Emha Ainun Nadjib

Emha Ainun Nadjib

Muhammad Ainun Nadjib atau biasa dikenal Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun (lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953) adalah seorang tokoh intelektual yang mengusung napas Islami di Indonesia. Ia adalah anak keempat dari 15 bersaudara. Pendidikan formalnya hanya dihabisi di semester 1 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM). Ketika belumnya beliau benar kesempatan bagi ‘diusir’ dari Pondok Modern Darussalam Gontor sebab melakukan ‘demo’ memerangi pimpinan pondok sebab sistem pondok yang tidak begitu tidak sewenang-wenang pada pertengahan tahun ketiga studinya, akhir pindah ke Yogyakarta dan tamat SMA Muhammadiyah I. Istrinya yang sekarang, Novia Kolopaking, dikenal sebagai seniman film, panggung, serta penyanyi.

Lima tahun ia hidup menggelandang di Malioboro, Yogyakarta selang 1970-1975, berusaha bisa sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat memengaruhi kelakuan Emha.

Lain daripada itu ia juga benar kesempatan bagi memasuki lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).

Dalam kesehariannya, Emha terjun langsung di penduduk dan melakukan aktivitas-aktivitas yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik, sinergi ekonomi guna menumbuhkan potensialitas rakyat. Di samping keaktifan rutin bulanan dengan komunitas Penduduk Padhang Bulan, ia juga berkeliling ke bermacam wilayah nusantara, rata-rata 10-15 kali per bulan bersama Gamelan Kiai Kanjeng, dan rata-rata 40-50 perkara massal yang umumnya dilanjutkan di area luar gedung. Lain daripada itu ia juga menyelenggarakan acara-acara bersama Jamaah Maiyah Kenduri Cinta sejak tahun 1990-an yang dilanjutkan di Taman Ismail Marzuki. Kenduri Cinta adalah salah satu forum silaturahmi cara melakukan sesuatu budi dan kemanusiaan yang dikemas sangat membuka, nonpartisan, ringan dan dibalut dalam gelar kesenian lintas gender, yang diadakan di Jakarta setiap satu bulan sekali dan sudah berlanjut lebih dari 10 tahun.

Ia juga mempunyai aktivitas yang dipekerjakan rutin bulanan seperti Mocopat Syafaat Yogyakarta, Padhangmbulan Jombang, Gambang Syafaat Semarang, Bangbang Wetan Surabaya, Paparandang Ate Mandar, Maiyah Baradah Sidoarjo, dan masih benar sebagian lain yang bersifat tentatif namun acap seperti di Bandung, Obro Ilahi Malang, Hongkong dan Bali.

Dalam pertemuan-pertemuan sosial itu ia melakukan bermacam dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan prosedur berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah penduduk.

Teater

Memacu kehidupan multi-kesenian Yogya bersama Halim HD, jaringan kesenian menjalani Sanggar Bambu, aktif di Teater Dinasti dan berproduksi repertoar serta pementasan drama. Sebagian karyanya:

  • Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan 'Raja' Soeharto),
  • Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan),
  • Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh bermacam institusi modern),
  • Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).
  • Akhir bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri dibuat main, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun),
  • Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar),
  • Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993).
  • Juga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan menjalani situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, serta Duta Dari Masa Depan.
  • Dan yang terbaru adalah pementasan teater Tikungan Iblis yang diadakan di Yogyakarta dan Jakarta bersama Teater Dinasti
  • Teater Nabi Darurat Rasul AdHoc bersama Teater Perdikan dan Letto yang menggambarkan betapa rusaknya manusia Indonesia sehingga hanya manusia sekelas Nabi yang dapat membenahinya (2012)

Film

  • RAYYA, Cahaya di Atas Cahaya (2011), skenario film ditulis bersama Viva Westi

Puisi/Buku

Menerbitkan buku puisi:

  • “M” Frustasi (1976),
  • Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978),
  • Sajak-Sajak Cinta (1978),
  • Nyanyian Gelandangan (1982),
  • 102 Bagi Tuhanku (1983),
  • Suluk Pesisiran (1989),
  • Lautan Jilbab (1989),
  • Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990),
  • Cahaya Maha Cahaya (1991),
  • Sesobek Buku Harian Indonesia (1993),
  • Abacadabra (1994),
  • Syair-syair Asmaul Husna (1994)

Essai/Buku

Buku-buku esainya tak tidak begitu dari 30 selang lain:

  • Dari Pojok Sejarah (1985),
  • Sastra yang Membebaskan (1985)
  • Secangkir Kopi Jon Pakir (1990),
  • Markesot Bertutur (1993),
  • Markesot Bertutur Lagi (1994),
  • Opini Plesetan (1996),
  • Gerakan Punakawan (1994),
  • Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996),
  • Indonesia Anggota Penting dari Desa Aku (1994),
  • Slilit Sang Kiai (1991),
  • Sudrun Gugat (1994),
  • Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995),
  • Bola- Bola Kultural (1996),
  • Cara melakukan sesuatu budi Tanding (1995),
  • Titik Nadir Demokrasi (1995),
  • Tuhanpun Berpuasa (1996),
  • Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997),
  • Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997),
  • Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997),
  • 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998),
  • Mati Ketawa Prosedur Refotnasi (1998),
  • Kiai Kocar Kacir (1998),
  • Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (Penerbit Zaituna, 1998),
  • Keranjang Sampah (1998) Ikrar Husnul Khatimah (1999),
  • Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000),
  • Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000),
  • Menelusuri Titik Keimanan (2001),
  • Hikmah Puasa 1 & 2 (2001),
  • Segitiga Cinta (2001),
  • Kitab Ketentraman (2001),
  • Trilogi Himpunan Puisi (2001),
  • Tahajjud Cinta (2003),
  • Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun (2003),
  • Folklore Madura (Agustus 2005, Yogyakarta: Penerbit Progress),
  • Puasa Itu Puasa (Agustus 2005, Yogyakarta: Penerbit Progress),
  • Syair-Syair Asmaul Husna (Agustus 2005, Yogyakarta; Penerbit Progress)
  • Kafir Liberal (Cet. II, April 2006, Yogyakarta: Penerbit Progress),
  • Kerajaan Indonesia (Agustus 2006, Yogyakarta; Penerbit Progress),
  • Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006; Penerbit Kompas),
  • Istriku Seribu (Desember 2006, Yogyakarta; Penerbit Progress),
  • Orang Maiyah (Januari 2007, Yogyakarta; Penerbit Progress,),
  • Tidak. Jibril Tidak Pensiun (Juli 2007, Yogyakarta: Penerbit Progress),
  • Kagum Pada Orang Indonesia (Januari 2008, Yogyakarta; Penerbit Progress),
  • Dari Pojok Sejarah; Renungan Kelakuan Emha Ainun Nadjib (Mei 2008, Yogyakarta: Penerbit Progress)
  • DEMOKRASI La Raiba Fih(cet ketiga, Mei 2010, Jakarta: Kompas)

Penghargaan

Bulan Maret 2011, Emha memperoleh Penghargaan Satyalancana Kebudayaan 2010 dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.[1] Menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, penghargaan diberikan berdasarkan pertimbangan bahwa si penerima memiliki jasa akbar di segi kebudayaan yang telah mampu melestarikan kebudayaan kawasan atau nasional serta hasil karyanya berguna dan berjasa bagi penduduk, bangsa, dan negara. [2]

Pranala luar

Referensi



Asal :
pasar.kurikulum.org, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, buku.us, dsb.