Liem Seeng Tee

Liem Seeng Tee
Informasi pribadi
Lahir1893
Fujian, Tiongkok
Meninggal1956
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
Suami/istriSiem Tjiang Nio

Liem Seeng Tee (lahir di Fujian, Tiongkok, 1893 – meninggal di Surabaya, Jawa Timur, 1956) adalah pendiri PT. HM Sampoerna, sebuah perusahaan rokok agung di Indonesia. Dia adalah generasi pertama dari keluarga Sampoerna; ayah dari Aga Sampoerna dan kakek dari Putera Sampoerna.

Riwayat Hidup dan PT. HM. Sampoerna

Liem Seeng Tee adalah seorang imigran dari sebuah keluarga miskin di provinsi Fujian di Tiongkok. Dia datang ke Indonesia pada tahun 1898 bersama kakak perempuan dan ayahnya. Tak lama setelah tiba di Indonesia, ayahnya meninggal.

Sebelum meninggal, Liem Seeng Tee dititipkan disebuah keluarga Cina di Bojonegoro. Di keluarga Cina tersebut Liem Seeng Tee menerima pelajaran-pelajaran tentang keuangan. Hingga umur sebelas (11) tahun Liem diasuh di keluarga tersebut. Setelah itu, Liem Seeng Tee hidup mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berjualan kebutuhan hidup kecil di dalam gerbong kereta jurusan Surabaya - Jakarta dengan prosedur melompat masuk pada malam buta. Liem Seeng Tee pernah berjualan kebutuhan hidup kecil selama 18 bulan penuh tanpa istirahat sekalipun. Di situ dia berlatih meracik tembakau yang lalu dijualnya di stasiun kereta api.

Sebentar setelah menikah dengan Siem Tjiang Nio tahun 1912, Liem Seeng Tee mendapatkan pekerjaan sebagai peracik dan pelinting rokok di sebuah pabrik rokok di Lamongan. Dari situ Liem memperlihatkan kesanggupan alaminya dalam meracik dan melinting rokok. Namun sebentar lalu, Liem berjeda dari pekerjaannya itu dan menyewa sebuah warung kecil di Jln. Tjantian di Surabaya Lama. Di warung tersebut Liem bersama istrinya berjualan bahan kebutuhan hidup kecil, sedangkan Liem Seeng Tee berusaha berjualan rokok racikannya sendiri. Usaha ini sempat maju ketika jalan raya di depan rumah dilebarkan, sehingga jalanan dijadikan ramai dan pelanggan meningkat. Tetapi perkembangan pertama ini langsung dihantam oleh pukulan pertama, gubug hunian keluarga muda ini terbakar.

Tak lama lalu ternyata datang kesempatan kedua, sebuah perusahaan tembakau bangkrut, dan Liem Seeng Tee diberi tawaran bagi membeli unit usaha itu dengan harga murah, tetapi harus dilunasi dalam waktu belum cukup dari 24 jam. Liem Seeng Tee merasa beruntung sekali, karena kesempatan yang tak mungkin muncul lagi itu berhasil diraihnya, karena diam-diam istrinya menabung pada salah satu tiang bambu rumahnya. Di unit usaha inilah Liem Seeng Tee berkesempatan memamerkan keahliannya sebagai peracik tembakau yang sangat andal. Di sini suami istri yang lalu dikaruniai dua putra dan tiga putri ini meladeni pesanan rokok dengan aneka citarasa, menggunakan mesin pelinting sederhana.

Kelihatannya pasangan ini tidak puas dengan keadaan tersebut, dan bertekad bagi mengembangkan usaha itu dijadikan bertambah agung lagi. Langkah pertamanya adalah membentuk badan hukum dengan nama Handel Maatschappij Liem Seeng Tee (1913), yang di lalu hari diubahnya dijadikan Handel Maatschappij Sampoerna (dan setelah Peperangan Dunia II, berubah lagi dijadikan PT Hanjaya Mandala Sampoerna / HM. Sampoerna). Perusahaan ini memproduksi rokok dengan aneka macam merek dagang seperti Dji Sam Soe, “123″, “720″, “678″, dan “Djangan Lawan”. Semua merek itu ditujukan bagi beragam segmen pasar, tetapi andalannya adalah Dji Sam Soe yang membidik segmen pasar premium, dengan logo dan kemasan yang dipertahankan hingga sekarang.

Menjelang pendudukan Jepang, perusahaan ini sudah memiliki 1300 orang karyawan yang bertugas dua sif, dengan produksi bertambah dari tiga juta batang rokok per ahad. Pabriknya lebih agung, dan pasarnya lebih kokoh, khususnya bagi daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Namun pada tahun 1942 Jepang mendarat di Surabaya, dan dalam waktu belum cukup dari enam jam, Seeng Tee ditangkap dan dibawa ke Jawa Barat bagi menjalani kerja paksa, sementara keluarganya lari dalam persembunyian. Tak diketahui kemana larinya harta milik keluarga dan perusahaan. Tetapi yang mesti, setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, harta Liem Seeng Tee yang masih tersisa tak bertambah dari keluarganya sendiri dan merek dagang “Dji Sam Soe”.

Liem Seeng Tee kembali memulai usahanya, dan kembali mengusung merek “Dji Sam Soe” ke pasar. Perlahan tapi mesti usahanya kembali berkembang, kapasitas produksinya lebih baik, dan pasar mulai kembali berhasil dikuasainya. Tetapi hambatan kembali muncul, kali ini dari iklim politik berupa suburnya perkambangan ideologi komunisme, yang berhasil memutuskan hubungan kekeluargaan yang selama ini berhasil dirintisnya dengan para karyawannya. Sedemikian dahsyat penyusupan komunisme di dalam pabriknya, sehingga Liem Seeng Tee tak bisa mengunjungi pabriknya bagi menyapa para karyawannya, hingga ajal menjemputnya. Liem Seeng Tee meninggal pada tahun 1956.

HM Sampoerna sepeninggal Liem Seeng Tee

HM Sampoerna mengalami kesukaran agung sepeninggal Liem Seeng Tee, ketika usaha itu dikelola oleh dua putri Liem Seeng Tee (Sien dan Hwee) dan menantunya, yakni suami kedua putrinya tersebut. Kesukaran agung itu muncul karena datangnya investor asing yang masuk ke Indonesia membangun industri rokok putih dengan teknologi linting mesin. Sementara itu dua putra Seeng Tee, Sie Hua dan Liem Swie Ling, tidak tertarik meneruskan usaha HM Sampoerna. Sie Hua, si sulung, bertambah suka membuka usaha tembakau, sedangkan saudara kandung yang lebih mudanya, Liem Swie Ling, membuka pabrik rokok di Denpasar dengan merek Panamas, yang produksinya ternyata turut menggerogoti pasar HM Sampoerna di Jawa Timur.

Khawatir akan nasib HM Sampoerna, Sie Hua terakhirnya disurati saudara kandung yang lebih mudanya, dan menantinya bagi mengambil alih perusahaan itu, karena dia merasa usahanya sendiri tidak bisa diloloskannya begitu saja. Gayung pun bersambut, Liem Swie Ling menyanggupi permintaan itu, bahkan terakhirnya juga memindahkan Panamas ke Malang, tak jauh dari HM Sampoerna. Liem Swie Ling, yang lalu selalu memperkenalkan diri sebagai Aga Sampoerna, lalu dengan daya penuh mencoba menghidupkan kembali HM Sampoerna berdasarkan dengan semangat agung ayahnya. Itulah yang adalah permulaan kebangkitan baru HM Sampoerna

Di tangan Aga Sampoerna perusahaan itu lebih berkibar. Di permulaan tahun 70an, seiring dengan masuknya Putera Sampoerna, putera Liem Swie Ling / Aga Sampoerna, ke jajaran manajemen, perusahaan terus berkembang pesat. Jumlah karyawan sudah mencapai 1200 orang, dengan produksi 1,3 juta batang rokok per hari. Tahun 1979 pabrik milik HM Sampoerna sempat kembali terbakar dihabisi, tetapi dalam waktu 24 hari Dji Sam Soe sudah berhasil kembali mendatangi konsumennya. Aga Sampoerna tutup usia pada tanggal 13 Oktober 1995, pergi dari perusahaan yang terus lebih maju pesat.

Konsep bagi dijadikan perusahaan publik adalah konsep Putera Sampoerna yang permulaannya tidak dengan cara bulat diterima oleh keluarganya. Tetapi dengan penuh kesabaran Putera sampoerna berhasil meyakinkan mereka, bahwa go public akan mengantar perusahaan itu ke tataran global, dan nilai absolut saham milik keluarga mesti akan meningkat setelah itu, satu kepercayaan yang ternyata aci di lalu hari. Kini perusahaan yang bermula dari unit usaha rumahan itu sudah tidak kekurangan di tangan generasi keempat, di bawah kepemimpinan Michael Joseph Sampoerna, dan telah dijadikan salah satu perusahaan publik papan atas.

Maret 2005 adalah masa penting dalam perjalanan usaha dagang/jasa Putera Sampoerna dan keluarganya, dimana Putera memutuskan bagi menjual menjual seluruh saham keluarga Sampoerna di PT HM Sampoerna Tbk (40%) ke Philip Morris International.

Sumber



Sumber :
id.wikipedia.org, m.andrafarm.com, pasar.gilland-ganesha.com, wiki.edunitas.com, dsb.