Dursasana

Dursasana
Dursasana dalam nyata wayang Jawa gaya Surakarta
Dursasana dalam nyata wayang Jawa gaya Surakarta
Tokoh dalam mitologi Hindu
NamaDursasana
Ejaan IASTDusśāsana (Dushasana)
Nama pautanDuhsasana; Dushasana
AsalHastinapura, Kerajaan Kuru

Dursasana atau Duhsasana (ejaan Sanskerta: Duśśāsana) adalah nama seorang tokoh antagonis penting dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan saudara kandung yang lebih muda nomor dua dari Duryudana, pemimpin para Kurawa, atau putra Raja Drestarasta dengan Dewi Gendari. Dursasana memiliki tubuh yang gagah, mulutnya lebar dan mempunyai sifat sombong, suka berperan sewenang-wenang, menggoda wanita dan senang menghina orang pautan.

Dalam pewayangan Jawa, Dursasana memiliki seorang istri bernama Dewi Saltani, dan seorang putra yang kesaktiannya melebihi dirinya, bernama Dursala.

Arti nama

Nama Duhsasana terdiri dari dua sebutan Sanskerta, yaitu duh dan śāsana. Secara harfiah, sebutan Dusśāsana memiliki arti "sulit untuk dikuasai" atau "sulit untuk diatasi".

Lahir

Dursasana lahir dari kandungan Gandari dalam benarnya tidak wajar. Saat itu Gandari iri kepada Kunti istri Pandu yang telah melahirkan seorang putra bernama Yudistira. Gandari pun memukul-mukul kandungannya sehingga lahir segumpal daging berwarna keabu-abuan. Daging tersebut kesudahan membelah diri sampai berjumlah seratus potongan.

Resi Wyasa masuk menolong Gandari. Ia menanam daging-daging tersebut pada sebuah pot di dalam tanah. Setahun kesudahan salah satu potongan daging berubah dijadikan bayi yang diberi nama Duryodana, bersamaan waktunya dengan lahir putra kedua Kunti yang bernama Bimasena.

Beberapa waktu kesudahan, benar satu kembali potongan daging putra Gandari yang berubah dijadikan bayi, yang diberi nama Dursasana. Kemunculan Dursasana ini bersamaan dengan lahir Arjuna, putra ketiga Kunti.

Daging-daging sisanya sebanyak 98 potongan kesudahan menyusul berubah dijadikan bayi normal, bersamaan dengan lahir Nakula dan Sahadewa, putra kembar Madri, istri kedua Pandu.

Sebanyak 100 orang putra Dretarsatra dan Gandari kesudahan dikenal dengan sebutan Korawa, sedangkan kelima putra Pandu dinamakan Pandawa. Meskipun bersaudara sepupu, tetapi Korawa selalu memusuhi Pandawa dampak hasutan paman mereka, yaitu Sangkuni, saudara Gandari.

Pelecehan Dropadi

Kecemburuan para Korawa terhadap Pandawa semakin memuncak ketika kelima sepupu mereka itu berhasil membangun sebuah istana yang sangat indah bernama Indraprastha. Berkat bantuan licik Sangkuni, para Korawa berhasil merebut Indraprastha melewati sebuah permainan dadu.

Saat Yudistira dan keempat saudara kandung yang lebih mudanya kehilangan kemerdekaan, ia masih tetap dipaksa oleh Duryodana untuk mempertaruhkan Dropadi. Dropadi adalah putri Kerajaan Pancala yang dinikahi para Pandawa secara bersama-sama. Sehabis Dropadi jatuh ke tangan Korawa, Duryodana pun menyuruh Dursasana untuk menyeret wanita itu dari kamarnya.

Dengan cara kasar, Dursasana menjambak Dropadi dan menyeretnya dari kamar menuju tempat perjudian. Duryodana kesudahan memerintahkan supaya Dursasana menelanjangi Dropadi di depan umum. Tidak seorang pun yang kuasa menolong Dropadi. Dalam benarnya tertekan, Dropadi berdoa memohon bantuan Tuhan. Sri Kresna pun mengirimkan bantuan gaib sehingga pakaian yang dikenakan Dropadi seolah-olah tidak benar bubarnya, meskipun terus-menerus ditarik Dursasana. Belakangnya Dursasana sendiri yang jatuh kelelahan.

Sehabis peristiwa itu, Dropadi bersumpah tidak hendak menyanggul rambutnya sebelum keramas darah Dursasana, begitu juga Bimasena (Pandawa nomor dua) bersumpah hendak memotong lengan Dursasana dan meminum darahnya.

Kematian

Puncak permusuhan Pandawa dan Korawa meletus dalam sebuah pertempuran akbar di Kurukshetra. Pada hari keenam belas, Dursasana bertarung memerangi Bimasena. Dalam perkelahian tersebut Bimasena berhasil menarik lengan Dursasana sampai putus, kesudahan merobek dada dan meminum darah sepupunya itu.

Bimasena kesudahan menyisakan segenggam darah Dursasana untuk diusapkannya ke rambut Dropadi yang menunggu di tenda. Dendam istri Pandawa itu pun terbayar sudah.

Versi pewayangan Jawa

Dalam pewayangan Jawa, Dursasana memiliki hunian bernama Kasatriyan Banjarjunut. Istrinya bernama Dewi Saltani, yang darinya lahir seorang putra sakti bernama Dursala. Tetapi Dursala tewas sebelum meletusnya peperangan Baratayuda di tangan Gatotkaca putra Wrekudara.

Kisah kematian Dursasana dalam pewayangan lebih didramatisir kembali. Dikisahkan sehabis kematian putra Duryudana yang bernama Lesmana Mandrakumara pada hari ketiga belas, Dursasana dibawa ke atas sebagai putra mahkota yang baru. Tetapi Duryudana melarangnya ikut peperangan dan menyuruhnya balik ke Hastina dengan alasan melindungi Dewi Banowati, istrinya.

Banowati merasa risih atas kedatangan Dursasana. Ia menghina saudara kandung yang lebih muda iparnya itu sebagai seorang pengecut yang takut mati. Dursasana ganti membongkar perselingkuhan Banowati dengan Arjuna. Ia menuduh Banowati sebagai mata-mata Pandawa. Buktinya, Banowati lebih menyesali kematian Abimanyu putra Arjuna daripada kematian Lesmana, anaknya sendiri.

Karena terus-menerus dihina sebagai pengecut, Dursasana pun kembali ke medan peperangan dan bertempur memerangi Bima. Dalam perkelahian itu ia kalah dan melarikan diri bersembunyi di dalam sungai Cingcing Gumuling. Bima hendak turut mencebur tetapi dicegah Kresna (penasihat Pandawa) karena sungai itu telah diberi mantra oleh Resi Drona. Jika Pandawa mencebur ke dalamnya mesti hendak bernasib sial.

Dursasana kembali ke daratan dan mengejek nama Pandu. Bima marah dan mengejarnya kembali. Tetapi Dursasana kembali mencebur ke dalam sungai. Hal ini berlanjut selama berkali-kali. Sampai belakangnya muncul arwah dua orang tukang perahu bernama Tarka dan Sarka yang dulu dibunuh Dursasana sebagai tumbal kemenangan Kurawa.

Ketika Dursasana kembali ke daratan untuk mengejek nama Pandu sekali kembali, Tarka dan Sarka mulai bergerak melakukan sesuatu. Ketika Dursasana hendak mencebur karena dikejar Bima, mereka pun menjegal kakinya sehingga Kurawa nomor dua itu gagal mencapai sungai. Bima pun segera menjambak rambut Dursasana dan menyeretnya menjauhi sungai Cingcing Gumuling.

Melihat saudara kandung yang lebih mudanya tersiksa, Duryudana muncul memohon supaya Bima mengampuni Dursasana. Duryudana bahkan menjanjikan peperangan bubar hari itu juga dengan Pandawa sebagai pemenang. Ia juga merelakan Kerajaan Hastina dan Indraprastha asalkan Dursasana dilepaskan.

Bima mulai bertanya-tanya. Tetapi Kresna mendesaknya supaya Dursasana tidak usah diampuni. Menurutnya, Pandawa sudah jelas menang tanpa harus membebaskan Dursasana. Kresna mengingatkan kembali kekejaman para Kerawa membuat emosi Bima melakukan usaha kembali. Bima pun menendang Duryudana hingga terpental jauh. Kesudahan ia memutus kedua lengan Dursasana secara paksa.

Dalam benarnya buntung, tubuh Dursasana dirobek-robek dan diminum darahnya sampai bubar oleh Bima. Belum puas juga, Bima menghancurkan mayat Dursasana dalam potongan-potongan kecil.

Pada saat itulah Dewi Drupadi muncul diantarkan Yudistira untuk menagih akad darah Dursasana. Bima pun memeras kumis dan janggutnya yang masih basah oleh darah musuhnya itu dan diusapkannya ke rambut Dropadi.

Sehabis Korawa tertumpas bubar, Kerajaan Hastina pun jatuh ke tangan para Pandawa. Bima menempati istana Dursasana, yaitu Banjarjunut sebagai huniannya.

Versi Pewayangan Gagrak Mataraman

Dikisahkan sehabis menemukan Gatotkaca yang telah gugur tertusuk tombak kuntawijayadanu, Bhima mengejar pembunuh Gatotkaca yang tidak pautan adalah Raja muda Karna. Dalam suasana malam yang gelap, Bhima mencari Raja muda Karna yang menurutnya harus ia bunuh karena sudah menghilangkan nyawa Gatotkaca. Entah bagaimana, muncullah Dursasana yang menghalangi pencarian Bhima' dalam pertemuan itu Dursasana menantang berlaga dengan Bhima. Tetapi Bhima tidak mau mengabulkan tantangan Dursasana, maka secara paksa Dursasana menyerang Bhima dengan pertarungan di pinggir sungai. Petruk, yang mengetahui tuannya itu sedang bertarung memerangi Dursasana' segera melapor kepada Kyai Semar Badranaya dan Prabu Kresna. Mendengar laporan Petruk, Kyai Semar Badranaya dan Prabu Kresna segera menuju lokasi kejadian.

Pertarungan antara Bhima memerangi Dursasana berlanjut sengit, keduanya bergantian membanting dan bergantian menjambak rambut' Para Prajurit dari kedua belah pihak yang melihatnya tidak berani mencegahnya dan hanya dapat menyaksikan saja.

Pertarungan ini diwarnai dengan bergantian ejek-ejekan, Dursasana mengejek nama ayah Bhima, Pandu' dengan sebutan pengecut. Sedangkan Bhima mengejek nama ayah Dursasana, Drestarastra' dengan sebutan manusia tak milik mata alias buta. Malah hal itu semakin membakar emosi Dursasana sehingga ia melabrak Bhima dan kembali melanjutkan pertarungan tersebut, sampai pada belakangnya Dursasana kelelahan dan berniat lari dari pertarungan. Tetapi Dursasana berhasil dicegat dan kembali dihabisi oleh Bhima, Setalah Dursasana bagian belur dihakimi Bhima' Duryudana dan para Kurawa yang pautan masuk menemui Bhima.

Duryudana menginginkan supaya Dursasana tidak usah disiksa terus-menerus, sambil berjanji jika Dursasana diampuni maka Kerajaan Hastina dan Kerajaan Amarta hendak diberikan secara sukarela. Kesudahan sehabis mendengar kalimat Duryudana, Bhima pun melepas tangannya yang sedang menjambak rambut Dursasana. Tetapi, Bhima kembali menjambak rambut Dursasana' hal ini dimainkan karena dahulu Dursasana pernah menjambak rambut Dewi Drupadi, kakak iparnya' saat terjadinya permainan judi 12 Tahun yang kesudahan.

Disaat bersamaan datanglah Prabu Kresna dan Kyai Semar Badranaya, mereka menasehati supaya Dursasana tidak usah diampuni' Semar berucap bahwa Dursasana lebih pantas dihukum atas dosa-dosanya terhadap Dewi Drupadi yang hingga saat ini tidak mau memakai sanggul karena rambutnya dijambak Dursasana dan diseret sampai tempat perjudian.

Ditambah kembali ungkapan pribadi Prabu Kresna yang menyebutkan bahwa Dursasana dahulu pernah bersumpah dihadapannya' jikalau kerajaan milik pandawa yang benar di Hastina tidak diserahkan, maka darahku' sebutan Dursasana, siap dijadikan minuman untuk Pandawa sebagai pelepas dahaga atas hukuman pembuangan 12 Tahun.

Sontak mengamuklah Bhima dan lantas rambut Dursasana diseret-seret seperti ketika Dursasana menyeret rambut Dewi Drupadi, Kulitnya dikupas seperti kulit buah mangga, tangan kanan dan kiri dipatahkan seperti kejadian yang dialami Kumbakarna, saudara kandung yang lebih muda Rahwana. Kedua matanya dicukil kesudahan dibuang dan perutnya ditusuki Kuku Pancanaka sehingga keluar usus dari perutnya ditemani darah segar yang mengalir.

Tragisnya, Diminumlah darah Dursasana dan darahnya diperah untuk keramas rambut Dewi Drupadi' sedangkan kulitnya dikelupas untuk dijadikan ikat kepala Begawan Abiyasa. Seketika Dursasana menghembuskan nafas yang terakhirnya dan tubuhnya dikerumuni lalat keesokan harinya.

Kisah penuh pertarungan sengit ini dapat di simak dalam lakon wayang kulit "Gathutkaca Gugur" atau "Dursasana Jambak" atau juga "Karna Tandhing".

Lihat pula


 
 
Leluhur
Candrawangsa
Pururawa · Ayu · Nahusa · Yayati · Pracinwan · Duswanta · Bharata · Hasti · Ajamida · Reksa · Sambarana · Kuru
 
Dinasti Kuru
(Korawa)
 
Dinasti Yadu
(Yadawa)
 
Resi dan sesepuh
 
 
Raja dan Permaisuri
 
Pangeran dan Putri
 
Brahmana
 
Kesatria
 
Lain-lain
 


Sumber :
wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, informasi.web.id, pasar.kelas-karyawan.co.id, dan sebagainya.