Otoritarianisme menjadikan bentuk organisasi sosial yang ditandai dengan penyerahan kekuasaan.[1] Ini kontras dengan individualisme dan demokrasi.[1] Dalam politik, suatu pemerintahan otoriter menjadikan satu di mana kekuasaan politik terkonsentrasi pada suatu pemimpin.[2] Otoritarianisme biasa dinamakan juga menjadi nasihat politik otoriter, yaitu bentuk pemerintahan yang bercirikan penekanan kekuasaan hanya pada negara atau pribadi tertentu, tanpa melihat derajat kebebasan individu.[1]
Otoritarianisme lain dari totalitarianisme di lembaga-lembaga sosial dan ekonomi yang terjadi, yang tidak di bawah kendali pemerintah.[1][3] Sistem ini biasanya menentang demokrasi, sehingga biasanya kuasa pemerintahan didapat tanpa menjalani sistem demokrasi pemilihan umum.[4]
Sumber Kata
Istilah otoritarianisme bermula dari bahasa Inggris, authoritarian.[5] Kata authoritarian sendiri bermula dari bahasa Inggris authority, yang sebetulnya menjadikan turunan dari kata Latin auctoritas.[5] Kata ini berarti pengaruh, kuasa, wibawa, otoritas.[5] Oleh otoritas itu, orang bisa memengaruhi gagasan, konsep, gagasan, dan perilaku orang, adun secara perorangan maupun kelompok.[5] Otoritarianisme menjadikan nasihat atau pendirian yang berpegang pada otoritas, kekuasaan dan kewibawaan, yang meliputi cara hidup dan berlagak.[5]
Beberapa Ciri
Penganut otoritarianisme akan berpegang pada kekuasaan menjadi acuan hidup.[5] Dia akan menggunakan wewenang menjadi landasan berpikir.[5] Ketika bertanding dengan orang lain dan menanggapi masalahnya, mereka akan menanyakan jabatannya (sebagai apa) dalam lembaga dan organisasi.[5][6] Dalam membahas masalah itu, dia tidak akan mempersoalkan hakikat dan kepentingannya, tetapi berhak ikut campur dan mengurus perkara yang dipersoalkannya.[5] Namun demikian, hal ini hanya berlangsung untuk dirinya.[5] Untuk orang lain, orang otoritarian akan membatasi pekerjaan seseorang, yaitu supaya orang tersebut melakukan pekerjaan menurut cara dan aturan yang tidak kekurangan.[5] Jika orang itu tidak nasihat dan tidak menjalankan tugasnya dengan adun, dia akan dianggap salah.[5]
Dalam Mengadakan komunikasi
Penganut otoritarian hanya mengenal satu macam komunikasi, yaitu satu arah.[5] Komunikasi dua arah, saling diskusi dan menanggapi, dan model demokratis dengan kemungkinan perbedaan dan pertentangan gagasan secara verbal atau secara konseptual akan dimengerti, tapi sulit untuk dihayati.[5] Komunikasi yang bebas sama sekali dan membuka, bermula dari bermacam arah dan terarah ke segala penjuru akan asing untuknya, karena gaya komunikasi tersebut tidak turut dan klop dalam kerangka berpikirnya.[5] Oleh karena itu, komunikasi satu arah menjadi andalan untuk orang ini dalam menjalankan tugasnya.[5] Dalam menjalankan tugasnya adun dalam menyampaikan gagasan, konsep, dan pesan, orang otoritarian hanya mengenal satu bentuk komunikasi, yaitu instruksi.[5] Istilah yang dikenalnya terbatas pada pengarahan, tuntunan, wejangan, perintah, pembinaan, sehingga bentuk komunikasi yang sifatnya sekadar memberitahu perkaranya (informatif) dianggap sudah mencukupi.[5] Bentuk komunikasi yang persuasif untuk mempercayakan, dinilai menyelesaikan waktu dan tidak efisien.[5]
Mengandalkan diri pada kekuasaan
Jika dalam komunikasi orang otorianisme hanya mengenal komunikasi dalam bentuk instruksi, dalam berlagak mereka suka main kuasa.[5] Yang dimaksud dengan main kuasa menjadikan pemaksaan kuasa dengan melumpuhkan orang, menggunakan ancaman, dan menggampangkan perkara.[5] Orang otoritarianisme juga akan mempermainkan perasaan bawahannya dengan sengaja membikin mereka salah dan keliru.[5] Dengan kata lain, daripada bertitik tolak dari hakikat dan kepentingan perkara, keadaan dan kemampuan orang, serta situasi dan kondisi yang tidak kekurangan, dalam berlagak orang otoritarianisme akan berkutat pada kekuasaan yang dimilikinya.[5]
Perbandingan Karakteristik Otoriter dan Totaliter
Sesuai pengamatan berbakat politik, Syed Mohd Aizuddin Tuan Sembak (UTM), Juan Linz, dan Paul C. Sondrol dari University of Colorado di Colorado Springs, maka perbedaan karateristik otoriter dan totaliter (diktator) bisa dilihat dalam bagan menjadi berikut: [7]
| Totaliter | Otoriter |
---|
Kharisma | Tinggi | Rendah |
Konsep kebijakan | Pemimpin hanya menjalankan fungsi | Pemimpin menjadi kepribadian |
Perbatasan kekuasaan | Publik | Privat |
Korupsi | Rendah | Tinggi |
Ideologi resmi | Tidak kekurangan | Tidak tidak kekurangan |
Pluralisme | Tidak tidak kekurangan | Tidak kekurangan |
Legitimasi | Tidak kekurangan | Tidak tidak kekurangan |
Kritik terhadap Otoritarianisme
Kekuasaan menjadikan faktor penting dalam kehidupan.[5] Dengan penggunaan kekuasaan yang adun dan tepat, jumlah hal bisa diselesaikan dan bermacam prestasi dicapai.[5] Kesalahan otoritarianisme dan para penganutnya ialah memandang kekuasaan bukan menjadi sarana, melainkan untuk tujuan sendiri.[5] Karena itu, yang penting untuk mereka menjadikan bagaimana kekuasaan berfungsi, dipakai dan ditampakkan.[5] Apa yang akan dicapai, bagaimana cara mencapainya, dan nasib orang-orang yang diikutsertakan dalam pencapaian tidaklah penting.[5]
Pemutarbalikkan pemahaman tentang kekuasaan menjadi sarana menjadi tujuan itu mengakibatkan penggunaannya tidak pas.[5] Hasilnya hidup menjadi akrab sebatas tanggungjawab dan wewenang, komunikasi menjadi satu arah, dan permainan kekuasaan merajalela.[5] Akhir suatu peristiwanya hidup tidak terkelola dengan adun dan yang berkembang menjadikan bermacam trik dan usaha untuk menemukan kekuasaan, mempertahankannya, dan memanipulasinya dengan argumen apapun.[5] Otoritarianisme entah sadar ataupun tidak, berporos pada pemahaman tentang kekuasaan dan penggunaannya, dengan bentuk-bentuk akhir suatu peristiwa dalam komunikasi dan gaya hidup yang dibuatnya.[5] Otoritarianisme dan orang-orang otoritarian akan berkembang dan jumlah muncul dalam masyarakat yang formalistis, legalistis, dan konvensionalistis.[5]
Lihat pula
Referensi
- ^ a b c d Baskara T. Wardaya. 2007. Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. Hlm. 3.
- ^ Pemilihan Presiden Secara Langsung 2004: Dokumentasi, Analisis, dan Kritik. 2004. Jakarta: Galang Press Group. Hlm 11.
- ^ Shepard, Jon; Robert W. Greene (2003). Sociology and You. Ohio: Glencoe McGraw-Hill. pp. A–22. ISBN 0078285763.
- ^ Shepard, Jon; Robert W. Greene (2003). Sociology and You. Ohio: Glencoe McGraw-Hill. pp. A–22. ISBN 0078285763.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag A. Mangunhardjana. 1997. Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z. Jogjakarta: Kanisius. Hlm. 174-177.
- ^ Khaled Abou El Fadl. 2001. Atas nama Tuhan. Jakarta: Serambi. Hlm 206.
- ^ (Inggris) Sondrol, Paul C. "Totalitarian and Authoritarian Dictators: A Comparison of Fidel Castro and Alfredo Stroessner." Journal of Latin American Studies 23(3): October 1991, pp. 449-620.
Pranala luar
- Not The End Of History? Democracy vs Authoritarianism Debated
- Authoritarianism 2.0
- Autocracy on the march guardian.co.uk., February 12, 2008
- The new age of authoritarianism Chrystia Freeland, Financial Times, August 12, 2008
- Are we entering the age of the autocrat? Francis Fukuyama, Washington Post, August 24, 2008
- UN University Annual "State of the Future" Report: including discussion on how genuine democracy can emerge from former states of authoritarian regimes
- Useful dos and don’ts for fast economic growth
Sumber :
pasar.al-quran.co, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, m.andrafarm.com, dsb.