Haji Abdul Malik Karim Amrullah

Haji Abdul Malik Karim Amrullah
Hamka
Nama panggilanHamka
Kelahiran17 Februari 1908
Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam, Hindia Belanda
Meninggal24 Juli 1981
Jakarta
Kebangsaan Indonesia
Suku bangsaMinangkabau
Minat utamaTafsir Al-Qur'an, hukum Islam, dan sejarah Islam
Karya terkenalTafsir Al-Azhar
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
Di Bawah Lindungan Ka'bah

Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah bin Abdul Karim Amrullah bin Syeikh Muhammad Amrullah bin Tuanku Abdullah Saleh bin Tuanku Syeikh Pariaman atau semakin dikenal dengan julukan Hamka, yakni singkatan namanya, (lahir di Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) yaitu sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, berbakat filsafat, dan aktivis politik.

Kehidupan awal

Rumah yang diduduki oleh Hamka bersama neneknya selama di Maninjau, yang sesudah direnovasi pada tahun 2001 menjadi Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka

Hamka kelahiran pada 17 Februari 1908 [Kalender Hijriyah: 13 Muharram 1362] di Minangkabau, Sumatera. Dia kelahiran menjadi anak pertama dari tujuh orang bersaudara dan dibesarkan dalam keluarga yang taat mengerjakan nasihat agama Islam. Ayahnya bernama Abdul Karim Amrullah, ulama pembaru Islam di Minangkabau yang akrab dipanggil dengan sebutan Haji Rasul, selagi ibunya, yakni Sitti Shafiyah, berasal dari keturunan seniman di Minangkabau. Adapun ayah dari Abdul Karim, kakek Hamka, yakni Muhammad Amrullah dikenal menjadi ulama pengikut Tarekat Naqsyabandiyah.

Sebelum mengenyam proses mendidik di sekolah, Hamka tinggal bersama neneknya di sebuah rumah di dekat Danau Maninjau. Ketika berusia enam tahun, dia pindah bersama ayahnya ke Padang Panjang. Sebagaimana umumnya anak-anak laki-laki di Minangkabau, sewaktu kecil dia berusaha bisa mengaji dan tidur di surau yang benar di sekitar tempat dia tinggal, sebab anak laki-laki Minang memang tak milik tempat di rumah.[1] Di surau, dia berusaha bisa mengaji dan silek, selagi di luar itu, dia suka mendengarkan kaba, kisah-kisah yang dinyanyikan dengan alat-alat musik tradisional Minangkabau.[2] Pergaulannya dengan tukang-tukang kaba, memberikannya ilmu hal seni mengucapkan kisah dan mengolah kata-kata. Kelak menempuh novel-novelnya, Hamka kerap mencomot kosakata dan istilah-istilah Minangkabau. Seperti halnya sastrawan yang kelahiran di ranah Minang, pantun dan petatah-petitih menjadi bumbu dalam karya-karyanya.

Mengenyam proses mendidik

Pada tahun 1915, sesudah usianya genap tujuh tahun, dia dibawa turut ke sebuah Sekolah Desa dan berusaha bisa ilmu ilmu umum seperti melakukan perhitungan dan membaca di sekolah tersebut.[3][4] Pada masa-masa itu, sebagaimana diakui oleh Hamka, adalah zaman yang seindah-indahnya pada dirinya. Pagi dia bergegas pergi ke sekolah agar dapat jadi pemain sebelum pelajaran dimulai, akhir sepulang sekolah bermain-main kembali, bercari-carian, jadi pemain galah, bergelut, dan berkejar-kejaran, seperti anak-anak lainnya jadi pemain.[2] Dua tahun akhir, sambil tetap berusaha bisa tiap pagi di Sekolah Desa, dia juga berusaha bisa di Diniyah School tiap sore.[5] Tetapi sejak dibawa turut ke Thawalib oleh ayahnya pada tahun 1918, dia tidak dapat kembali menyertai pelajaran di Sekolah Desa.[6][7] Dia beristirahat sesudah tamat kelas dua.[8] Sesudah itu, dia berusaha bisa di Diniyah School tiap pagi, selagi sorenya berusaha bisa di Thawalib dan malamnya balik ke surau.[9] Demikian kegiatan Hamka kecil tiap hari, sesuatu yang—sebagaimana diakuinya—tidak menggerakkan rasa senang dan mengekang kebebasan masa kanak-kanaknya.[10]

Selama berusaha bisa di Thawalib, dia bukan termasuk anak yang pintar, bahkan dia kerap tidak mempunyai beberapa hari karena merasai rasa jenuh dan memilih mencari ilmu dengan jalannya sendiri.[2] Dia semakin senang benar di sebuah perpustakaan umum milik pengajarnya, Zainuddin Labay El Yunusy daripada dipusingkan dengan pelajaran-pelajaran yang harus dihafalnya di kelas.[11][12] Dari perpustakaan tersebut, dia leluasa membaca bermacam-macam buku, bahkan beberapa dia pinjam untuk dibawanya balik. Namun, karena buku yang dipinjamnya itu tidak benar hubungannya dengan pelajaran, dia sempat dimarahi oleh ayahnya ketika ketahuan tengah asyik membaca Kaba Cindua Mato. Ayahnya berucap, "Apakah engkau akan menjadi orang alim nanti, atau menjadi orang tukang cerita?"[13][14]

Menjadi usaha untuk memperlihatkan diri kepada ayahnya dan menjadi dampak dari persentuhannya dengan buku-buku yang dibacanya hal daya tarik Jawa Tengah, menyebabkan Hamka sangat berminat untuk merantau ke Tanah Jawa. Pada saat yang sesuai, dia tidak kembali tertarik untuk menamatkan proses mendidik di Thawalib. Sesudah berusaha bisa selama empat tahun, dia meresmikan untuk keluar dari Thawalib, selagi rancangan proses mendidik di sekolah tersebut dirancang selama tujuh tahun. Dia keluar tanpa memperoleh ijazah. Pada masa-masa sesudah itu, Hamka sempat dibawa ke Parabek, sekitar 5 km dari Bukittinggi pada tahun 1922 untuk berusaha bisa kepada Syekh Ibrahim Musa, tetapi tidak berlangsung lama.[5] Dia semakin memilih menyertai ucap hatinya untuk menuntut ilmu dan pengalaman menurut caranya sendiri. Dia meresmikan untuk bertolak ke pulau Jawa. Namun, usaha yang pertama sempat terjegal oleh ayahnya.

Merantau ke Jawa

Hamka telah berkelana ke sejumlah tempat di Minangkabau sejak berusia remaja, sehingga dijuluki oleh ayahnya dengan sebutan "Si Bujang Jauh".[13] Ketika berusia 15 tahun, sesudah merasai suatu peristiwa yang mengguncangkan jiwanya, yakni perceraian orang tuanya, Hamka telah berniat pergi ke pulau Jawa sesudah mengetahui bahwa Islam di Jawa semakin maju daripada Minangkabau terutama dalam hal kebangkitan dan organisasi. Tetapi setiba di Bengkulu, Hamka terkena wabah penyakit cacar, sehingga sesudah sekitar dua bulan benar di atas pembaringan, dia meresmikan balik ke Padang Panjang.[11] Meski begitu niatnya untuk pergi ke pulau Jawa tidak terbendung. Pada tahun 1924, setahun sesudah sembuh dari penyakit cacar, dia balik berangkat ke pulau Jawa.

Setiba di pulau Jawa, Hamka bertolak ke Yogyakarta dan bertempat tinggal tetap di rumah saudara kandung yang lebih muda kandung ayahnya, Ja'far Amrullah.[15][16] Menempuh pamannya itu, dia mendapat peluang menyertai bermacam diskusi dan pelatihan kebangkitan Islam yang dipersiapkan oleh Muhammadiyah dan Sarekat Islam.[17] Selain mengkaji kebangkitan Islam, dia juga meluaskan pandangannya dalam persoalan gangguan terhadap kemajuan Islam seperti kristenisasi dan komunisme. Selama di Jawa, dia aktif dalam bermacam kegiatan sosial dan agama. Dalam bermacam peluang, dia berguru kepada Bagoes Hadikoesoemo, HOS Tjokroaminoto, Abdul Rozak Fachruddin, dan Suryopranoto.[18] Sebelum balik ke Minangkabau, dia sempat mengembara ke Bandung dan berjumpa dengan tokoh-tokoh Masyumi seperti Ahmad Hassan dan Mohammad Natsir, yang memberinya peluang berusaha bisa menulis dalam Majalah Pembela Islam.[19] Selanjutnya pada tahun 1925, dia pergi ke Pekalongan, Jawa Timur untuk menjumpai Ahmad Rasyid Sutan Mansur—yang waktu itu menjabat menjadi Ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan—sekaligus berusaha bisa kepadanya. Selama di Pekalongan, dia bertempat tinggal tetap di rumah kakak iparnya itu dan mulai tampil berpidato di beberapa tempat.[20][21]

Dalam perantauan pertamanya ke pulau Jawa, dia mengaku memiliki semangat baru dalam mengkaji Islam. Dia juga melihat benar perbedaan antara misi pembaruan Islam di Minangkabau dan Jawa; jika di Minangkabau ditujukan pada pemurnian nasihat Islam dari praktik yang dianggap salah, seperti tarekat, taklid, dan khirafat, maka di Jawa semakin berpandangan kepada usaha untuk melakukan perang terhadap keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan.

Menunaikan ibadah haji

Suasana pelaksanaan haji di Masjidil Haram, Mekkah. Perjalanan Hamka ke Mekkah pada tahun 1927 meletupkan inspirasi untuknya untuk menulis Di Bawah Lindungan Ka'bah

Sesudah setahun lamanya benar di Jawa, pada bulan Juli 1925 Hamka balik ke Padang Panjang.[22] Di Padang Panjang, dia menulis majalah pertamanya berjudul Chatibul Ummah, yang berisikan kelompok pidato yang didengarkannya di Surau Jembatan Besi,[23] dan Majalah Tabligh Muhammadiyah.[24] Di sela-sela aktivitasnya dalam bagian dakwah menempuh tulisan, dia menyempatkan berpidato di beberapa tempat di Padang Panjang. Tetapi pada saat itu, semuanya justru dikritik tajam oleh ayahnya, "Pidato-pidato saja yaitu percuma, isi dahulu dengan ilmu, barulah benar guna dan ciri utamanya pidato-pidatomu itu." Di sisi lain, dia tidak menemukan penerimaan baik dari masyarakat. Dia kerap kali dicemooh menjadi "tukang pidato yang tidak berijazah",[25] bahkan dia sempat mendapat kritikan dari beberapa ulama karena ketika itu dia belum menguasai bahasa Arab dengan baik.[26] Bermacam kritikan yang dia terima di tanah kelahirannya, dia jadikan cambuk untuk membekali diri semakin matang.

Pada bulan Februari 1927, dia memutuskan pergi ke Mekkah untuk memperdalam ilmu ilmu kegamaannya, termasuk untuk mengkaji bahasa Arab dan menunaikan ibadah hajinya yang pertama.[27] Dia pergi tanpa pamit kepada ayahnya dan berangkat dengan biaya sendiri.[28] Selama di Mekkah, dia menjadi koresponden Harian Pelita Andalas sekaligus menjalankan pekerjaan di sebuah perusahaan percetakan milik Tuan Hamid, putra Majid Kurdi, yang adalah mertua dari Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.[29][30] Di tempat dia menjalankan pekerjaan itu, dia dapat membaca kitab-kitab klasik, buku-buku, dan buletin Islam dalam bahasa Arab, satu-satunya bahasa asing yang direbutnya.

Menjelang pelaksanaan ibadah haji berlangsung, Hamka bersama beberapa calon jemaah haji lainnya mendirikan organisasi Persatuan Hindia Timur, sebuah organisasi yang memberikan pelajaran manasik haji kepada calon jemaah haji asal Indonesia.[26] Sesudah menunaikan haji, dan beberapa lama tinggal di Tanah Suci, dia berjumpa dengan Agus Salim dan sempat menyampaikan hasratnya untuk bertempat tinggal tetap di Mekkah, tetapi Agus Salim justru menasihatinya untuk segera balik.[31] "Banyak pekerjaan yang jauh semakin penting menyangkut kebangkitan, studi, dan perjuangan yang dapat engkau lakukan. Karenanya, akan semakin baik menjadi semakin berkembang diri di tanah airmu sendiri", ucap Agus Salim.[32] Dia pun segera balik ke tanah air sesudah tujuh bulan bermukim di Mekkah. Namun, bukannya balik ke Padang Panjang, Hamka malah bertempat tinggal tetap di Ajang, kota tempat berlabuhnya kapal yang membawanya balik.[33]

Karier di Ajang

Selama di Medan, dia banyak menulis artikel di bermacam majalah dan sempat menjadi pengajar agama selama beberapa bulan di Tebing Tinggi.[34] Dia mengirimkan tulisan-tulisannya untuk surat kabar Pembela Islam di Bandung dan Suara Muhammadiyah yang dipandu Abdul Rozak Fachruddin di Yogyakarta.[23] Selain itu, dia juga menjalankan pekerjaan menjadi koresponden di Harian Pelita Andalas dan menuliskan laporan-laporan perjalanan, terutama perjalanannya ke Mekkah pada tahun 1927. Pada tahun 1928, dia menulis romannya yang pertama dalam bahasa Minangkabau berjudul Si Sabariyah. Pada tahun yang sesuai, dia diangkat menjadi redaktur Majalah Kemajuan Zaman berdasarkan hasil konferensi Muhammadiyah di Padang Panjang.[35] Setahun berikutnya, dia menulis beberapa buku, antara lain: Agama dan Perempuan, Pembela Islam, Aturan sejak dahulu kala Minangkabau, Agama Islam, Kebutuhan Tabligh, dan Ayat-ayat Mi’raj. Namun, beberapa di antara kayanya tersebut disita karena dianggap berbahaya untuk pemerintah kolonial yang baru saja berkuasa ketika itu.

Pada 28 Juni 1926, gempa bumi berkekuatan 7,6 SR meluluhlantakkan beberapa luhur Padang Panjang, termasuk rumah ayah Hamka di Gatangan, Pasar Usang

Sewaktu di Medan, orang-orang di kampungnya sudah berkali-kali menulisi menginginkannya balik, tetapi selalu dihalau oleh Hamka. Oleh sebab itu, ayahnya menginginkan Ahmad Rasyid Sutan Mansur untuk menjemput dan membujuk Hamka balik.[22] Bujukan kakak iparnya itu kesudahannya membikin Hamka luluh, dan akhir dia balik ke kampung halamannya di Maninjau, selagi rumah ayahnya di Padang Panjang luluh lantah dampak gempa bumi pada tahun 1926. Setiba di kampung halamannya, dia diterima ayahnya dengan penuh haru sampai menitikkan air mata. Ayahnya kaget mengetahui Hamka telah berangkat haji dan pergi dengan ongkos sendiri. Ayahnya bahkan berucap, "Mengapa tidak engkau beri tahu bahwa begitu agung dan suci maksudmu? Abuya (ayah) ketika itu baru saja susah dan miskin. Sekiranya itu maksudmu, tak kayu jenjang dikeping, tak emas bungkal diasah." Sejak saat itu, pandangan Hamka terhadap ayahnya mulai berubah. Namun, sesudah sekitar setahun bertempat tinggal tetap di Sungai Batang,[36] dia balik membiarkan lepas kampung halamannya.

Hamka pindah ke Ajang pada tahun 1936.[37] Di Medan, dia menjalankan pekerjaan menjadi editor sekaligus menjadi pemimpin redaksi sebuah majalah ilmu Islam yang didirikannya bersama M. Yunan Nasution, yaitu Majalah Pedoman Masyarakat.[38][39] Menempuh Pedoman Masyarakat, dia untuk pertama kalinya memperkenalkan nama pena "Hamka".[40] Selama di Medan, dia menulis Di Bawah Lindungan Ka'bah, yang terinspirasi dari perjalanannya ke Mekkah pada tahun 1927.[41] Sesudah Di Bawah Lindungan Ka'bah diterbitkan pada tahun 1938, dia menulis Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, yang pada awal mulanya ditulis menjadi kisah bersambung dalam Pedoman Masyarakat.[42] Selain itu, dia juga menerbitkan beberapa roman dan buku-buku lainnya seperti: Merantau ke Deli, Keadilan Ilahi, Tuan Direktur, Angkatan Baru, Terusir, Di Dalam Lembah Kehidupan, Ayahku, Tasawuf Modern, dan Falsafah Hidup.[43][39] Tetapi pada tahun 1943, Majalah Pedoman Masyarakat yang dipandunya dibredel oleh Jepang, yang ketika itu berkuasa di Indonesia.[44]

Karier dan kehidupan selanjutnya

Muhammadiyah

Sesudah perkawinannya dengan Sitti Raham,[45] Hamka aktif dalam kepengurusan Muhammadiyah cabang Minangkabau, yang cikal bakalnya berasal dari perkumpulan Sendi Terlindung yang didirikan oleh ayahnya pada tahun 1925 di Sungai Batang.[46] Selain itu, dia sempat menjadi pimpinan Tabligh School, sebuah sekolah agama yang didirikan Muhammadiyah pada 1 Januari 1930.[47][48]

Sejak menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Solo pada tahun 1928, Hamka tidak pernah tidak masuk menghadiri kongres-kongres Muhammadiyah berikutnya. Sekembalinya dari Solo, dia mulai memangku beberapa posisi, sampai kesudahannya dia diangkat menjadi Ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang. Seusai Muktamar Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi pada tahun 1930, disusul dengan kongres berikutnya di Yogyakarta, dia memenuhi undangan untuk mendirikan cabang Muhammadiyah di Bengkalis.[49] Selanjutnya pada tahun 1932, dia diutus oleh Muhammadiyah ke Makassar dalam rangka mempersiapkan dan menggerakkan semangat rakyat untuk menanggapi Muktamar Muhammadiyah ke-21 di Makassar.[50] Selama di Makassar, dia sempat menerbitkan Al-Mahdi, majalah ilmu Islam yang terbit sekali sebulan.[35] Pada tahun 1934, setahun sesudah menghadiri Kongres Muhammadiyah di Semarang, dia diangkat menjadi anggota tetap Majelis Konsul Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Tengah.[48][51]

Kariernya di Muhammadiyah semakin menanjak sewaktu dia pindah ke Medan. Pada tahun 1942, bersamaan dengan jatuhnya Hindia Belanda ke dalam tampuk kekuasaan penjajah Jepang, Hamka terpilih menjadi pimpinan Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Timur menukarkan H. Mohammad Said.[52] Tetapi pada Desember 1945, dia meresmikan balik ke Minangkabau dan meloloskan posisi tersebut. Pada tahun berikutnya, dia terpilih menjadi Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat menukarkan S.Y. Sutan Mangkuto.[53] Posisi ini dia rengkuh sampai tahun 1949.[54]

Pada tahun 1953, dia terpilih menjadi pimpinan pusat Muhammadyiah dalam Muktamar Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto. Sejak saat itu, dia selalu terpilih dalam Muktamar Muhammadiyah selanjutnya, sampai pada tahun 1971 dia memohon agar tidak ditunjuk balik karena merasai rasa uzur.[55] Akan tetapi, dia tetap diangkat menjadi penasihat pimpinan pusat Muhammadiyah sampai belakang hayatnya.[56]

Meninggal dunia

Sesudah mengundurkan diri dari posisi ketua MUI, kesehatannya menurun. Atas anjuran dokter Karnen Bratawijaya, dokter keluarga itu, dia diopname di Rumah Sakit Pusat Pertamina pada 18 Juli 1981, yang bertepatan dengan awal Ramadan.[57].

Pada hari keenam dirawat, dia sempat menunaikan salat Duha dengan bantuan putrinya, Azizah, untuk bertayamum. Siangnya, beberapa dokter masuk memeriksa kondisinya, dan akhir mengemukakan bahwa dia benar dalam benarnya koma. Kondisi tersebut tetap berlangsung sampai malam harinya. Tim dokter mengemukakan bahwa ginjal, paru-paru dan saraf sentralnya sudah tidak berfungsi kembali, dan kondisinya hanya dapat dipertahankan dengan alat pacu jantung. Pada pukul 10 pagi keesokan harinya, anak-anaknya sepakat untuk mencabut alat pacu jantung, dan Hamka menghembuskan napas kesudahannya sebentar sesudah itu.[58]

Hamka meninggal dunia pada hari Jum'at, 24 Juli 1981 pukul 10 lewat 37 menit dalam usia 73 tahun. Jenazahnya disemayamkan di rumahnya di Jalan Raden Fatah III. Antara pelayat yang mempunyai untuk memberi penghormatan belakang dihadiri Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Adam Malik, Menteri Negara Bagian yang terkait Hidup Emil Salim serta Menteri Perhubungan Azwar Anas yang menjadi imam salat jenazahnya.[59] Jenazahnya dibawa ke Masjid Luhur dan disalatkan kembali, dan akhir kesudahannya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan, dipandu Menteri Agama Alamsjah Ratoe Perwiranegara.[60]

Politik

Natsir, Hamka, dan Isa Anshary

Sejak baru saja muda, Hamka telah terlibat dalam aktivitas politik, yaitu ketika menjadi anggota Sarekat Islam pada tahun 1925 dan, sesudah kemerdekaan dia aktif dengan Partai Masyumi.[61] Pada pemilihan umum 1955, dia terpilih menjadi anggota Dewan Konstituante mewakili Jawa Tengah. Akan tetapi pengangkatan tersebut dihalau karena merasai rasa tempat tersebut tidak berdasarkan untuknya. Atas desakan kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur, kesudahannya Hamka memberi sambutan pengangkatan tersebut.

Di Konstituante, dia bersama Mohammad Natsir, Mohammad Roem, dan Isa Anshari menjadi pihak yang paling konsisten memperjuangkan syariat Islam menjadi landasan negara Indonesia. Dalam pidatonya, Hamka mengusulkan agar dalam sila pertama Pancasila dibawa turut balik sapaan hal "kewajiban mengerjakan syariat Islam untuk pemeluknya", sebagaimana yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Akan tetapi, pemikiran Hamka ditentang keras oleh beberapa luhur anggota Konstituante, yang umumnya berasal dari pihak komunis. Selanjutnya, dalam sidang Konstituante di Bandung pada tahun 1957, dia menyampaikan pidato penolakannya atas gagasan Presiden Soekarno yang akan menerapkan Demokrasi Terpimpin. Namun, segala usahanya itu kandas sesudah Soekarno mencerai-beraikan Dewan Konstituante menempuh Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 dan, perjalanan politik Hamka dapat diceritakan kesudahannya sesudah Masyumi ikut dihapuskan oleh Presiden Soekarno.

Sikapnya yang konsisten terhadap agama, menyebabkannya acapkali berhadapan dengan bermacam gendala, terutama terhadap beberapa kebijakan pemerintah. Keteguhan sikapnya ini membikinnya dipenjarakan oleh Soekarno dari tahun 1964 sampai 1966. Pada awal mulanya, Hamka diasingkan ke Sukabumi, akhir ke Puncak, Megamendung, dan belakang dirawat di rumah sakit Persahabatan Rawamangun, menjadi tawanan. Di dalam penjara dia mulai menulis Tafsir al-Azhar yang adalah karya ilmiah terbesarnya.[61]

Pada tahun 1977, Hamka ditunjuk menjadi ketua umum Majelis Ulama Indonesia yang pertama. Selama posisinya, Hamka mengeluarkan fatwa yang bersisi penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang akan memberlakukan RUU Perkawinan tahun 1973, dan mengecam kebijakan diperbolehkannya merayakan Natal bersama umat Nasrani. Meskipun pemerintah menghalaunya untuk menarik balik fatwanya tersebut dengan diiringi bermacam ancaman, Hamka tetap teguh dengan pendiriannya.[62] Akan tetapi, pada tanggal 24 Juli 1981, Hamka meresmikan untuk meloloskan posisinya menjadi ketua umum Majelis Ulama Indonesia, karena fatwanya yang tidak kunjung dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Sastra

Hamka juga adalah seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, dia menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, dia menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.[63]

Hamka yaitu seorang otodidak dalam bermacam bagian ilmu ilmu seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, dia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga luhur di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Menempuh bahasa Arab juga, dia meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti.

Hamka juga banyak membikin karya ilmiah Islam dan karya lain seperti novel dan cerpen. Pada tahun 1928, Hamka menulis buku romannya yang pertama dalam bahasa Minang dengan judul Si Sabariah. Kemudian, dia juga menulis buku-buku lain, baik yang mempunyai kentara roman, sejarah, biografi dan otobiografi, sosial kemasyarakatan, pemikiran dan proses mendidik, teologi, tasawuf, tafsir, dan fiqih. Karya ilmiah terbesarnya yaitu Tafsir al-Azhar. Di antara novel-novelnya seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli juga menjadi perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura. Beberapa penghargaan dan anugerah juga dia terima, baik peringkat nasional maupun internasional.[63]

Pada tahun 1959, Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, Kairo atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan bahasa Melayu. Akhir pada 6 Juni 1974, balik dia memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Nasional Malaysia pada bagian kesusasteraan, serta gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo.[63]

Daftar karya

  1. Kenang-Kenangan Hidup, 4 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
  2. Ayahku (Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangannya), Jakarta: Pustaka Wijaya, 1958.
  3. Khatib al-Ummah, 3 Jilid, Padang Panjang, 1925.
  4. Islam dan Aturan sejak dahulu kala, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.
  5. Kebutuhan Menjalankan Tabligh, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.
  6. Majalah Tentera, 4 nomor, Makassar, 1932.
  7. Majalah al-Mahdi, 9 nomor, Makassar, 1932.
  8. Bohong di Dunia, cet. 1, Medan: Cerdas, 1939.
  9. Agama dan Perempuan, Medan: Cerdas, 1939.
  10. Pedoman Mubaligh Islam, cet. 1, Medan: Bukhandel Islamiah, 1941.
  11. Majalah Semangat Islam, 1943.
  12. Majalah Menara, Padang Panjang, 1946.
  13. Hikmat Isra’ Mi’raj, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
  14. Negara Islam, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
  15. Islam dan Demokrasi, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
  16. Revolusi Fikiran, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
  17. Dibandingkan Ombak Masyarakat, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
  18. Muhammadiyah Menempuh Tiga Zaman, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1946.
  19. Revolusi Agama, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1946.
  20. Sesudah Naskah Renville, 1947 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
  21. Tinjauan Islam Ir. Soekarno, Tebing Tinggi, 1949.
  22. Pribadi, 1950 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
  23. Falsafah Hidup, cet. 3, Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1950.
  24. Falsafah Ideologi Islam, Jakarta: Pustaka Wijaya, 1950.
  25. Urat Tunggang Pancasila, Jakarta: Keluarga, 1951.
  26. Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1952.
  27. K.H. A. Dahlan, Jakarta: Sinar Pujangga, 1952.
  28. Pengembangan Tashawwuf dari 100 tahun ke 100 tahun, cet. 3, Jakarta: Pustaka Islam, 1957.
  29. Pribadi, Jakarta: Bulan Bintang, 1959.
  30. Pandangan Hidup Muslim, Jakarta: Bulan Bintang, 1962.
  31. Lembaga Hidup, cet. 6, Jakarta: Jayamurni, 1962 (kemudian dicetak ulang di Singapura oleh Pustaka Nasional dalam dua kali cetakan, pada tahun 1995 dan 1999).
  32. 1001 Tanya Jawab hal Islam, Jakarta: CV. Hikmat, 1962.
  33. Cemburu, Jakarta: Firma Tekad, 1962.
  34. Angkatan Baru, Jakarta: Hikmat, 1962.
  35. Ekspansi Ideologi, Jakarta: Bulan Bintang, 1963.
  36. Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia, Jakarta: Tintamas, 1965 (awalnya adalah naskah yang disampakannya pada orasi ilmiah sewaktu memberi sambutan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Mesir, pada 21 Januari 1958).
  37. Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Jakarta: Bulan Bintang, 1965.
  38. Lembaga Hikmat, cet. 4, Jakarta: Bulan Bintang, 1966.
  39. Dari Lembah Cita-Cita, cet. 4, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
  40. Hak-Hak Azasi Manusia Dipandang dari Bidang Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1968.
  41. Gerakan Pembaruan Agama (Islam) di Minangkabau, Padang: Minang Permai, 1969.
  42. Hubungan antara Agama dengan Negara menurut Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1970.
  43. Islam, Alim Ulama dan Pengembangan, Jakarta: Pusat dakwah Islam Indonesia, 1971.
  44. Islam dan Kebatinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1972.
  45. Mengembalikan Tasawuf ke Pangkalnya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973.
  46. Beberapa Tantangan terhadap Umat Islam di Masa Kini, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
  47. Posisi Perempuan dalam Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973.
  48. Muhammadiyah di Minangkabau, Jakarta: Nurul Islam, 1974.
  49. Tanya Jawab Islam, Jilid I dan II cet. 2, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
  50. Studi Islam, Aqidah, Syari’ah, Ibadah, Jakarta: Yayasan Nurul Iman, 1976.
  51. Pengembangan Kebatinan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1976.
  52. Tasawuf, Pengembangan dan Pemurniannya, cet. 8, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1980.
  53. Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
  54. Kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
  55. Lembaga Budi, cet. 7, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
  56. Tasawuf Modern, cet. 9, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
  57. Doktrin Islam yang Memunculkan Kemerdekaan dan Keberanian, Jakarta: Yayasan Idayu, 1983.
  58. Islam: Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
  59. Iman dan Amal Shaleh, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
  60. Renungan Tasawuf, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985.
  61. Filsafat Ketuhanan, cet. 2, Surabaya: Karunia, 1985.
  62. Keadilan Sosial dalam Islam, Jakarta: Pustaka Antara, 1985.
  63. Tafsir al-Azhar, Juz I sampai Juz XXX, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.
  64. Prinsip-prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.
  65. Tuntunan Puasa, Tarawih, dan Idul Fitri, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1995.
  66. Aturan sejak dahulu kala Minangkabau Menghadapi Revolusi, Jakarta: Tekad, 1963.
  67. Islam dan Aturan sejak dahulu kala Minangkabau, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
  68. Mengembara di Lembah Nil, Jakarta: NV. Gapura, 1951.
  69. Di Tepi Sungai Dajlah, Jakarta: Tintamas, 1953.
  70. Mandi Cahaya di Tanah Suci, Jakarta: Tintamas, 1953.
  71. Empat Bulan di Amerika, 2 Jilid, Jakarta: Tintamas, 1954.
  72. Merantau ke Deli, cet. 7, Jakarta: Bulan Bintang, 1977 (ditulis pada tahun 1939).
  73. Si Sabariah (roman dalam bahasa Minangkabau), Padang Panjang: 1926.
  74. Laila Majnun, Jakarta: Balai Pustaka, 1932.
  75. Salahnya Sendiri, Medan: Cerdas, 1939.
  76. Keadilan Ilahi, Medan: Cerdas, 1940.
  77. Angkatan Baru, Medan: Cerdas, 1949.
  78. Cahaya Baru, Jakarta: Pustaka Nasional, 1950.
  79. Menunggu Beduk Berbunyi, Jakarta: Firma Pustaka Antara, 1950.
  80. Terusir, Jakarta: Firma Pustaka Antara, 1950.
  81. Di Dalam Lembah Kehidupan (kumpulan cerpen), Jakarta: Balai Pustaka, 1958.
  82. Di Bawah Lindungan Ka'bah, cet. 7, Jakarta: Balai Pustaka, 1957.
  83. Tuan Direktur, Jakarta: Jayamurni, 1961.
  84. Dijemput Mamaknya, cet. 3, Jakarta: Mega Bookstrore, 1962.
  85. Cermin Kehidupan, Jakarta: Mega Bookstrore, 1962.
  86. Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, cet. 13, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
  87. Pembela Islam (Tarikh Sayyidina Abubakar Shiddiq), Medan: Pustaka Nasional, 1929.
  88. Ringkasan Tarikh Ummat Islam, Medan: Pustaka Nasional,1929.
  89. Sejarah Islam di Sumatera, Medan: Pustaka Nasional, 1950.
  90. Dari Perbendaharaan Lama, Medan: M. Arbi, 1963.
  91. Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, cet. 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
  92. Sejarah Umat Islam, 4 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
  93. Sullam al-Wushul; Pengantar Ushul Fiqih (terjemahan karya Dr. H. Abdul Karim Amrullah), Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
  94. Margaretta Gauthier (terjemahan karya Alexandre Dumas), cet. 7, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Rujukan

Catatan kaki
  1. ^ Tamara, dkk 1983, hlm. 78.
  2. ^ a b c Shobahussurur 2008, hlm. 17.
  3. ^ Rahzen 2007, hlm. 246.
  4. ^ Yusuf 2003, hlm. 40.
  5. ^ a b Safrudin 2008, hlm. 198.
  6. ^ Reid dan Marr 1983, hlm. 40.
  7. ^ Yusuf 2003, hlm. 41.
  8. ^ Kenang-kenangan 70 tahun.... 1983, hlm. 260.
  9. ^ Kenang-kenangan 70 tahun.... 1966, hlm. 26.
  10. ^ Yani 2010.
  11. ^ a b Azra 2002, hlm. 267.
  12. ^ Abidin 2005, hlm. 170.
  13. ^ a b Tamara, dkk 1983, hlm. 368.
  14. ^ Roesmar 2002, hlm. 27.
  15. ^ Tamara, dkk 1983, hlm. 238.
  16. ^ Hamka 1982, hlm. 149.
  17. ^ Hakim 2005, hlm. 26.
  18. ^ Yusuf 2003, hlm. 43.
  19. ^ Shobahussurur 2008, hlm. 20.
  20. ^ Al-Kumayi 2004, hlm. 24.
  21. ^ Kenang-kenangan 70 tahun.... 1983, hlm. 470.
  22. ^ a b Kenang-kenangan 70 tahun.... 1983, hlm. 529.
  23. ^ a b Tamara, dkk 1983, hlm. 198.
  24. ^ Abidin 2005, hlm. 231.
  25. ^ Kenang-kenangan 70 tahun.... 1983, hlm. 471.
  26. ^ a b Yusuf 2003, hlm. 46–47.
  27. ^ Tamara, dkk 1983, hlm. 329.
  28. ^ Kenang-kenangan 70 tahun.... 1983, hlm. 98.
  29. ^ Hakim 2005, hlm. 31.
  30. ^ Mohammad 2006, hlm. 61.
  31. ^ Rosidi 2008, hlm. 346.
  32. ^ Al-Kumayi 2004, hlm. 25.
  33. ^ Shobahussurur 2008, hlm. 21.
  34. ^ Aiyub 2000, hlm. 142.
  35. ^ a b Safrudin 2008, hlm. 201.
  36. ^ Hamka 1986, hlm. 318.
  37. ^ Yusuf 2003, hlm. 45.
  38. ^ Zakariya 2006.
  39. ^ a b Safrudin 2008, hlm. 202.
  40. ^ Teeuw 1980, hlm. 104.
  41. ^ Teeuw 1980, hlm. 105.
  42. ^ Mahayana 2007, hlm. 168.
  43. ^ Hamka 1975, hlm. 28.
  44. ^ Mohammad 2006, hlm. 62.
  45. ^ Leirissa 1994, hlm. 89.
  46. ^ Hamka 1983, hlm. 73.
  47. ^ Abidin 2005, hlm. 171.
  48. ^ a b Yusuf 2003, hlm. 48.
  49. ^ Kenang-kenangan 70 tahun.... 1983, hlm. 472.
  50. ^ Tamara, dkk 1983, hlm. 384.
  51. ^ Hakim 2005, hlm. 27.
  52. ^ Toer, dkk 1999, hlm. 246.
  53. ^ Kenang-kenangan 70 tahun.... 1983, hlm. 20.
  54. ^ Muhammadiyah 2005, hlm. 144.
  55. ^ Shobahussurur 2008, hlm. 24.
  56. ^ Al-Kumayi 2004, hlm. 30.
  57. ^ Irfan 2013, hlm. 274.
  58. ^ Irfan 2013, hlm. 279.
  59. ^ Irfan 2013, hlm. 280.
  60. ^ Irfan 2013, hlm. 282.
  61. ^ a b Republika 2011.
  62. ^ Hashim, Rosnani (2010). Reclaiming the Conversation: Islamic Intellectual Tradition in the Malay Archipelago. The Other Press. ISBN 9839541749.
  63. ^ a b c Irfan 2013, hlm. 290.
Daftar pustaka
  • Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam (2002). "Ensiklopedia Islam, Jilid 4". Departemen Agama (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve). ISBN 979-8276-65-5.
  • Shobahussurur (2008). Mengenang 100 tahun Haji Abdul Malik Karim Amrullah Hamka. Jakarta: Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar. ISBN 979-177-850-7.
  • Herry, Mohammad (2006). Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh 100 tahun 20. Gema Insani. ISBN 979-560-219-5.
  • Hashim, Rosnani (2010). Reclaiming the Conversation: Islamic Intellectual Tradition in the Malay Archipelago. The Other Press. ISBN 983-954-174-9.
  • "Cukup Allah menjadi Pelindung: Kisah Hamka di Penjara Sukabumi". Republika. 26 November 2011. Diakses 20 Desember 2011.
  • Daneel, Inus; Charles Van Engen, Hendrik Vroom (2005). Fullness of Life for All—Challenges for Mission in Early 21st Century. Rodopi. ISBN 904-201-971-9.
  • Rodgers, Susan (1995). Telling Lives, Telling History: Autobiography and Historical Imagination in Modern Indonesia. University of California Press. ISBN 052-008-547-7.
  • Zakariya, H. (2006). Islamic Reform in Colonial Malaya: Shaykh Tahir Jalaluddin and Sayyid Shaykh Al-Hadi. ProQuest. ISBN 054-286-357-X.
  • Abdurrahman, M. (2009). Bersujud di Baitullah. Penerbit Buku Kompas. ISBN 979-709-437-5.
  • Riddell, P. G. Islam and the Malay-Indonesian World: Transmission and Responses. C. Hurst & Co. Publishers. ISBN 185-065-336-4.
  • Hamka, Afif (2008). Buya Hamka. Uhamka Press. ISBN 602-804-007-X.
  • Pandoe, M.D.; Pour, Julius (2010). Jernih Melihat Cermat Mencatat: Antologi Karya Jurnalistik Wartawan Senior Kompas. Penerbit Buku Kompas. ISBN 979-709-487-1.
  • Panitia Peringatan Buku 70 Tahun Buya Prof. Dr. Hamka (1983). Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka. Pustaka Panjimas.
  • Hamka (1966). Kenang-kenangan Hidup. Kuala Lumpur: Pustaka Antara.
  • Hamka, Rusydi (1983). Pribadi dan Martabat Buya Prof. Hamka. Jakarta: Pustaka Panjimas.
  • Tamara, Natsir (1996). Hamka di Mata Hati Umat. Jakarta: Sinar Harapan.
  • Noer, Deliar (1996). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
  • Noer, Deliar (2001). Membincangkan Tokoh-tokoh Bangsa. Bandung: Mizan.
  • Mahayana, Maman S; Oyon Sofyan dan Achmad Dian (1995). Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern. Jakarta: Grasindo. ISBN 978-979-553-123-4.
  • Siregar, Bakri (1964). Sedjarah Sastera Indonesia 1. Jakarta: Akademi Sastera dan Bahasa "Multatuli". OCLC 63841626.
  • Teeuw, A (1980). Sastra Baru Indonesia 1. Ende: Nusa Indah. OCLC 222168801.
  • Rahzen, Taufik (2007). Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia. Blora Institute. ISBN 979-150-938-7.
  • Safrudin, Irfan (2008). Ulama-ulama Perintis: Biografi Pemikiran dan Keteladanan. Bandung: Majelis Ulama Indonesia.
  • Reid; Marr, David G. (1983). Dari Raja Ali Haji sampai Hamka. Grafiti Pres.
  • Yusuf, M. Yunan (2003). Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar. Penamadani. ISBN 979-976-700-8.
  • Azra, Azyumardi (2002). Historiografi Islam Kontemporer. Gramedia Pustaka Utama.
  • Abidin, Masoed. Ensiklopedi Minangkabau. Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau. ISBN 979-379-723-1.
  • Hakim, Ahmad; Thalhah, M. (2005). Politik Bermoral Agama. UII Press. ISBN 979-333-306-5.
  • Rosidi, Ajip (2008). Yang Masuk Telanjang: Surat-surat Ajip Rosidi dari Jepang, 1980–2002. Kepustakaan Tersohor Gramedia. ISBN 979-910-095-X.
  • Al-Kumayi, Sulaiman (2004). Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym. Pustaka Nuun. ISBN 979-983-531-3.
  • "Palagan Hamka dan Lentera "Pram"". Kompas. Jakarta. 2012-03-20. Diakses 12 Juni 2012.
  • "Hamka Menggebrak Tradisi". Tempo. Jakarta. 2008-05-19. Diarsipkan dari aslinya tanggal 4 Juni 2012. Diakses 4 Juni 2012.
  • Hamka, Irfan (2013). Ayah.... Kisah Buya Hamka. Penerbit Republika. ISBN 978-602-8997-71-3.

Pranala luar

Didahului oleh:
Tidak benar
Ketua MUI
19771981
Diteruskan oleh:
Syukri Ghozali
Di bawah ini yaitu daftar komplet dan resmi 163 tokoh yang telah diputuskan menjadi Pahlawan Nasional Indonesia.
Politik
Abdul Halim · Achmad Soebardjo · Adam Malik · Adenan Kapau Gani · Alimin · Andi Sultan Daeng Radja · Arie Frederik Lasut · Djoeanda Kartawidjaja · Ernest Douwes Dekker · Fatmawati · Ferdinand Lumbantobing · Frans Kaisiepo · Gatot Mangkoepradja · Hamengkubuwana IX · Herman Johannes · Idham Chalid · Ida Anak Luhur Gde Luhur · Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono · I Gusti Ketut Pudja · Iwa Koesoemasoemantri · Izaak Huru Doko · J. Leimena · Johannes Abraham Dimara · Kusumah Atmaja · L. N. Palar · Mangkunegara I · Maskoen Soemadiredja · Mohammad Hatta · Mohammad Husni Thamrin · Moewardi · Teuku Nyak Arif · Nani Wartabone · Oto Iskandar di Nata · Radjiman Wedyodiningrat · Rasuna Said · Saharjo · Samanhudi · Soekarni · Soekarno · Sukarjo Wiryopranoto · Soepomo · Soeroso · Soerjopranoto · Sutan Syahrir · Syafruddin Prawiranegara · Tan Malaka · Tjipto Mangoenkoesoemo · Oemar Said Tjokroaminoto · Wahid Hasjim · Zainul Arifin
Militer
Kemerdekaan
Revolusi
Kebangkitan
Sastra
Seni
Proses mendidik
Integrasi
Pers
Pengembangan
Agama
Perjuangan


Sumber :
wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, ilmu-pendidikan.com, pasar.nomor.net, dan sebagainya.