Ular anang atau lanang (Ophiophagus hannah) merupakan ular berbisa terpanjang di dunia dengan panjang tubuh semuanya mencapai lebih kurang 5,7 m.[1] [2] Akan tetapi panjang hewan matang pada umumnya hanya lebih kurang 3 – 4,5 m saja.[3] Ular ini ditakuti orang karena bisanya yang mematikan dan sifat-sifatnya yang tersohor sifat menyerang, meskipun jumlah catatan yang menunjukkan perilaku yang sebaliknya.
Ular anang juga dikenal dengan beberapa nama lokal seperti oray totog (Sd.), ular tedung sisa dari pembakaran, tedung selor (Kal.) dll. Dalam bahasa Inggris dinamakan king cobra (raja kobra) atau hamadryad.
Pengenalan
Ular yang bertubuh panjang dan ramping. Sebuah laporan dari Singapura mencatat seekor ular anang sepanjang hampir 4,8 m memiliki berat tubuh hingga 12 kg.[4] Ular jantan cenderung lebih panjang dan akbar bila dibandingkan dengan yang betina.
Coklat kekuningan, coklat zaitun, sampai keabu-abuan di anggota atas (dorsal) tubuh, dengan anggota kepala yang cenderung berwarna lebih terang. Sisik-sisik bertepi gelap atau kehitaman, nampak jelas di anggota kepala. Sisik-sisik bawah tubuh (ventral) berwarna keabu-abuan atau kecoklatan, kecuali dada dan leher berwarna kuning cerah atau krem dengan pola belang hitam tak teratur, yang nampak jelas apabila ular ini mengangkat dan membentangkan lehernya. Ular yang masih kecil berwarna lebih gelap atau kehitaman, dengan bintik-bintik putih atau kuning yang membentuk belang (garis) melintang, belang ini masih nampak samar-samar pada sebagian individu matang. Anak ular ini berkepala hitam dengan empat garis putih melintang di atasnya.[3][5]
Kepalanya akbar dengan moncong yang relatif pendek dan tumpul. Di belakang perisai parietal (ubun-ubun), yang pada ular lain pada umumnya berupa sisik-sisik kecil, pada ular anang ditempati oleh sepasang perisai oksipital yang akbar. Perisai labial (bibir) atas 7 buah, no-3 dan -4 menyentuh mata. Pupil mata bundar dan akbar. Sisik-sisik dorsal (punggung) dalam 15 deret di tengah badan. Sisik-sisik ventral (perut) 215–262 buah, sisik anal tunggal, sisik-sisik subkaudal (bawah ekor) 80–120 buah; yang sebelah depan tunggal dan di anggota belakang sepasang.[3]
Macam yang serupa
Ular-sapi akbar (Zaocys carinatus) memiliki bentuk tubuh dan warna yang mirip ular anang. Di lapangan, kedua macam ular ini mudah terkelirukan, kecuali apabila ular anang tengah menegakkan lehernya.
Penyebaran, habitat dan budaya
Ular anang menyebar mulai dari India di barat, Bhutan, Bangladesh, Burma, Kamboja, Cina selatan, Laos, Thailand, Vietnam, Semenanjung Malaya, Kepulauan Andaman, Indonesia dan Filipina. Di Indonesia ular ini ditemukan di Sumatra, Kep. Mentawai, Kep. Riau, Bangka, Borneo, Jawa, Bali, dan Sulawesi.[6]
Ular anang didapati mulai dari dekat pantai hingga ketinggian sekurang-kurangnya 1.800 m dpl. Ular ini menempati aneka habitat, mulai dari hutan dataran rendah, rawa-rawa, wilayah semak belukar, hutan pegunungan, lahan pertanian, ladang tua, perkebunan, persawahan, dan anggota yang terkait pemukiman. Ular yang lincah dan gesit ini biasa bersembunyi di bawah lindungan semak yang padat, lubang-lubang di akar atau batang pohon, lubang tanah, di bawah tumpukan batu, atau di rekahan karang.[2]
Mangsa
Sebagaimana namanya (Ophiophagus berarti pemakan ular), mangsa utamanya merupakan jenis-jenis ular yang mempunyai ukuran relatif akbar, seperti sanca (Python) atau ular tikus (Ptyas).[2] Juga memangsa ular-ular yang berbisa lainnya dan kadal mempunyai ukuran akbar seperti halnya biawak. Ular anang yang dikurung mau juga memakan daging atau tikus mati yang ditaruh di kandang ular atau digosokkan ke tubuh ular supaya berbau seperti ular.[7] Setelah menelan mangsa yang akbar, ular anang bisa hidup beberapa bulan lamanya tanpa makan lagi. Ini diakibatkan laju metabolismenya berlanjut lambat.[1]
Ular anang berburu dengan mengandalkan penglihatan dan penciumannya. Sebagaimana ular-ular pada umumnya, ular anang membaui udara dengan menggunakan lidahnya yang bercabang, yang menangkap partikel-partikel bau di udara dan membawanya ke reseptor khusus di langit-langit mulutnya. Reseptor yang sensitif terhadap bau ini dinamakan organ Jacobson.[1] Bila tercium bau mangsanya, ular ini akan menggetarkan lidahnya dan menariknya keluar masuk untuk memperkirakan arah dan letak mangsanya itu. Matanya yang tajam (ular anang bisa mengamati mangsanya dari jarak sejauh 100 m), indera perasa getaran di tubuhnya yang melata di tanah, dan naluri serta kecerdasannya sangat membantu untuk menemukan mangsanya.[8] Ular ini bisa bergerak cepat di atas tanah dan memanjat pohon dengan sama baiknya. Mangsanya, bila perlu, dikejarnya hingga di atas pohon.[9]
Ular anang berburu baik pada siang maupun malam, akan tetapi jarang terlihat aktif di malam hari. Banyakan herpetologis menganggapnya sebagai hewan diurnal.[1] Sebagaimana ular kobra yang lain, apabila merasa terancam dan tersudut ular anang akan menegakkan lehernya serta mengembangkan tulang rusuknya sehingga belum cukup lebih sepertiga anggota muka tubuhnya berdiri tegak dan memipih serupa spatula.[7] Sekaligus, jabatan ini akan menampakkan warna kuning dan coret hitam di dadanya, sebagai teguran memperingatkan bagi musuhnya. Mengamati postur tubuhnya ini dan gerakannya yang gesit tangkas, orang umumnya merasa takut dan menganggapnya sebagai ular yang sifat menyerang serta berbahaya, yang bisa menyerang tiap saat. Pandangan ini, menurut para herpetolog, terlalu dilebih-lebihkan dan hanya benar sebagian. [3]
Banyakan ular anang, seperti umumnya hewan, takut terhadap manusia dan berusaha menghindarinya. Ular ini juga tidak seketika menyerang manusia yang ditemuinya, tanpa benar provokasi ketika belumnya. Realita bahwa ular ini cukup jumlah yang ditemui di lebih kurang permukiman manusia, sementara jarang orang yang tergigit olehnya, menunjukkan bahwa ular anang tak seagresif seperti yang disangka.[3][9][7] Walaupun demikian, kewaspadaan tinggi tetap dibutuhkan apabila menghadapi ular ini. Ular anang dikenal sebagai ular yang amat berbisa, yang gigitannya bisa membunuh manusia. Seperti juga ular-ular lainnya, temperamen ular ini sukar diduga. Beberapa individunya bisa jadi lebih sifat menyerang daripada yang lainnya.[3] Demikian pula, pada masa-masa tertentu seperti pada saat melindungi telur-telurnya, ular ini bisa berubah dijadikan lebih sensitif dan sifat menyerang. Telah dilaporkan demikianlah keadaanya serangan-serangan ular anang terhadap orang yang melintas terlalu dekat ke sarangnya.[7]
Perbiakan
Ular anang bertelur lebih kurang 20–50 butir, yang diletakkannya di dalam sebuah sarang penetasan dibuat dari dari timbunan serasah dedaunan.[3][2][7] Sarang ini terdiri dari dua ruangan, di mana ruang yang bawah dipergunakan untuk menempatkan telur dan ruang yang atas dihuni oleh induk betina yang melindungi telur-telur itu hingga menetas.[3][9][7] Di India, ular ini bertelur lebih kurang bulan April hingga Juli. Telur-telurnya mempunyai ukuran lebih kurang 59 x 34 mm, yang sedikit bertambah akbar dan berat selama masa inkubasi. Telur-telur ini menetas setelah 71–80 hari, dan anak-anak ular yang keluar memiliki panjang tubuh selang 50–52 cm.[7]
Bisa ular anang
Bisa ular anang terutama tersusun dari protein dan polipeptida, yang dibuat dari kelenjar ludah yang telah berubah fungsi, yang terletak di belakang mata. Tatkala menggigit mangsanya, bisa ini tersalur melalui taring sepanjang lebih kurang 8–10 mm yang menancap di daging mangsanya. Meskipun racun ini diasumsikan tak sekuat bisa beberapa ular yang lain, ular anang sanggup mengeluarkan jumlah bisa yang jauh lebih akbar dari ular-ular lainnya.[10] Percobaan di laboratorium menunjukkan bahwa satu kali gigitan ular ini bisa mengeluarkan sejumlah bisa yang cukup untuk membunuh 10 orang.[7] Beruntunglah bahwa banyakan gigitan ular ini pada manusia hanya mengisikan bisa dalam jumlah yang tidak fatal.[11][12]
Bisa ular ini bersifat neurotoksin, yakni menyerang sistem saraf korbannya, serta dengan cepat menimbulkan rasa sakit yang amat sangat, pandangan yang mengabur, vertigo, dan kelumpuhan otot. Pada saat-saat berikutnya, korban akan mengalami kegagalan sistem kardiovaskular, dan seterusnya kematian bisa timbul dampak kelumpuhan sistem pernapasan.[10] Apabila bisa telah masuk dalam jumlah yang cukup, kematian hanya bisa dicegah dengan penanganan serta pemberian antivenin (antibisa) yang tepat dan cepat.[9]
Ular anang dan manusia
Meskipun ular anang memiliki bisa yang mematikan dan kehadirannya ditakuti jumlah orang, ia sebenarnya merupakan hewan pemalu yang sedapat-dapatnya menghindari pertemuan dengan manusia. [3][13]
Di wilayah sebarannya, masih benar beberapa macam ular berbisa lainnya yang gigitannya lebih fatal dan lebih jumlah memakan korban, di selangnya merupakan ular kobra kaca-tunggal (Naja kaouthia), bandotan puspa (Vipera russelli), dan ular welang (Bungarus fasciatus).[14]
Di Burma, ular anang kerap dipergunakan dalam tontonan pawang ular perempuan. Wanita pawang ular itu pada umumnya memiliki tato yang diciptakan menggunakan tinta bercampur bisa ular, yang diyakini akan melindungi dirinya dari ularnya itu. Di terakhir tontonannya, secepat kilat si pawang akan mencium ubun-ubun ular berbisa yang tengah menegakkan leher dan tudungnya ini.[13]
Kini populasi ular anang di jumlah tempat telah terganggu oleh kerusakan habitatnya, terutama oleh hilangnya hutan-hutan yang biasa dihuninya. Meskipun ular ini oleh IUCN belum diisikan ke dalam hewan yang terancam kepunahan, CITES telah memandang perlu untuk mengawasi perdagangannya dan mengisikannya ke dalam Apendiks II.[15]
Rujukan
- ^ a b c d Mehrtens, John (1987). Living Snakes of the World. New York: Sterling. ISBN 0806964618.
- ^ a b c d David, P and G. Vogel. 1996. The Snakes of Sumatra. An annotated checklist and key with natural history. Edition Chimaira. Frankfurt. p.148-149. ISBN 3-930612-08-9
- ^ a b c d e f g h i Tweedie, M.W.F. 1983. The Snakes of Malaya. The Singapore National Printers. Singapore. p.38.
- ^ Burton, R.W. 1950. The record Hamadryad or King Cobra (Naja hannah Cantor) and length and weights of large specimens. J. Bombay Nat. Hist. Soc. 49:561-562.
- ^ Stuebing, R.B. & R.F. Inger. 1999. A Field Guide to The Snakes of Borneo. Natural History Publications (Borneo). Kota Kinabalu. p. 199-201. ISBN 983-812-031-6
- ^ Ophiophagus hannah pada The Reptile Database
- ^ a b c d e f g h Daniel, J.C. 1992. The Book of Indian Reptiles. Bombay Nat. Hist. Soc. and Oxford Univ. Press. Bombay. pp. 115-117. ISBN 0-19-562168-9
- ^ Taylor, David (1997), King Cobra, diakses 9/8/2007
- ^ a b c d Capula, Massimo; Behler (1989). Simon & Schuster's Guide to Reptiles and Amphibians of the World. New York: Simon & Schuster. ISBN 0671690981.
- ^ a b Freiberg, Dr. Marcos; Walls (1984). The World of Venomous Animals. New Jersey: TFH. ISBN 0876665679.
- ^ "Ophitoxaemia (venomous snake bite)". Diakses 9/5/2007.
- ^ Sean Thomas. "Most Dangerous Snakes in the World". Diakses 9/5/2007.
- ^ a b Coborn, John (October 1991). The Atlas of Snakes of the World. New Jersey: TFH Publications. pp. 30,452. ISBN 978-0866227490.
- ^ Miller, Harry (September 1970), "The Cobra, India’s ‘Good Snake", National Geographic 20: 393–409
- ^ "CITES List of animal species used in traditional medicine". Diakses 9/1/2007.
Pranala luar
Sumber :
id.wikipedia.org, civitasbook.com (Ensiklopedia), pasar.ggkarir.com, wiki.edunitas.com, dll-nya.