikannya sebuah masjid dan pesantren di kampung Nganguk. Raden Undung yang kemudian bernama Ja’far Thalib atau semakin dikenal dengan nama Sunan Kudus yaitu salah satu santrinya yang ditunjuk sebagai penggantinya kelak. [5].

Kota ini sudah tidak kekurangan upaya meningkatkan mutu tersendiri ketika belum kedatangan Ja’far Shodiq. Beberapa kiah tutur percaya bahwa Ja’far itu seorang penghulu Demak yang menyingkir dari kerajaan. Awal kehidupan Sunan Kudus di Kudus yaitu dengan tidak kekurangan di tengah-tengah jamaah dalam kelompokan kecil. Penafsiran lainnya itu memperkirakan bahwa kelompokan kecilnya itu yaitu para santrinya sendiri yang dibawa dari Demak sana, sekaligus juga tentara yang siap memerangi Majapahit. Versi lainnya mereka itu yaitu warga setempat yang dipekerjakannya untuk menggarap tanah ladang. Berarti tidak kekurangan probabilitas juga Ja’far memenuhi konsumsinya di Kudus dimulai dengan menggarap ladang.

Fakta Mengenai Sunan Kudus

Sunan Kudus berhasil membuat sebagai dapat dilihat warisan pikiran budi dan tanda dakwah islamiyahnya yang dikenal dengan pendekatan kultural yang begitu kuat. Hal ini sangat nampak jelas pada Menara Kudus yang adalah hasil akulturasi pikiran budi sela Hindu-China-Islam yang sering dituturkan sebagai representasi menara multikultural. Aspek material dari Menara Kudus yang membawa kepada pemaknaan tertentu melahirkan adicita pencitraan tehadap Sunan Kudus. Oleh Roland Barthes dinamakan dengan mitos (myth), yang adalah system komunikasi yang memuat pesan (sebuah bangun-bangun penandaan). Dia tak dibatasi oleh obyek pesannya, tetapi cara penuturan pesannya. Mitos Sunan Kudus selain dapat ditemui pada peninggalan benda cagar pikiran budinya, juga dapat ditemukan di dalam sejarah, gambar, legenda, tradisi, ekspresi seni maupun cerita rakyat yang mengembang di kalangan warga Kudus. Kini dia terkenal sebagai seorang wali yang toleran, mahir ilmu, gagah berani, kharismatik, dan seniman.

Satu fakta utama yang dapat warga lihat pada mata uang kertas Rp. 5.000,00 dengan gambar Menara Kudus. Ini adalah suatu bangun-bangun apresiasi dari Gubernur Bank Indonesia yang dijabat oleh Arifin Siregar pada masa itu. Berikut petikan sambutannya: “…Kami sewaktu bertugas sebagai Gubernur Bank Indonesia mendapat kesempatan untuk mengeluarkan uang kertas Lima Ribu Rupiah dengan gambar Menara Kudus. Hal ini kami lakukan diantaranya memikirkan keindahan dan kenggunan Menara Kudus. Disamping itu Menara Kudus adalah salah satu peninggalan sejarah Indonesia yang perlu dilestarikan dan dikenalkan kepada warga kami dan juga khalayak luar negeri.”

Mengenai hari jadi kota Kudus sendiri (23 September 1549, berdasarkan Perda No. 11 Tahun 1990 yang diterbitkan tanggal 6 Juli 1990) memang tak dapat ditinggalkan dari patriotisme Sunan Kudus sendiri. Bukti nyatanya dapat dilihat dalam inskripsi yang terdapat pada Mihrab di Masjid Al-Aqsa Kudus bangunan pada 956 H/1549 M oleh Sunan Kudus. Maka dalam setiap perayaan hari jadinya tak sudah mengalami lupa semangat dan patriotisme Sunan Kudus dalam memajukan rakyat dan ummatnya.[6]

Menurut Muliadi via Castles (1982); Ismudiyanto dan Atmadi (1987); dan Suharso (1992), menyebutkan bahwa: “ Dalam sejarah, Kudus Kulon dikenal sebagai kota lama dengan diwarnai oleh kehidupan keagamaan dan adat istiadatnya yang kuat dan khas serta adalah tempat berdirinya Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus; serta adalah pusat tempat berdirinya rumah-rumah asli (adat pencu). Selagi Kudus Wetan terletak di sebelah Timur Sungai Gelis, dan adalah daerah pusat pemerintahan, pusat transportasi, dan daerah pusat perdagangan.”

Salah satu bangun-bangunnya ialah tarian Terbuka Luwur yang menggambarkan sejarah pergerakan warga Kudus sepeninggal Sunan Kudus hingga terbentuk satuan wilayah yang dinamakan Kudus. Tradisi ini telah sebagai perkara rutin pengurus Menara Kudus setiap tanggal 10 Muharram dengan dukungan umat Islam baik di Kudus maupun sekitarnya. Ini adalah prosesi pergantian kelambu pada makam Sunan Kudus diiringi doa-doa dan pembacaan kalimah toyyibah (tahlil, shalawat, istigfar, dan surat-surat pendek al-quran yang ketika belumnya telah didahului dengan khataman quran dengan cara utuh).

Tidak kekurangan kembali tradisi Dhandangan yang digelar setahun sekali menjelang bulan Ramadhan. Pada masa Sunan Kudus tradisi ini ditandai dengan pemukulan bedug di atas Menara Kudus (berbunyi dhang dhang dhang). Tradisi ini pun memperkuat eksistensi Sunan Kudus. Selain itu warga Kudus hingga saat ini tak sudah mengalami berani menyembelih sapi/lembu sebagai suatu penghormatan kepada Sunan Kudus yang mana dakwahnya menekankan unsure kebijaksanaan dan toleransi karena saat itu warga Kudus masih sangat memuja-muja Hindu yang mensucikan binatang lembu. Kini, setiap Kamis malam makam Kanjeng Sunan Kudus selalu ramai oleh peziarah dengan beragam latar beragam latar belakang dan etnis, dari beragam daerah. Mereka masuk dengan beragam cara, baik sendiri maupun bersama rombongan. Pada momen-momen tertentu tidak kekurangan yang masuk dari mancanegara.[7]

Fenomena pencitraan ini berhasil sebagai sumber penggerak dalam bertindak (untuk beberapa hal), Bourdieu menyebutnya sebagai “tindakan yang bermakna” baik keberagamaan maupun fenomena pikiran budi lainnya. Citra Sunan Kudus dalam warga Kudus telah melintasi kuasa dan pertarungan sistem tanda yang merekontruksi pikiran budi lokal mereka. Suatu tandanya dapat dihubungkan dengan tanda lain yang dapat ditemui dalam model keberagamaan maupun kontruksi pikiran budi warga agama (Islam). Jadilah mereka memiliki identitas keislaman yang khas dan unik serta memiliki warisan spirit dan patriotisme yang melegenda. Hal ini terus digali hingga sebagai model dalam sosial-budaya dan sikap keberagamaan umat Islam (suatu identitas kultural).[8]

Pengolahan memberi latihan Sunan Kudus

Kanjeng Sunan Kudus (selanjutnya disingkat KSK) jumlah berguru kepada Sunan Kalijaga dan dia menggunakan gaya berdakwah ala pengajarnya itu yang sangat toleran pada pikiran budi setempat serta cara penyampaian yang halus. Didekatinya warga dengan memakai simbol-simbol Hindu-Budha seperti yang nampak pada gaya arsitektur Masjid Kudus. Suatu waktu saat KSK mau menarik simpati warga untuk mendatangi masjid guna mendengarkan tabligh akbarnya, dia tambatkan Kebo Gumarang (sapinya) di halaman masjid. Warga yang saat itu memeluk agama Hindu pun bersimpati, dan semakin bersimpati selepas mendengarkan ceramah KSK mengenai “sapi betina” atau Al-Baqarah dalam bahasa Al-qurannya. Teknik lainnya kembali yaitu dengan mengubah cerita ketauhidan sebagai berseri, betujuan menarik rasa penasaran warga.

Dakwah Sunan Kudus

Dia yaitu Sunan Kudus yang bernama asli Syekh Ja’far Shodiq. Dia pula yang sebagai salah satu dari anggota Wali Sanga sebagai penyebar Islam di Tanah Jawa. Sosok Sunan Kudus begitu sentral dalam kehidupan warga Kudus dan sekitarnya. Kesentralan itu terwujud diakibatkan Sunan Kudus telah memberikan pondasi pengolahan memberi pelajaran ke keagamaan dan kebudayaan yang toleran.

Tak ajab, bila hingga sekarang makam dia yang berdekatan dengan Menara Kudus selalu ramai diziarahi oleh warga dari beragam penjuru negeri. Selain itu, hal tersebut sebagai bukti bahwa petuah toleransi Sunan Kudus tak lekang oleh zaman dan justru semakin relevan ditengah arus radikalisme dan fundamentalisme sangat memuja-muja yang semakin marak dewasa ini.

Dalam pergerakan hidupnya, Sunan Kudus jumlah berguru kepada Sunan Kalijaga. Cara berdakwahnya pun sama jalannya dengan pendekatan dakwah Sunan Kalijaga yang menekankan kearifan lokal dengan mengapresiasi terhadap pikiran budi setempat.

Beberapa nilai toleransi yang dipandukan oleh Sunan Kudus terhadap pengikutnya yakni dengan melarang menyembelih sapi kepada para pengikutnya. Bukan saja melarang untuk menyembelih, sapi yang notabene halal bagi kaum muslim juga ditempatkan di halaman masjid saat itu.

Langkah Sunan Kudus tersebut mesti mengundang rasa simpatik warga yang waktu itu menganggap sapi sebagai binatang suci. Mereka kemudian berduyun-duyun mendatangi Sunan Kudus untuk berdialog jumlah hal lain dari petuah yang dibawa oleh dia.

Lama-kelamaan, berasal dari situ, warga semakin jumlah yang mendatangi masjid sekaligus mendengarkan petuah-petuah Sunan Kudus. Islam tumbuh dengan cepat. Mungkin hendak sebagai lain ceritanya bila Sunan Kudus melawan arus mayoritas dengan menyembelih sapi.

Selain berdakwah lewat sapi, bangun-bangun toleransi sekaligus akulturasi Sunan Kudus juga dapat dilihat pada pancuran atau padasan yang berjumlah delapan yang sekarang difungsikan sebagai tempat berwudlu. Tiap-tiap pancurannya dihiasi dengan relief arca sebagai ornamen penambah estetika. Jumlah delapan pada pancuran mengadopsi dari petuah Budha yakni Asta Sanghika Marga atau Delapan Jalan Utama yang sebagai pegangan warga saat itu dalam kehidupannya. Pola akulturasi pikiran budi lokal Hindu-Budha dengan Islam juga dapat dilihat dari peninggalan Sunan Kudus berupa menara. Menara Kudus bukanlah menara yang berarsitektur kontruksi Timur Tengah, melainkan semakin mirip dengan kontruksi Candi Jago atau serupa juga dengan kontruksi Pura di Bali.

Menara tersebut difungsikan oleh Sunan Kudus sebagai tempat adzan dan tempat untuk memukul bedug setiap kali masuknya bulan Ramadhan. Kini, menara yang konon adalah menara masjid tertua di wilayah Jawa tersebut sebagai menjadi landmark Kabupaten Kudus.

Strategi (akulturasi) dakwah Sunan Kudus yaitu suatu hal yang melampaui zamannya. Melampaui zaman karena dakwah dengan mengusung nilai-nilai akulturasi saat itu belumlah ramai dipraktikkan oleh penyebar Islam di Indonesia biasanya.

Kini, toleransi sangat memuja-muja tidak kekurangan di titik nadir. Ironisnya, toleransi sangat memuja-muja tak cuma sebagai barang mahal tetapi sudah amat sangat langka. Dengan jalan menghidupkan kembali esensi serta spirit dakwah Sunan Kudus, agaknya warga muslim dapat mengembalikan kembali wajah Islam yang ramah dan toleran setelah ketika belumnya dihinggapi oleh stigma negatif.Petuah Toleransi Ala Sunan Kudus.[8]

Karya Sunan Kudus

Pada tahun 1530, Sunan Kudus mendirikan sebuah mesjid di desa Kerjasan, Kota Kudus, yang kini terkenal dengan nama Masjid Agung Kudus dan masih bertahan hingga sekarang. Sekarang Masjid Agung Kudus tidak kekurangan di alun-alun kota Kudus Jawa Tengah. Peninggalan lain dari Sunan Kudus yaitu permintaannya kepada warga untuk tidak memotong binatang kurban sapi dalam perayaan Idul Adha untuk menghormati warga penganut agama Hindu dengan mewakili kurban sapi dengan memotong kurban kerbau, pesan untuk memotong kurban kerbau ini masih jumlah ditaati oleh warga Kudus hingga saat ini.

Wafatnya Sunan Kudus

Pada tahun 1550 M Sunan Kudus berpulang saat sebagai Imam sholat Subuh di Masjid Menara Kudus, dalam posisi sujud. kemudian dimakamkan di anggota yang terkait Masjid Menara Kudus.

Keturunan Sunan Kudus

Di sela keturunan Sunan Kudus yang sebagai Ulama' dan Tokoh di Indonesia adalah: Syekh Kholil Bangkalan Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini, Syekh Bahruddin Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini, dan Syekh Shohibul Faroji Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini.

Pranala luar

Catatan kaki

  1. ^ (Indonesia) Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 52. ISBN 9798451163. ISBN 9789798451164
  2. ^ (Indonesia) Azmatkhan, Shohibul Faroji (2011). Ensiklopedi Nasab Imam Al-Husain. Penerbit Walisongo Center. hlm. 30. ISBN 9798451999 Check |isbn= value (help). ISBN 9789798451999
  3. ^ (Jawa) Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegiing Taoen 1647|1941
  4. ^ (Indonesia) http://maci27.multiply.com/journal/item/69?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem%7Ctitle=Analisis Historis Kisah Sunan Kudus,Makalah Fakultas Ilmu Pikiran budi Universitas Diponegoro, Semarang,2010
  5. ^ Amaruli dan Puguh.
  6. ^ Pola Spasial Objek Wisata Ziarah Wali Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus Dikaitkan dengan Persepsi Peziarah, Tesis Magister Teknik Aritektur Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang, 2004, ,
  7. ^ Purwadi dan Enis Niken H. 2007. Dakwah Wali Songo: Penyebaran Islam Berbasis Kultural di Tanah Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka
  8. ^ a b (Indonesia) Said, Nur (2010). Jejak Perjuangan Sunan Kudus Dalam Membangun Karakter Bangsa. Penerbit : Brillian Media Utama, Bandung & Sanggar ‘Menaraku’, Kudus Cetakan : Pertama. hlm. 25. ISBN 9798451171. ISBN 9789798451171

Daftar Pustaka

  1. Amaruli, Rabith Jihan dan Dhanang Respati Puguh. 2006. Pembauran Komunitas Tionghoa Muslim di Kudus 1961-1998. Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Dipoegoro: Sabda Volume 1 Nomor 1.
  2. Ibrahim, Zahrah. 1986. Sastera Sejarah Interpretasi dan Penilaian. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Malaysia.
  3. Luxemburg, Jan Van, dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT. Gramedia.
  4. Muliadi. “Pola Spasial Objek Wisata Ziarah Wali Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus Dikaitkan dengan Persepsi Peziarah”. Tesis Magister Teknik Aritektur Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang, 2004.
  5. Olthof, W. L. 2008. Babad Tanah Jawi. Yogyakarta: Penerbit Narasi.
  6. Purwadi dan Enis Niken H. 2007. Dakwah Wali Songo: Penyebaran Islam Berbasis Kultural di Tanah Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka.
  7. Said, Nur. 2009. Pengolahan memberi latihan Multikultural Warisan Kanjeng Sunan Kudus. Kudus: CV. Brillian Media Utama.
  8. Steenbrink, Karel A. 1988. Mencari Tuhan Dengan Kacamata Barat: Telaahan Kritis Mengenai Agama di Indonesia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press.
  9. Sutrisno, Budiono Hadi. 2007. Sejarah Wali Songo: Misi Pengislaman di Jawa. Yogyakarta: Graha Pustaka.
  10. Usman, Zuber. 1963. Kesusastraan Lama Indonesia. Djakarta: Gunung Agung.
 

GresikAmpel Bonang Drajat Kudus Giri Kalijaga Muria Gunung Jati



Sumber :
andrafarm.com, pasar.ggiklan.com, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, dan sebagainya.