Sutan Syahrir

Sutan Syahrir
Perdana Menteri Indonesia ke-1
Masa jabatan
14 November 1945 – 3 Juli 1947
PresidenSoekarno
Didahului olehTidak berada, jabatan baru
Dialihkan olehAmir Sjarifoeddin
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia ke-2
Masa jabatan
14 November 1945 – 12 Maret 1946
PresidenSoekarno
Didahului olehR.A.A. Wiranatakusumah
Dialihkan olehSudarsono
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia ke-2
Masa jabatan
14 November 1945 – 3 Juli 1947
PresidenSoekarno
Didahului olehAchmad Soebardjo
Dialihkan olehAgus Salim
Informasi pribadi
Kelahiran5 Maret 1909
Padang Panjang, Sumatera Barat, Hindia Belanda
Meninggal9 April 1966
Zurich, Swiss
KebangsaanIndonesia
Partai politikPSI
Suami/istriMaria Duchateau
Siti Wahyunah
ProfesiPolitikus
AgamaIslam

Sutan Syahrir (ejaan lama:Soetan Sjahrir) (lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, 5 Maret 1909 – meninggal di Zürich, Swiss, 9 April 1966 pada umur 57 tahun) yaitu seorang politikus dan perdana menteri pertama Indonesia. Ia menjabat menjadi Perdana Menteri Indonesia dari 14 November 1945 sampai 20 Juni 1947. Syahrir membangun Partai Sosialis Indonesia pada tahun 1948. Ia meninggal dalam pengasingan menjadi tawanan politik dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Sutan Syahrir ditentukan menjadi salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 9 April 1966 melalui Keppres nomor 76 tahun 1966[1] .

Riwayat

Syahrir kelahiran dari pasangan Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar Soetan Palindih dan Puti Siti Rabiah yang berasal dari Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat [2] Ayahnya menjabat menjadi penasehat sultan Deli dan kepala jaksa (landraad) di Medan. Syahrir bersaudara seayah dengan Rohana Kudus, aktivis serta wartawan wanita yang terkemuka.

Sekolah MULO di Medan (sekitar tahun 1925)

Syahrir mengenyam sekolah landasan (ELS) dan sekolah pertengahan (MULO) terbaik di Medan, dan membetahkannya bergaul dengan bermacam buku-buku asing dan ratusan novel Belanda. Malamnya dia mengamen di Hotel De Boer (kini Hotel Natour Dharma Deli), hotel khusus untuk tamu-tamu kulit putih.

Pada 1926, ia bubar dari MULO, masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung, sekolah termahal di Hindia Belanda kala itu. Di sekolah itu, dia bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) menjadi sutradara, penulis skenario, dan juga aktor. Hasil mentas itu dia gunakan untuk membiayai sekolah yang ia dirikan, Tjahja Volksuniversiteit, Cahaya Universitas Rakyat.

Di kalangan murid sekolah pertengahan (AMS) Bandung, Syahrir menjadi seorang bintang. Syahrir bukanlah tipe murid yang hanya menyibukkan diri dengan buku-buku latihan dan pekerjaan rumah. Ia aktif dalam klub saling berargumentasi di sekolahnya. Syahrir juga berkecimpung dalam gerak-gerak yang dibuat babak mendidik melek huruf dengan cara gratis bagi anak-anak dari keluarga tak dapat dalam Tjahja Volksuniversiteit.

Gerak-gerak yang dibuat sosial Syahrir akhir menjurus sah politis. Ketika para pemuda sedang terikat dalam perhimpunan-perhimpunan kedaerahan, pada tanggal 20 Februari 1927, Syahrir termasuk dalam sepuluh orang penggagas pendirian himpunan pemuda nasionalis, Jong Indonesië. Pengerahan itu akhir berganti nama sah Pemuda Indonesia yang menjadi motor penyelenggaraan Kongres Pemuda Indonesia. Kongres monumental yang menyalakan Sumpah Pemuda pada 1928.

Menjadi murid sekolah pertengahan, Syahrir sudah dikenal oleh polisi Bandung menjadi pemimpin redaksi majalah himpunan pemuda nasionalis. Dalam kenangan seorang temannya di AMS, Syahrir kerap lari digebah polisi karena membandel membaca koran yang berisi berita pemberontakan PKI 1926; koran yang ditempel pada papan dan selalu dikawal polisi supaya tak dibaca para pelajar sekolah.

Syahrir melanjutkan babak mendidik ke negeri Belanda di Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam. Di sana, Syahrir mempelajari sosialisme. Dengan cara sungguh-sungguh ia berkutat dengan teori-teori sosialisme. Ia erat dengan Salomon Tas, Ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat, dan istrinya Maria Duchateau, yang nantinya dinikahi Syahrir, meski sebentar. (Nantinya Syahrir menikah kembali dengan Poppy, kakak tertua dari Soedjatmoko dan Miriam Boediardjo).

Dalam tulisan kenangannya, Salomon Tas berkisah mengenai Syahrir yang berupaya menemukan teman-teman radikal, berkelana semakin jauh ke kiri, sampai ke kalangan anarkis yang mengharamkan segala hal berbau kapitalisme dengan bertahan hidup dengan cara kolektif – saling berbagi satu sama lain selain sikat gigi. Demi bertambah mengenal dunia proletar dan organisasi pergerakannya, Syahrir pun bekerja pada Sekretariat Federasi Buruh Transportasi Internasional.

Selain menceburkan diri dalam sosialisme, Syahrir juga aktif dalam Pengerahan Indonesia (PI) yang ketika itu diketuai oleh Mohammad Hatta. Di awal 1930, pemerintah Hindia Belanda semakin bengis terhadap organisasi pergerakan nasional, dengan gerak-gerak yang dibuat razia dan memenjarakan pemimpin pergerakan di tanah cairan, yang berbuntut pembubaran Partai Nasional Indonesia (PNI) oleh aktivis PNI sendiri. Berita tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis PI di Belanda. Mereka selalu menyerukan supaya pergerakan jangan sah melempem lantaran pemimpinnya dipenjarakan. Seruan itu mereka sampaikan lewat tulisan. Bersama Hatta, keduanya rajin menulis di Daulat Rakjat, majalah milik Babak mendidik Nasional Indonesia, dan memisikan babak mendidik rakyat harus menjadi tugas utama pemimpin politik.

"Pertama-tama, marilah kita memberi latihan, yaitu memetakan jalan mengarah kemerdekaan," istilahnya.

Pengujung tahun 1931, Syahrir melepaskan kampusnya untuk kembali ke tanah cairan dan terjun dalam pergerakan nasional. Syahrir segera bergabung dalam organisasi Partai Nasional Indonesia (PNI Baru), yang pada Juni 1932 diketuainya. Pengalaman mencemplungkan diri dalam dunia proletar ia praktekkan di tanah cairan. Syahrir terjun dalam pergerakan buruh. Ia berisi banyak tulisannya mengenai perburuhan dalam Daulat Rakyat. Ia juga kerap berucap mengenai pergerakan buruh dalam forum-forum politik. Mei 1933, Syahrir didaulat menjadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia.

Hatta akhir kembali ke tanah cairan pada Agustus 1932, segera pula ia memimpin PNI Baru. Bersama Hatta, Syahrir mengendarai PNI Baru menjadi organisasi pencetak kader-kader pergerakan. Berdasarkan analisis pemerintahan kolonial Belanda, gerakan politik Hatta dan Syahrir dalam PNI Baru justru bertambah radikal tinimbang Soekarno dengan PNI-nya yang mengandalkan mobilisasi massa. PNI Baru, menurut polisi kolonial, cukup sebanding dengan organisasi Barat. Meski tanpa gerak-gerak yang dibuat massa dan agitasi; dengan cara tajam ikhtiar, lamban tetapi pasti, PNI Baru memberi latihan kader-kader pergerakan yang siap bergerak ke arah tujuan revolusionernya.

Karena takut hendak potensi revolusioner PNI Baru, pada Februari 1934, pemerintah kolonial Belanda menangkap, memenjarakan, akhir membuang Syahrir, Hatta, dan beberapa pemimpin PNI Baru ke Boven-Digoel. Hampir setahun dalam kawasan malaria di Papua itu, Hatta dan Syahrir dialihkan ke Bandaneira untuk menjalani masa pembuangan selama enam tahun.

Masa pendudukan Jepang

Selagi Soekarno dan Hatta menjalin kerja sama dengan Jepang, Syahrir membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis. Syahrir yakin Jepang tak mungkin memenangkan perang, oleh karenanya, kaum pergerakan mesti menyiapkan diri untuk merebut kemerdekaan di kala yang tepat. Simpul-simpul jaringan gerakan bawah tanah kelompokan Syahrir yaitu kader-kader PNI Baru yang tetap meneruskan pergerakan dan kader-kader muda yakni para mahasiswa progresif.

Sastra, seorang tokoh senior pergerakan buruh yang erat dengan Syahrir, menulis:

Di bawah kepemimpinan Syahrir, kami bergerak di bawah tanah, menyusun kekuatan subjektif, sambil menunggu perkembangan situasi objektif dan tibanya saat-saat psikologis untuk merebut kekuasaan dan kemerdekaan.

Situasi objektif itu pun makin terang ketika Jepang makin terdesak oleh pasukan Sekutu. Syahrir memahami perkembangan Perang Dunia dengan cara sembunyi-sembunyi mendengarkan berita dari stasiun radio luar negeri. Kala itu, semua radio tak dapat menangkap berita luar negeri karena disegel oleh Jepang. Berita-berita tersebut akhir ia sampaikan ke Hatta. Sembari itu, Syahrir menyiapkan gerakan bawah tanah untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang.

Syahrir yang didukung para pemuda mendesak Soekarno dan Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 15 Agustus karena Jepang sudah menyerah, Syahrir siap dengan massa gerakan bawah tanah untuk melancarkan gerak-gerak yang dibuat perebutan kekuasaan menjadi simbol dukungan rakyat. Soekarno dan Hatta yang belum memahami berita menyerahnya Jepang, tidak merespon dengan cara positif. Mereka menunggu keterangan dari pihak Jepang yang berada di Indonesia, dan proklamasi itu mesti berdasarkan cara lewat keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diwujudkan oleh Jepang. Berdasarkan rancangan PPKI, kemerdekaan hendak diproklamasikan pada 24 September 1945.

Sikap Soekarno dan Hatta tersebut mengecewakan para pemuda, karena sikap itu berisiko kemerdekaan RI dinilai menjadi hadiah Jepang dan RI yaitu hasil pekerjaan Jepang. Guna mendesak bertambah keras, para pemuda pun menculik Soekarno dan Hatta pada 16 Agustus. Akhirnya, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus.

Masa Revolusi Nasional Indonesia

Revolusi menciptakan atmosfer amarah dan ketakutan, karenanya sulit untuk berpikir jernih. Sehingga sedikit sekali tokoh yang milik pemikiran dan langkah strategis mempercayakan guna mengendarai kecamuk revolusi. Kala itu, berada dua orang dengan pemikirannya yang populer akhir dianut banyak kalangan pejuang republik: Tan Malaka dan Sutan Syahrir. Dua tokoh pergerakan kemerdekaan yang dinilai steril dari malu kolaborasi dengan Pemerintahan Fasis Jepang, meski akhir bersehadap jalan dalam memperjuangan kedaulatan republik.

Di masa genting itu, Bung Syahrir menulis Perjuangan Kita. Sebuah risalah peta persoalan dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik dunia bubar Perang Dunia II. Perjungan Kita timbul menyentak kesadaran. Risalah itu ibarat pedoman dan peta guna mengendarai kapal Republik Indonesia di tengah badai revolusi.

Tulisan-tulisan Syahrir dalam Perjuangan Kita, membuatnya tampak berseberangan dan menyerang Soekarno. Bila Soekarno amat terobsesi pada persatuan dan kesatuan, Syahrir justru menulis, "Tiap persatuan hanya hendak bersifat taktis, temporer, dan karenanya insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan dengan cara paksa, hanya memproduksi anak banci. Persatuan semacam itu hendak terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan."

Dan dia mengecam Soekarno. "Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas solidaritas hierarkis, feodalistis: sebenarnya yaitu fasisme, musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita." Dia juga mengejek gaya agitasi massa Soekarno yang menurutnya tak membawa kejernihan.

Perjuangan Kita yaitu karya terbesar Syahrir, istilah Salomon Tas, bersama surat-surat politiknya semasa pembuangan di Boven Digul dan Bandaneira. Manuskrip itu dinamakan Indonesianis Ben Anderson menjadi, "Satu-satunya usaha untuk menganalisa dengan cara sistematis kekuatan domestik dan internasional yang memperngaruhi Indonesia dan yang memberikan perspektif yang masuk kecerdikan bagi gerakan kemerdekaan pada masa depan."

Terbukti akhir, pada November ’45 Syahrir didukung pemuda dan ditunjuk Soekarno menjadi formatur kabinet parlementer. Pada usia 36 tahun, mulailah lakon Syahrir dalam panggung memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia, menjadi Perdana Menteri termuda di dunia, merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri.

Penculikan

Penculikan Perdana Menteri Sjahrir yaitu peristiwa yang terjadi pada 26 Juni 1946 di Surakarta oleh kelompokan oposisi Persatuan Perjuangan yang tidak puas atas diplomasi yang diterapkan oleh pemerintahan Kabinet Sjahrir II dengan pemerintah Belanda karena sangat merugikan perjuangan Bangsa Indonesia kala itu. Kelompokan ini mengharapkan pengakuan kedaulatan penuh (Lepas 100%), sedangkan kabinet yang berkuasa hanya menuntut pengakuan kedaulatan atas Jawa dan Madura.

Kelompokan Persatuan Perjuangan ini diketuai oleh Mayor Jendral Soedarsono dan 14 pimpinan sipil, di selanya Tan Malaka dari Persatuan Perjuangan bersama dengan Panglima mulia Jendral sudirman. Perdana Menteri Sjahrir ditahan di suatu rumah peristirahatan di Paras.

Presiden Soekarno sangat marah atas gerak-gerak yang dibuat penculikan ini dan memerintahkan Polisi Surakarta menangkap para pimpinan kelompokan tersebut. Tanggal 1 Juli 1946, ke-14 pimpinan berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan.

Tanggal 2 Juli 1946, tentara Divisi 3 yang diketuai Mayor Jendral Soedarsono menyerbu penjara Wirogunan dan memerdekakan ke 14 pimpinan penculikan.

Presiden Soekarno marah mendengar penyerbuan penjara dan memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto, pimpinan tentara di Surakarta, untuk menangkap Mayjen Soedarsono dan pimpinan penculikan. Lt. Kol. Soeharto menampik perintah ini karena dia tidak mau menangkap pimpinan/atasannya sendiri. Dia hanya mau menangkap para pemberontak sekiranya berada perintah langsung dari Kepala Staf militer RI, Jendral Soedirman. Presiden Soekarno sangat marah atas penolakan ini dan menjuluki Lt. Kol. Soeharto menjadi perwira keras kepala (koppig).

Nantinya Let. Kol. Soeharto menjadi Presiden RI Soeharto dan menerbitkan catatan mengenai peristiwa pemberontakan ini dalam buku otobiografinya Ucapan, Ikhtiar dan Aksi Saya.

Lt. Kol. Soeharto berpura-pura bersimpati pada pemberontakan dan menawarkan pengamanan pada Mayjen Soedarsono dan ke 14 orang pimpinan di markas resimen tentara di Wiyoro. Malam harinya Lt. Kol. Soeharto membujuk Mayjen Soedarsono dan para pimpinan pemberontak untuk menghadap Presiden RI di Istana Presiden di Jogyakarta. Dengan cara rahasia, Lt. Kol. Soeharto juga menghubungi pasukan pengawal Presiden dan memberitahukan rancangan kedatangan Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak.

Tanggal 3 Juli 1946, Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak berhasil dilucuti senjatanya dan ditangkap di dekat Istana Presiden di Yogyakarta oleh pasukan pengawal presiden. Peristiwa ini akhir dikenal menjadi pemberontakan 3 Juli 1946 yang gagal.

Diplomasi Syahrir

Perangko Sutan Syahrir 15 Rupiah

Sehabis peristiwa penculikan Syahrir hanya menjalankan tugas menjadi Menteri Luar Negeri, tugas menjadi Perdana Menteri diambil alih Presiden Soekarno. Tetapi pada tanggal 2 Oktober 1946, Presiden menunjuk kembali Syahrir menjadi Perdana Menteri supaya dapat melanjutkan Perundingan Linggarjati yang akibatnya ditandatangani pada 15 November 1946.

Tanpa Syahrir, Soekarno dapat terbakar dalam lautan api yang telah ia nyalakan. Sebaliknya, sulit diajukan alasan bahwa tanpa Bung Karno, Syahrir tidak bertenaga apa-apa.

Syahrir mengakui Soekarno-lah pemimpin republik yang diakui rakyat. Soekarno-lah pemersatu bangsa Indonesia. Karena agitasinya yang menggelora, rakyat di bekas teritori Hindia Belanda mendukung revolusi. Kendati demikian, kekuatan raksasa yang sudah dihidupi Soekarno harus dibendung untuk akhir diarahkan dengan cara sepatutnya, supaya energi itu tak meluap dan justru merusak.

Sebagaimana pendapat Bung Hatta bahwa revolusi mesti dikendalikan; tak mungkin revolusi berjalan melampaui batas lama, revolusi yang mengguncang ‘sendi’ dan ‘pasak’ warga bila tak dikemudikan karenanya hendak meruntuhkan seluruh ‘bangunan’.

Supaya Republik Indonesia tak runtuh dan perjuangan rakyat tak menampilkan wajah bengis, Syahrir mengerjakan siasatnya. Di pemerintahan, menjadi ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), ia menjadi arsitek perubahan Kabinet Presidensil menjadi Kabinet Parlementer yang bertanggung jawab untuk KNIP menjadi lembaga yang milik fungsi legislatif. RI pun menganut sistem multipartai. Tatanan pemerintahan tersebut berdasarkan dengan arus politik pasca-Perang Dunia II, yakni kemenangan demokrasi atas fasisme. Untuk massa rakyat, Syahrir selalu menyerukan nilai-nilai kemanusiaan dan anti-kekerasan.

Dengan siasat-siasat tadi, Syahrir menunjuk untuk dunia internasional bahwa revolusi Republik Indonesia yaitu perjuangan suatu bangsa yang mempunyai budi bahasa yang baik dan demokratis di tengah suasana kebangkitan bangsa-bangsa melepaskan diri dari cengkeraman kolonialisme pasca-Perang Dunia II. Pihak Belanda kerap menjalankan propaganda bahwa orang-orang di Indonesia yaitu gerombolan yang brutal, suka membunuh, merampok, menculik, dll. Karenanya sah bagi Belanda, melalui NICA, menegakkan tertib sosial sebagaimana kondisi Hindia Belanda sebelum Perang Dunia II. Mematahkan propaganda itu, Syahrir menginisiasi penyelenggaraan pameran kesenian yang akhir diliput dan dipublikasikan oleh para wartawan luar negeri.

Berada satu cerita mengenai sikap konsekuen pribadi Syahrir yang anti-kekerasan. Di pengujung Desember 1946, Perdana Menteri Syahrir dicegat dan ditodong pistol oleh serdadu NICA. Kala serdadu itu menarik pelatuk, pistolnya macet. Karena geram, dipukullah Syahrir dengan gagang pistol. Berita itu akhir tersebar lewat Radio Republik Indonesia. Mendengar itu, Syahrir dengan mata sembab membiru memberi peringatan keras supaya siaran itu dibubarkan, karena dapat berdampak fatal dibunuhnya orang-orang Belanda di kamp-kamp tawanan oleh para pejuang republik, ketika kenal pemimpinnya dipukuli.

Meski jatuh-bangun dampak bermacam tentangan di kalangan bangsa sendiri, Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II sampai dengan Kabinet Sjahrir III (1945 sampai 1947) konsisten memperjuangkan kedaulatan RI lewat jalur diplomasi. Syahrir tak ingin konyol menghadapi tentara sekutu yang dari bidang persenjataan jelas jauh bertambah canggih. Diplomasinya akhir berbuah kemenangan selagi. Inggris menjadi komando tentara sekutu untuk wilayah Asia Tenggara mendesak Belanda untuk duduk berunding dengan pemerintah republik. Dengan cara politik, hal ini berarti dengan cara de facto sekutu mengakui eksistensi pemerintah RI.

Jalan berliku diplomasi diperkeruh dengan gempuran gerak-gerak yang dibuat militer Belanda pada 21 Juli 1947. Gerak-gerak yang dibuat Belanda tersebut justru mengantarkan Indonesia ke forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sehabis tidak lagi menjabat Perdana Menteri (Kabinet Sjahrir III), Syahrir diutus menjadi perwakilan Indonesia di PBB. Dengan bantuan Biju Patnaik, Syahrir bersama Agus Salim berangkat ke Lake Success, New York melalui New Delhi dan Kairo untuk menggalang dukungan India dan Mesir.

Pada 14 Agustus 1947 Syahrir berpidato di muka sidang Dewan Beradanya lepas dari bahaya PBB. Bersehadap dengan para wakil bangsa-bangsa sedunia, Syahrir mengurai Indonesia menjadi sebuah bangsa yang beratus-ratus tahun berperadaban aksara lantas dieksploitasi oleh kaum kolonial. Kemudian, dengan cara piawai Syahrir mematahkan satu per satu pendapat yang sudah diberikan wakil Belanda, Eelco van Kleffens. Dengan itu, Indonesia berhasil merebut letak menjadi sebuah bangsa yang memperjuangan kedaulatannya di gelanggang internasional. PBB pun ikut campur, sehingga Belanda gagal mempertahankan upayanya untuk menjadikan pertikaian Indonesia-Belanda menjadi persoalan yang semata-mata urusan dalam negerinya.

Van Kleffens dianggap gagal membawa kepentingan Belanda dalam sidang Dewan Beradanya lepas dari bahaya PBB. Bermacam kalangan Belanda menilai kegagalan itu menjadi kekalahan seorang diplomat ulung yang berpengalaman di gelanggang internasional dengan seorang diplomat muda dari negeri yang baru saja kelahiran. Van Kleffens pun ditarik dari jabatan menjadi wakil Belanda di PBB menjadi duta mulia Belanda di Turki.

Syahrir populer di kalangan para wartawan yang meliput sidang Dewan Beradanya lepas dari bahaya PBB, paling utama wartawan-wartawan yang berada di Indonesia semasa revolusi. Beberapa surat kabar menamakan Syahrir menjadi The Smiling Diplomat.

Syahrir mewakili Indonesia di PBB selama 1 bulan, dalam 2 kali sidang. Pimpinan delegasi Indonesia akhir diwakili oleh Lambertus Nicodemus Palar (L.N.) Palar sampai tahun 1950.[3]

Partai Sosialis Indonesia

Selepas memimpin kabinet, Sutan Syahrir ditinggikan menjadi penasihat Presiden Soekarno sekaligus Duta Mulia Keliling. Pada tahun 1948 Syahrir membangun Partai Sosialis Indonesia (PSI) menjadi partai alternatif selain partai lain yang tumbuh dari gerakan komunis internasional. Meskipun PSI berhaluan kiri dan mendasarkan pada nasihat Marx-Engels, tetapi ia menentang sistem kenegaraan Uni Soviet. Menurutnya pengertian sosialisme yaitu menjunjung tinggi derajat kemanusiaan, dengan mengakui dan menjunjung persamaan derajat tiap manusia

Gemar dirgantara dan musik

Meskipun perawakannya kecil, yang oleh teman-temannya sering dijuluki Si Kancil, Sutan Syahrir yaitu salah satu penggemar olah raga dirgantara, pernah menerbangkan pesawat kecil dari Jakarta ke Yogyakarta pada kesempatan lawatan ke Yogyakarta. Di samping itu juga puas sekali dengan musik klasik, di mana dia juga dapat memainkan biola.

Akhir hidup

Tahun 1955 PSI gagal mengerahkan suara dalam pemilihan umum pertama di Indonesia. Sehabis kasus PRRI tahun 1958[4], hubungan Sutan Syahrir dan Presiden Soekarno memburuk sampai akibatnya PSI dibubarkan tahun 1960. Tahun 1962 sampai 1965, Syahrir ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili sampai menderita stroke. Sehabis itu Syahrir diijinkan untuk berobat ke Zürich Swis, salah seorang kawan dekat yang pernah menjabat wakil ketua PSI Sugondo Djojopuspito menghantarkan dia di Bandara Kemayoran dan Syahrir memeluk Sugondo degan cairan mata, dan akibatnya meninggal di Swiss pada tanggal 9 April 1966.

Karya

  1. Ikhtiar dan Perjuangan, tahun 1950 (kumpulan karangan dari Majalah ”Daulat Rakyat” dan majalah-majalah lain, tahun 1931 – 1940)
  2. Pergerakan Sekerja, tahun 1933
  3. Perjuangan Kita, tahun 1945
  4. Indonesische Overpeinzingen, tahun 1946 (kumpulan surat-surat dan karangan-karangan dari penjara Cipinang dan tempat pembuangan di Digul dan Banda-Neira, dari tahun 1934 sampau 1938).
  5. Renungan Indonesia, tahun 1951 (diterjemahkan dari Bahasa Belanda: Indonesische Overpeinzingen oleh HB Yassin)
  6. Out of Exile, tahun 1949 (terjemahan dari ”Indonesische Overpeinzingen” oleh Charles Wolf Jr. dengan dibubuhi anggota ke-2 karangan Sutan Sjahrir)
  7. Renungan dan Perjuangan, tahun 1990 (terjemahan HB Yassin dari Indonesische Overpeinzingen dan Anggota II Out of Exile)
  8. Sosialisme dan Marxisme, tahun 1967 (kumpulan karangan dari majalah “Suara Sosialis” tahun 1952 – 1953)
  9. Nasionalisme dan Internasionalisme, tahun 1953 (pidato yang diceritakan pada Asian Socialist Conference di Rangoon, tahun 1953)
  10. Karangan–karangan dalam "Sikap", "Suara Sosialis" dan majalah–majalah lain
  11. Sosialisme Indonesia Pembangunan, tahun 1983 (kumpulan tulisan Sutan Sjahrir diterbitkan oleh Leppenas)

Jabatan

  1. Perdana Menteri pertama Republik Indonesia
  2. Ketua Partai Sosialis Indonesia (PSI)
  3. Ketua delegasi Republik Indonesia pada Perundingan Linggarjati
  4. Duta Mulia Keliling (Ambassador-at-Large) Republik Indonesia

Referensi

Bacaan rujukan

  • Legge, J.D. Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan. Peranan Kelompokan Sjahrir. Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1993.
  • Lampau dan Datang. Pidato Mohammad Hatta pada penerimaan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada, 1956
  • Mangunwijaya, Y.B. Dilema Sutan Sjahrir: Sela Pemikir dan Politikus. Prisma, Agustus 1977.
  • Mengenang Sjahrir, disunting oleh H. Rosihan Anwar. Jakarta, Gramedia, 1980.
  • Rudolf Mrazek. Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1996.

Pranala luar

Jabatan pemerintahan
Sebelumnya:
tidak berada
Perdana Menteri Indonesia
1945–1947
Digantikan oleh:
Amir Sjarifoeddin
Sebelumnya:
Achmad Soebardjo
Menteri Luar Negeri Indonesia
1945 - 1947
Digantikan oleh:
Agus Salim
 
 
Lihat pula: Soesanto Tirtoprodjo (Pejabat Perdana Menteri)
Di bawah ini yaitu daftar sempurna dan resmi 163 tokoh yang telah ditentukan menjadi Pahlawan Nasional Indonesia.
Politik
Abdul Halim · Achmad Soebardjo · Adam Malik · Adenan Kapau Gani · Alimin · Andi Sultan Daeng Radja · Arie Frederik Lasut · Djoeanda Kartawidjaja · Ernest Douwes Dekker · Fatmawati · Ferdinand Lumbantobing · Frans Kaisiepo · Gatot Mangkoepradja · Hamengkubuwana IX · Herman Johannes · Idham Chalid · Ida Anak Mulia Gde Mulia · Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono · I Gusti Ketut Pudja · Iwa Koesoemasoemantri · Izaak Huru Doko · J. Leimena · Johannes Abraham Dimara · Kusumah Atmaja · L. N. Palar · Mangkunegara I · Maskoen Soemadiredja · Mohammad Hatta · Mohammad Husni Thamrin · Moewardi · Teuku Nyak Arif · Nani Wartabone · Oto Iskandar di Nata · Radjiman Wedyodiningrat · Rasuna Said · Saharjo · Samanhudi · Soekarni · Soekarno · Sukarjo Wiryopranoto · Soepomo · Soeroso · Soerjopranoto · Sutan Syahrir · Syafruddin Prawiranegara · Tan Malaka · Tjipto Mangoenkoesoemo · Oemar Said Tjokroaminoto · Wahid Hasjim · Zainul Arifin
Militer
Kemerdekaan
Revolusi
Pergerakan
Sastra
Seni
Babak mendidik
Integrasi
Pers
Pembangunan
Agama
Perjuangan


Sumber :
wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, m.andrafarm.com, pasar.program-reguler.co.id, dsb-nya.