Skisma Timur–Barat

Anggota dari seri tentang
Kekristenan
Jesus depicted as the Good Shepherd
Portal Kristen
Konsili Ekumenis kedua yang berproduksi Kredo Nicea menempati jantung permasalahan teologis terkenal yang melatarbelakangi Skisma Timur-Barat. (Ilustrasi, 879-882 Masehi, dari manuskrip, Homili-Homili Gregorius Nazianzus, Bibliothèque nationale de France)

Skisma Timur-Barat, atau Skisma Besar, mencabik Kekristenan Khalsedonia dibuat menjadi anggota Barat (Latin) dan anggota Timur (Yunani), yakni Katolisisme Barat dan Orthodoksi Timur. Meskipun pada umumnya disebutkan terjadi pada tahun 1054, Skisma Timur-Barat sebenarnya adalah akhir suatu peristiwa dari keterasingan selang dunia Kristen Latin dan Yunani yang berlanjut lama. Sebab-musabab skisma ini adalah permasalahan otritas pausPaus Leo IX mengklaim bahwa beliau memegang otoritas atas empat patriark Timur—serta permasalahan klausa filioque yang disisipkan ke dalam Kredo Nicea oleh Gereja Barat. Umat Ortodoks Timur sekarang ini mengklaim bahwa primasi Patriark Roma bersifat kehormatan belaka, dan bahwa beliau memiliki otoritas hanya atas keuskupannya serta tidak memiliki otoritas untuk mengubah keputusan-keputusan konsili-konsili ekumenis. Ada pula sebagian katalis lainnya yang tidak begitu penting dari skisma tersebut, termasuk perbedaan dalam praktik-praktik liturgis dan klaim-klaim yurisdiksi yang tumpang-tindih.

Gereja terpecah dalam tentang doktrin, teologi, linguistik, politik, serta geografi, dan perpecahan fundamental tersebut belumlah membaik. Dapat disebutkan bahwa kedua Gereja telah dipersatukan lagi pada tahun 1274 (oleh Konsili Lyons II) dan pada tahun 1439 (oleh Konsili Basel), namun dalam tiap kasus konsili-konsili tersebut dijadikan mentah lagi oleh pihak Ortodoks secara keseluruhan, dengan alasan bahwa para hierark telah melampaui otoritas mereka dengan memberi akap setuju untuk bersatu lagi. Upaya-upaya seterusnya untuk mempersatukan lagi kedua belah pihak telah gagal.

Asal-mula

Sedari permulaan, Gereja mengakui jabatan istimewa dari tiga orang uskup, yang dikenal sebagai patriark: Uskup Roma, Uskup Aleksandria, dan Uskup Antiokhia. Kemudian masuk bergabung Uskup Konstantinopel dan Uskup Yerusalem, keduanya dikonfirmasi sebagai patriarkat oleh Konsili Khalsedon tahun 451 (lihat Pentarki). Para patriark itu memiliki keutamaan di atas rekan-rekan uskup mereka dalam Gereja. Tatkala Tahta Keuskupan Konstantinopel berargumen bahwa beliau mesti ada pada peringkat kedua sebab beliau adalah, "Roma Baru," Patriark Roma dengan gigih mempermasalahkan poin tersebut, dengan berargumen bahwa alasan dari Primasi Roma sejak semula adalah sebab beliau adalah tempat jabatan Penerus St. Petrus, orang nomor satu di selang para rasul.

Pemisah-misahan dalam Kekaisaran Romawi pada gilirannya masuk mempunyai peran pada pemisah-misahan dalam Gereja. Theodosius Agung, yang mangkat tahun 395, adalah kaisar paling belakang yang memerintah atas Kekaisaran Romawi bersatu; setelah mangkatnya, kawasan kekuasaannya dibagi dibuat menjadi wilayah Barat dan wilayah Timur, masing-masing diperintah kaisarnya sendiri. Menjelang belakang masa seratus tahun ke-5, Kekaisaran Romawi Barat jatuh dalam taklukan suku-suku Jerman, sementara itu Kekaisaran Romawi Timur (dikenal pula sebagai Kekaisaran Byzantium) tetap bertahan. Dengan demikian, kesatuan politik Kekaisaran Romawilah yang pertama-tama runtuh.

Banyak faktor lain yang menyebabkan Timur dan Barat makin bergantian menjauh. Bahasa dominan di Barat adalah Bahasa Latin, sedangkan di Timur adalah Bahasa Yunani. Segera sesudah runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat, jumlah individu yang menguasai tidak sewenang-wenang bahasa Latin maupun Yunani mulai berkurang, dan komunikasi selang Timur dan Barat dibuat menjadi makin sulit. Dengan lenyapnya kesatuan linguistik, kesatuan budaya pun ikut goyah. Dua anggota Gereja secara alami terbelah memasuki alur-alur serupa; masing-masing memperkembangkan ritus yang tidak sama dan memiliki pendekatan yang tidak sama terhadap doktrin-doktrin keagamaan. Meskipun skisma besar terjadi berabad-abad kemudian, garis-garis pemisahnya sudah tertoreh.

Skisma Besar

Banyak perbedaan argumen yang dicari-cari untuk mengipas-ngipasi pertikaian tersebut. Gereja Timur menggunakan bahasa Yunani - Septuaginta, Barat menggunakan bahasa Latin - Vulgata. Bentuk kebaktian berbeda: roti perjamuan yang dipakai untuk perjamuan, tanggal mulai masa puasa, dan prosedur merayakan misa. Di Timur, para rohaniwan boleh menikah dan mereka memelihara janggut. Para imam di Barat dilarang menikah dan mukanya dicukur bersih.

Teologinya pun tidak sama. Timur merasa tidak begitu enak dengan nasihat api penyucian. Barat menggunakan istilah Latin filioque, "dan dari Putra", dalam Pengakuan Iman Nicea, setelah anak kalimat tentang Roh Kudus yang berbunyi bahwa Roh "datangnya dari Bapa". Bagi Timur, penambahan tersebut adalah nasihat sesat.

Katalis

Ada banyak katalis yang memunculkan ketegangan selang kedua belah pihak.

  • Leo III orang Isauria melarang penghormatan ikon-ikon pada masa seratus tahun ke-8. Kebijakan yang disebut Ikonoklasme ini, dibuat menjadi masalah yang memunculkan pro dan kontra dalam Kekaisaran Byzantium dan ditentang oleh para paus.
  • Penyisipan Klausa Filioque ke dalam Kredo Nicea.
  • Permasalahan apakah negeri-negeri Balkan, Italia Selatan, dan Sisilia termasuk dalam yurisdiksi Gereja Barat ataukah Gereja Timur.
  • Penyebutan Patriark Konstantinopel sebagai patriark ekumenis, yang difahami Roma sebagai patriark universal dan oleh sebabnya dipermasalahkan.
  • Permasalahan mengenai apakah Patriark Roma, Sri Paus, wajib dipandang sebagai otoritas yang lebih tinggi dari pada patriark-patriark yang lain.
  • Konsep Kaisaropapisme, penyatuan otoritas keagamaan dan politik tertinggi, yang lebih kuat di Konstantinopel, tempat jabatan kaisar, dari pada di Roma yang jauh secara geografis dan hingga taraf tertentu menghindar untuk tunduk pada kekuasaan kaisar.
  • Setelah bangkitnya Islam, melemahnya pengaruh para patriark Antiokhia, Yerusalem, dan Aleksandria, mengakibatkan politik internal Gereja semakin dipandang sebagai Roma versus Konstantinopel.
  • Praktek-praktik liturgis tertentu di Barat yang diyakini Timur merepresentasikan inovasi: penggunaan roti tidak beragi untuk Ekaristi, contohnya.
  • Keharusan Selibat bagi imam-imam Barat (baik imam biarawan maupun imam paroki), yang bertolak belakang dengan disiplin Timur di mana jabatan imam-imam paroki boleh diemban oleh kaum pria yang sudah menikah yang pernikahannya berlanjut pada kala mereka belum ditahbiskan, adalah ketika belum mereka ditahbiskan dibuat menjadi diakon.

Skisma-skisma permulaan

Permasalahan menyangkut soal-soal teologis dan soal-soal lainnya mengakibatkan skisma-skisma selang Gereja di Roma dan Gereja di Konstantinopel selama 37 tahun, dari tahun 482 hingga tahun 519 (Skisma Akasian), dan selama 13 tahun, dari tahun 866 hingga tahun 879 (lihat Patriark Photios I dari Konstantinopel).

Ekskomunikasi dan perpecahan belakang

Penyebab-penyebab langsung dari Skisma Besar tidaklah sehebat filioque yang terkenal itu. Hubungan selang kepausan dan pemerintah Byzantium terjalin tidak sewenang-wenang pada tahun-tahun ketika belum 1054. Kaisar Konstantinus IX dan Paus Leo IX menjalin persekutuan melintas mediasi Argyrus, Katepan Italia berkebangsaan Lombardia, yang sempat tinggal bertahun-tahun di Konstantinopel, permulaannya sebagai tawanan politik. Leo dan Argyrus memimpin pasukan memerangi gerombolan bangsa Normandia, namun bala tentara kepausan dikalahkan dalam Pertempuran Civitate pada tahun 1053, yang mengakibatkan paus ditawan di Benevento, di mana beliau memanfaatkan waktu dengan mempelajari Bahasa Yunani. Argyrus tidak datang ke Civitate dan ketidakhadirannya menciptakan jurang dalam hubungan selang kepausan dan kekaisaran persis di kala patriark siap-siap membuka Kotak Pandora.

Sementara itu, Bangsa Normandia sibuk menggubah adat-kebiasaan Latin, termasuk roti tidak beragi—dengan persetujuan paus. Tentang ini menjengkelkan Patriark Kerularius, yang memerintahkan gereja-gereja Latin di Konstantinopel untuk mengadopsi tata-cara Timur dan ketika mereka mengusir, beliau menutup gereja-gereja itu (meskipun potongan informasi ini dipertanyakan oleh banyak sejarawan sekarang ini; terlihatnya sebagian gereja Latin tetap dibentangkan bahkan hingga bertahun-tahun kemudian). Beliau kemudian memerintahkan Leo, Uskup Agung Ochrid, kepala Gereja Bulgaria, untuk menulis sepucuk surat kepada Uskup Trani, Yohanes, seorang Timur, dalam mana beliau menyerang praktik-praktik "ke-Yahudi-Yahudian" orang-orang Barat. Surat itu dikirim Yohanes kepada seluruh uskup di Barat, termasuk paus. Sepucuk surat itu jatuh ke tangan Humbertus dari Mourmoutiers, Kardinal-Uskup Silva Candida, yang pada kala itu ada di keuskupan Yohanes. Humbertus menerjemahkan surat itu ke dalam Bahasa Latin dan menyampaikannya kepada paus, yang memerintahkan untuk menulis balasannya yang berisi jawaban untuk masing-masing tuduhan beserta pembelaan atas supremasi kepausan.

Sekalipun adalah seorang yang lekas meningkat darah, Kerularius berhasil diyakinkan, mungkin oleh kaisar dan Uskup Trani, untuk menghindari perdebatan dan mencegah perpecahan. Akan tetapi Humbertus dan paus tidak mendiamkannya, Humbertus diutus dengan kuasa sebagai legatus ke ibukota kekaisaran guna menghabisi permasalahan sekali dan untuk selamanya. Humbertus, Fredericus dari Lorraine, dan Petrus, uskup agung Amalfi beranjak di permulaan musim semi dan tiba pada bulan April 1054. Namun penyambutan yang mereka terima tidaklah seperti yang mereka harapkan, sehingga mereka dengan segera pergi dari istana, pergi dari surat jawaban dari paus pada Kerularius, yang justru lebih geram dari pada mereka. Meterai-meterai pada surat itu telah dirusak dan para legatus tersebut telah mempromosikan, dalam Bahasa Yunani, draft permulaan surat tersebut yang tidak sesopan suratnya, untuk dibaca seluruh penduduk. Patriark menganggap para legatus itu lebih buruk dari pada sekedar orang-orang Barat liar biasa, mereka adalah pembohong dan penipu. Beliau mengusir mengakui otoritas mereka atau, secara praktis, keberadaan mereka.[1]

Ketika Paus Leo mangkat pada 19 April 1054, otoritas para legatus tersebut secara hukum berakhir, namun terlihatnya tentang tersebut tidak mereka sadari. Penolakan patriark untuk segera membicarakan isu-isu tersebut mendesak misi perutusan itu mengambil gerakan ekstrem: pada 16 Juli, ketiga legatus memasuki gedung gereja Hagia Sophia sewaktu liturgi suci pada hari Sabtu sore dan menempatkan selembar Bulla kepausan berisi pernyataan ekskomunikasi (1054) di atas altar. Para legatus beranjak ke Roma dua hari sesudahnya, pergi dari kota yang terancam pecahnya huru-hara itu. Patriark didukung sepenuhnya oleh penduduk memerangi kaisar, yang telah mendukung para legatus, serta Argyrus, yang tetap dipandang sebagai seorang sekutu paus. Untuk meredakan kemarahan massa, keluarga Argyrus di Konstantinopel ditahan, bulla dibakar, dan para legatus dianathema—terjadilah Skisma Besar.

Uskup Ortodoks Kallistos Ware (sebelumnya bernama Timothy Ware) menulis, "dipilihnya Kardinal Humbertus sebagai legatus adalah gerakan yang tidak begitu menguntungkan, sebab tidak sewenang-wenang beliau maupun Kerularius adalah orang-orang yang kaku dan berpendirian teguh. . . . Seusai perjumpaan pertama yang tak berteman itu, patriark mengusir melanjutkan pembicaraan dengan para legatus. Humbertus serta-merta kehilangan kesabarannya dan menempatkan selembar bulla berisi pernyataan ekskomunikasi atas Kerularius pada altar gereja Hikmat Kudus. . . . Kerularius beserta sinodenya membalas dengan menganathema Humbertus (bukan Gereja Romawi)" (The Orthodox Church, 67).

Dalam New Catholic Encyclopedia disebutkan, "Skisma tersebut umumnya dianggap terjadi pada tahun 1054, yakni tahun terjadinya rentetan peristiwa yang tidak begitu menguntungkan tersebut. Namun penyimpulan tersebut tidaklah tepat, sebab yang tertera dalam bulla rencana Humbertus, hanyalah ekskomunikasi atas Patriark Kerularius. Validitas bulla itu tidak sewenang-wenang dipertanyakan sebab Paus Leo IX telah mangkat kala itu. Di lain pihak, sinode Byzantium hanya mengekskomunikasikan para legatus dan sama sekali tidak menyerang Sri Paus ataupun Gereja Latin."

Upaya-upaya permulaan untuk rekonsiliasi

"Bahkan sesudah tahun 1054, hubungan tidak sewenang-wenang selang Timur dan Barat terus berlanjut. Kedua belah kubu dunia Kristiani itu belumlah menyadari jurang lebar perpisahan yang terbentang di selang mereka. . . . Permasalahan yang terjadi masihlah sesuatu yang sangat tidak disadari oleh umat Kristiani awam di Timur dan Barat" (Ware, 67).

Tak ada satu peristiwa tunggal yang menandai perpecahan itu. Justru kedua Gereja terjerumus dan keluar dari skisma selama satu periode waktu dalam sebagian masa seratus tahun, ditandai dengan rekonsiliasi sementara. Akan tetapi dalam Pertempuran Salib IV para serdadu Latin, dalam pergerakan mereka ke Timur, menjarah Konstantinopel dan mencemari Hagia Sophia. Periode kelam penguasaan atas Kekaisaran Byzantium yang berakhir dijarah itu masih dikenang umat Kristiani Timur sebagai Fragkokratia. Setelah itu, perpecahan dibuat menjadi permanen. Upaya-upaya rekonsiliasi yang kelak dilanjutkan, seperti Konsili Lyon II, hanya sedikit saja atau tidak menemui hasil.

Rekonsiliasi

Pada masa seratus tahun ke-12, Gereja Maronit di Libanon dan Syria berrekonsiliasi dengan Gereja Roma, dengan tetap mempertahankan sebagian besar liturgi Syrianya. Selang waktu itu dan masa seratus tahun ke-20, sebagian gereja Ortodoks Timur dan Oriental menjalin komuni penuh dengan Gereja Katolik Romawi, sehingga terbentuklah Gereja-Gereja Katolik Timur yang ada dalam persekutuan penuh dengan Tahta Suci, namun secara tidak sama dengannya secara liturgis dan hierarkis.

Deklarasi bersama Katolik-Ortodoks tahun 1965 diumumkan pada 7 Desember 1965, secara bersamaan dalam sebuah perjumpaan umum dari Konsili Vatikan II di Roma dan dalam sebuah upacara khusus di Konstantinopel. Deklarasi ini menarik lagi ekskomunikasi satu sama lain selang para pejabat tinggi gerejawi di Keuskupan Roma dan Patriarkat Ekumenis Konstantinopel tahun 1054. Deklarasi ini tidak menghabisi Skisma Timur-Barat namun memperlihatkan keadaan niat mencapai rekonsiliasi yang lebih besar lagi selang kedua Gereja, yang masing-masing diwakili oleh Paus Paulus VI dan Patriark Ekumenis Athenagoras I.

7 Mei-9 Mei 1999: atas undangan Teoctist, Patriark Gereja Ortodoks Romania, Paus Yohanes Paulus II mengunjungi Romania. Peristiwa ini adalah kunjungan pertama yang dilanjutkan seorang paus ke sebuah negara Ortodoks Timur sejak Skisma Besar.[2] Seusai misa yang digelar di Izvor Park, Bucharest, kerumunan massa (baik Katolik Romawi maupun Ortodoks Timur) menyanyikan "Persatuan!" Meskipun kenyataannya Paus Yohanes Paulus II tidaklah masuk serta sebagai seorang konselebran, namun hanya menghadiri liturgi Ortodoks yang diberi petunjuk Patriark Romania, para rahib Yunani di Gunung Athos mengusir menerima para imam dan hieromonakos Romania sebagai konselebran dalam liturgi mereka hingga sebagian tahun kemudian. Patriark Teoctist mengunjungi Kota Vatikan atas undangan Paus Yohanes Paulus II dari tanggal 7 Oktober14 Oktober 2002.

Pada 27 November 2004, dalam upaya "promosi persatuan Kristiani", Paus Yohanes Pulus II mengembalikan relikui dua orang santo uskup agung Konstantinopel, Yohanes Krisostomus dan Gregorius Nazianzus ke Konstantinopel (sekarang Istanbul). Umat Ortodoks yakin bahwa relikui tersebut dicuri dari Konstantinopel pada 1204 oleh para peserta Pertempuran Salib IV, interpretasi ini oleh juru cakap Vatikan Dr. Joaquin Navarro Valls dinyatakan "tidak akurat secara historis".[3]

Patriark Ekumenis Bartolomeus I, bersama para patriark dan uskup agung Gereja-Gereja Ortodoks Timur, ada dalam pemakaman Paus Yohanes Paulus II pada 8 April 2005. Bartolomeus duduk di kursi kehormatan pertama. Peran yang istimewa dan makin meningkat dari para patriark Ortodoks Timur dalam pemakaman Paus Yohanes Paulus II serta kenyataan bahwa peristiwa tersebut adalah kala pertama kalinya selama berabad-abad seorang Patriark Ekumenis menghadiri pemakaman seorang Paus, dipandang banyak pihak sebagai sebuah pertanda serius bahwa diskusi menuju rekonsiliasi boleh aci sudah dimulai.

Pada tanggal 29 Mei 2005 di Bari, Italia, Paus Benediktus XVI mengata rekonsiliasi sebagai sebuah komitmen masa kepausannya, demikian ungkapnya, "Saya ingin mengulangi kesediaan saya untuk menerima sebagai sebuah komitmen fundamental mengusahakan lagi kesatuan yang terlihat dan yang sepenuhnya dari semua penganut Kristus, dengan sekuat tenaga saya."[4] Paus Benediktus XVI telah diundang ke Turki pada bulan November 2006 oleh Patriark Ekumenis Bartholomeus I [2].

Uskup Agung Christodoulos, kepala Gereja Ortodoks Yunani, mengunjungi Paus Benediktus XVI di Vatikan pada 13 Desember 2006. Peristiwa ini adalah kunjungan resmi pertama seorang kepala Gereja Yunani ke Vatikan.

Catatan kaki

  1. ^ Norwich, John Julius. The Normans in the South 1016-1130. (1967) pg 102.
  2. ^ Lihar pula Audiensi Umum Yohanes Paulus II, 12 Mei 1999 - Refleksi atas kunjungan ke Romania [1]
  3. ^ Vatikan mengembalikan relikui para santo kepada patriark dan umat Orthodox
  4. ^ Kunjungan Kepausan Pertama dari Paus Benediktus CBS News, 29 Mei, 2005

Lihat pula

Pranala luar



Asal :
pasar.kurikulum.org, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, buku.us, dsb-nya.