Karna

Karna
कर्ण
Karna dalam nyata wayang versi Surakarta
Karna dalam nyata wayang versi Surakarta
Tokoh dalam mitologi Hindu
NamaKarna
Ejaan Dewanagariकर्ण
Ejaan IASTKarnna
Nama lainRadheya, Basusena, Wresa,
Sutaputra, Anggadipa, Suryaputra,
Suryatmaja, Talidarma, Bismantaka,
KediamanKerajaan Angga
GolonganSuta (kusir, saat sedang kecil)
KastaKsatriya
ProfesiRaja
SenjataIndrastra Vasavi shakti/Konta, Nagastra
AnakWresasena

Karna (Sanskerta: कर्ण; Karnna) yaitu nama raja Angga yang adalah tokoh antagonis penting dalam wiracarita Mahabharata. Beliau dijadikan pendukung utama pihak Korawa dalam peperangan luhur memerangi Pandawa. Padahal sesungguhnya, Karna adalah kakak tertua dari tiga di antara lima Pandawa (Yudistira, Bimasena, dan Arjuna). Dalam bagian belakang peperangan luhur tersebut, Karna diangkat sebagai panglima pihak Korawa, di mana beliau kesudahannya gugur di tangan Arjuna.

Karna adalah sosok pahlawan yang memiliki sifat-sifat kompleks. Meskipun benar di pihak antagonis, tetapi beliau terkenal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kesatria. Sifatnya angkuh, sombong, suka membanggakan diri, tetapi juga seorang dermawan yang murah hati kepada siapa saja, terutama fakir miskin dan kaum brahmana. Kesaktiannya yang luar biasa membikin namanya terkenal sepanjang masa dan dinamakan dengan penuh penghormatan.

Kelahiran

Mahabharata bagian pertama atau Adiparwa mengisahkan seorang putri bernama Kunti yang pada suatu hari ditugasi menjamu seorang pendeta tamu ayahnya, bernama Resi Durwasa. Atas jamuan itu, Durwasa mengalami rasa senang dan menganugerahi Kunti sebuah ilmu kesaktian bernama Adityahredaya, semacam mantra untuk memanggil dewa dan mendapat anugerah putra darinya.

Pada keesokannya Kunti mencoba mantra tersebut sambil memandang matahari terbit. Akibatnya, dewa penguasa matahari yaitu Surya pun muncul dan siap memberinya seorang putra. Kunti yang ketakutan menampik karena beliau sebenarnya hanya mau mencoba keampuhan Adityahredaya saja. Surya menyatakan dengan tegas bahwa Adityahredaya bukanlah mainan. Dengan sabda sang dewa, Kunti pun berisi. Tetapi Surya juga membantunya segera melahirkan bayi tersebut. Surya lalu kembali ke kahyangan setelah memulihkan kembali keperawanan Kunti.

Sebuah lukisan dalam kitab Srimad Bhagawatam dari yayasan ISCKON, menggambarkan bagian babak dalam lakon saat Kunti memanggil Dewa Surya. Atas pemanggilan tersebut, Kunti memperoleh putra yang kesudahan dibuangnya ke sungai. putra tersebut yaitu Radheya, alias Karna.

Dalam asuhan Adirata

Demi mengawal nama baik negaranya, Kunti yang melahirkan sebelum menikah terpaksa membuang "putra Surya" yang beliau beri nama Karna di sungai Aswa dalam sebuah keranjang. Bayi itu kesudahan terbawa arus sampai kesudahannya ditemukan oleh Adirata yang melakukan pekerjaan sebagai kusir kereta di Kerajaan Kuru (atau Kerajaan Hastinapura). Adirata dengan gembira menjadikan bayi tersebut sebagai anaknya. Karena sejak kelahiran sudah memakai pakaian peperangan komplet dengan anting-anting dan kalung pemberian Surya, maka bayi itu pun diberi nama Basusena.

Basusena pun diasuh dan dibesarkan dalam keluarga Adirata, sehingga beliau dikenal dengan julukan Sutaputra (anak kusir). Namun, julukan lainnya yang semakin terkenal yaitu Radheya, yang bermakna "anak Radha" (istri Adirata). Meskipun tumbuh dalam bagian yang terkait keluarga kusir, Radheya justru berkeinginan dijadikan seorang perwira kerajaan. Adirata pun mendaftarkannya ke dalam perguruan Resi Drona yang saat itu sedang memberi latihan para Pandawa dan Korawa.

Hendak tetapi, Drona menampik menjadikan Radheya sebagai murid karena beliau hanya sudi mengajar kaum ksatriya saja. Radheya yang sudah bertekad bulat meresmikan untuk mencari guru lain, dan beliau pun menyamar dijadikan kaum Brahmana agar menemukan proses mendidik dari Parasurama. Parasurama yaitu guru dari Bhisma dan Guru Drona, jadi, Karna menemukan guru yang semakin baik dari Guru Drona. Malangnya, Beliau ketahuan berbohong lalu beliau dikutuk oleh Parasurama agar ilmu yang diajarkannya tidak berguna lagi untuk Karna.

Dalam bahasa Sanskerta istilah Karna bermakna "telinga". Hal ini mengakibatkan muncul mitos bahwa Karna kelahiran menempuh telinga Kunti. Namun, Karna juga dapat bermakna "mahir" atau "terampil". Kiranya nama Karna ini baru dipakai setelah Basusena atau Radheya dewasa dan menguasai ilmu memanah dengan sempurna.

Dijadikan raja Angga

Ketika tiba waktunya, Drona memamerkan hasil proses mendidik para Pandawa dan Korawa di hadapan para bangsawan dan rakyat Hastinapura, ibu kota Kerajaan Kuru. Setelah melaui bermacam tahap perlombaan, Drona kesudahannya mengumumkan bahwa Arjuna (Pandawa nomor tiga) yaitu murid terbaiknya, terutama dalam hal ilmu memanah. Tiba-tiba Karna muncul menantang Arjuna sambil memamerkan kesaktiannya. Resi Krepa selaku pendeta istana menginginkan Karna agar memperkenalkan diri terlebih dahulu karena untuk menghadapi Arjuna haruslah dari golongan yang sederajat. Mendengar apa yang dimohon itu, Karna pun tertunduk aib.

Duryodana (Korawa tertua) maju membela Karna. Menurutnya, keberanian dan kehebatan tidak harus dimiliki oleh kaum ksatriya saja. Tetapi apabila peraturan mengharuskan demikian, Duryodana memiliki jalan keluar. Beliau mendesak ayahnya, yaitu Dretarastra raja Hastinapura, agar mengangkat Karna sebagai raja bawahan di Angga. Dretarastra yang berhati lemah tidak mampu menampik apa yang dimohon putra kesukaannya itu. Maka pada hari itu juga, Karna pun resmi dinobatkan dijadikan raja Angga.

Adirata muncul menanggapi penobatan Karna. Akibatnya, semua orang pun tahu kalau Karna yaitu anak Adirata. Melihat hal itu, Bimasena (Pandawa nomor dua) mengejeknya sebagai anak kusir sehingga tidak pantas bertanding memerangi Arjuna yang berasal dari kaum bangsawan. Sekali lagi Duryodana tampil membela Karna.

Suasana semakin tegang dan memanas. Tetapi tidak seorang pun yang menyadari kalau Kunti jatuh pingsan di bangkunya setelah melihat kehadiran Karna. Kunti langsung mengetahuinya sebagai putra sulung yang pernah beliau buang dari pakaian peperangan dan perhiasan pemberian Surya yang melekat di tubuh Karna.

Suasana yang menegangkan itu diredakan oleh terbenamnya matahari. Dretarastra mencerai-beraikan agenda tersebut sehingga perlombaan antara Karna memerangi Arjuna pun tertunda. Sejak saat itu dimulailah persahabatan antara Karna dengan Duryodana, pemimpin para Korawa.

Penolakan Dropadi

Dropadi yaitu putri Kerajaan Pancala yang kecantikannya membikin banyak raja dan pangeran datang untuk melamar, termasuk Duryodana. Dalam hal ini, Drupada (raja Pancala) telah mengumumkan sebuah sayembara memanah untuk siapa saja yang mau memperistri putrinya tersebut.

Sayembara tersebut ialah memanah boneka ikan yang berputar di atas arena, tetapi tidak boleh melihatnya dengan cara langsung, melainkan menempuh bayangannya yang terpantul di dalam baskom memuat minyak. Hendak tetapi, jangankan membidik boneka tersebut, mengangkat busur pusaka Kerajaan Pancala saja para peserta tidak benar yang sanggup, termasuk Duryodana yang perkasa sekalipun.

Karna kesudahan maju setelah sahabatnya itu mengalami kegagalan. Dengan penuh rasa hormat, beliau berhasil mengangkat busur pusaka mahaberat itu dan berhasil dengan tepat mengenai sasaran sayembara. Tiba-tiba Dropadi menyatakan keberatan apabila Karna memenangkan sayembara, karena dirinya tidak mau menikah dengan anak seorang kusir. Karna sakit hati mendengarnya. Beliau menyebut Dropadi sebagai wanita sombong dan mesti dijadikan perawan tua karena tidak benar lagi peserta yang mampu memenangkan sayembara sukar tersebut selain dirinya.

Ucapan Karna membikin Drupada mengalami rasa khawatir. Raja Pancala itu pun membuka pendaftaran baru untuk siapa saja yang mau menikahi Dropadi, tanpa harus berasal dari golongan ksatriya. Arjuna yang saat itu sedang menyamar sebagai brahmana maju mendaftarkan diri. Sayembara tersebut kesudahannya berhasil dimenangkan olehnya.

Pembalasan untuk Dropadi

Arjuna kesudahan mempersembahkan Dropadi kepada ibunya sebagai oleh-oleh terbaik. Tanpa melihat yang sebenarnya, Kunti langsung meresmikan agar "oleh-oleh" tersebut dibagi berlima. Akibatnya, kelima Pandawa pun bersama-sama menikahi Dropadi sebagai istri mereka, demi melaksanakan amanat sang ibu.

Beberapa waktu kesudahan, para Pandawa berhasil membangun sebuah kerajaan indah bernama Indraprastha yang membikin pihak Korawa mengalami rasa iri. Menempuh permainan dadu yang sangat licik, mereka berhasil merebut Indraprastha dari tangan Pandawa, termasuk kemerdekaan kelima bersaudara itu. Pada puncaknya, Yudistira (Pandawa tertua) dipaksa mempertaruhkan Dropadi demi melanjutkan permainan. Dropadi kesudahannya jatuh pula ke tangan Korawa. Duryodana kesudahan menyuruh Dursasana untuk menyeret Dropadi dari kamarnya. Dropadi pun dijambak dan diseret oleh Korawa nomor dua itu menuju ruang permainan.

Karna yang sedang menyimpan sakit hati kepada Dropadi mengumumkan bahwa seorang wanita yang bersuami lima tidak pantas dinamakan sebagai istri, melainkan pelacur. Mendengar penghinaan Karna, Arjuna bersumpah kelak hendak membunuhnya. Duryodana pun memerintahkan Dursasana agar menelanjangi Dropadi di depan umum. Namun, berkat bantuan rahasia dari Sri Kresna, Dropadi berhasil diselamatkan.

Kutukan para brahmana

Karna pernah berguru kepada Parasurama yang juga pernah mengajar Drona. Brahmana gagah berumur panjang tersebut memiliki pengalaman yang buruk dengan kaum ksatriya. Untuk itu, Karna harus menyamar sebagai brahmana muda agar dapat menghampirinya. Dengan cara tersebut Karna berhasil dijadikan murid Parasurama.

Pada suatu hari, Parasurama tidur di atas pangkuan Karna. Tiba-tiba muncul seekor serangga menggigit paha Karna. Demi mengawal agar Parasurama tidak terbangun, Karna membiarkan pahanya terluka sedangkan dirinya tidak bergerak sedikit pun. Ketika Parasurama struktur dari tidurnya, beliau kaget melihat Karna telah berlumuran darah. Kekuatan Karna menahan rasa sakit telah menyadarkan Parasurama bahwa muridnya itu bukan dari golongan brahmana, melainkan seorang ksatriya asli.

Mengalami rasa telah ditipu, Parasurama pun mengutuk Karna. Kelak, pada saat pertarungan antara hidup dan mati memerangi seorang musuh terhebat, Karna hendak tidak teringat terhadap semua ilmu yang telah beliau ajarkan.

Kutukan kedua diperoleh Karna ketika beliau mengendarai keretanya dan menabrak mati seekor sapi milik brahmana yang sedang menyeberang jalan. Sang brahmana pun muncul dan mengutuk Karna, kelak roda keretanya hendak terbenam ke dalam lumpur ketika beliau bertempur memerangi musuhnya yang paling hebat.

Pusaka Vasavi shakti atau Konta

Apabila Karna dilahirkan Kunti menempuh anugerah Dewa Surya, maka, Arjuna kelahiran menempuh anugerah Dewa Indra. Menyadari kesaktian Karna, Indra mengalami rasa cemas kalau Arjuna kelak sampai kalah jika bertanding memerangi putra Surya itu. Maka, Indra pun merancang merebut baju pusaka Karna dengan menyamar sebagai seorang pendeta. Konon, jika mengenakan pakaian pusaka tersebut, Karna tidak mempan terhadap senjata jenis apa pun.

Rancangan Indra terdengar oleh Surya. Beliau pun memberi tahu Karna. Tetapi Karna sama sekali tidak risau. Beliau telah bersumpah hendak hidup sebagai seorang dermawan sehingga apa pun yang dimohon oleh orang lain mesti hendak dikabulkannya.

Indra yang menyamar sebagai seorang resi tua datang menjumpai Karna saat sedang sendirian. Beliau menginginkan sedekah berupa baju peperangan dan anting-anting yang dipakai Karna. Karna pun mengiris semua pakaian pusaka yang melekat di kulitnya sejak bayi tersebut menggunakan pisau. Indra terharu memberi sambutannya. Beliau pun membuka samaran dan memberikan pusaka Indrastra baru berupa Vasavi shakti atau Konta (yang bermakna "tombak") sebagai hadiah atas ketulusan Karna. Namun, pusaka Konta hanya dapat dipakai sekali saja, setelah itu beliau hendak musnah.

Terbukanya jati diri

Setelah masa hukuman atas kekalahan dalam permainan dadu kesudahannya, para Pandawa pun muncul kembali untuk menemukan hak mereka atas Kerajaan Indraprastha. Pihak Korawa menampik dan memaksa Pandawa merebutnya dengan jalan peperangan. Pandawa pun mengirim Kresna sebagai duta menuju Hastinapura. Dalam peluang itu, Kresna menjumpai Karna dan mengajaknya berucap empat mata. Beliau menyatakan bahwa Karna dan para Pandawa sebenarnya yaitu saudara seibu. Apabila Karna bergabung dengan Pandawa, mesti Yudistira hendak merelakan takhta Hastinapura untuknya.

Karna sangat kaget mendengar jati dirinya terungkap. Beliau menghadapi dilema yang sangat luhur. Dengan penuh pertimbangan beliau meresmikan tetap pada pendiriannya yaitu membela Korawa. Beliau tidak mau membiarkan lepas Duryodana yang telah memberinya posisi, harga diri, dan perlindungan saat dihina para Pandawa dahulu. Rayuan Kresna tidak mampu meluluhkan sumpah setia Karna terhadap Duryodana yang dianggapnya adik-beradik sejati.

Setelah pertemuan dengan Kresna, esok harinya Karna berjumpa dengan Kunti. Kunti menjumpai putra sulungnya itu saat bersembahyang di tepi sungai. Beliau merayu Karna agar mau memanggilnya "ibu" dan sudi bergabung dengan para Pandawa. Karna kembali bersikap tegas. Beliau sangat menyesalkan keputusan Kunti yang dahulu membuangnya sehingga kini beliau harus berhadapan dengan adik-adiknya sendiri sebagai musuh. Beliau menampik bergabung dengan pihak Pandawa dan tetap menganggap Radha sebagai ibu sejatinya. Meskipun demikian, Karna tetap menghibur kekecewaan Kunti. Beliau bersumpah dalam peperangan kelak, beliau tidak hendak membunuh para Pandawa, kecuali Arjuna.

Perselisihan dengan Bisma

Peperangan luhur antara kedua pihak tersebut kesudahannya meletus. Pihak Korawa memilih Bisma (bangsawan senior Hastinapura) sebagai panglima mereka. Jadi pertengkaran di mana Bisma menampik Karna benar di dalam pasukannya, dengan alasan Karna terlalu sombong dan suka meremehkan kekuatan Pandawa. Sebaliknya, Karna pun bersumpah tidak sudi ikut bertempur apabila pasukan Korawa sedang dipandu oleh Bisma.

Bisma kesudahannya roboh pada pertempuran hari kesepuluh. Tokoh tua itu terbaring di atas ratusan panah yang menembus tubuhnya. Karna muncul mengalpakan semua dendam untuk menyampaikan rasa prihatin. Bisma mengaku bahwa beliau hanya akal-akal menolak Karna agar tidak bertempur memerangi Pandawa. Bisma mengetahui jati diri Karna sebagai kakak para Pandawa setelah diberi tahu oleh Narada (maharesi kahyangan). Seperti halnya Kresna dan Kunti, Bisma juga menyarankan agar Karna bergabung dengan para Pandawa. Tetapi sekali lagi Karna menampik saran tersebut.

Pertempuran memerangi Gatotkaca

Kehadiran Karna sejak hari kesebelas segera membangkitkan semangat pihak Korawa. Beliau menyarankan agar Duryodana memilih Drona sebagai pengganti Bisma, dengan alasan Drona adalah guru beberapa luhur sekutu Korawa. Dengan terpilihnya Drona maka persaingan antara para pendukung Korawa memperebutkan posisi panglima dapat dihindari.

Karna tampil dalam peperangan luhur tersebut sebagai pendamping Drona. Pada hari ke-14 malam, peperangan tetap jadi tanpa ditiadakan sehingga melanggar aturan yang telah disepakati. Duryodana menderita luka parah saat menghadapi Gatotkaca putra Bimasena. Beliau pun mendesak Karna agar menggunakan pusaka Vasavi shakti atau Konta untuk membunuh Gatotkaca. Karena terus didesak, Karna pun membiarkan lepas Konta dan menewaskan Gatotkaca.

Berdasarkan kontrak Indra, Shakti Konta pun musnah hanya dalam sekali penggunaan. Kresna selaku penasihat pihak Pandawa mengalami rasa senang karena dengan demikian, nyawa Arjuna dapat terselamatkan. Beliau mengetahui kalau selama ini Karna mempersiapkan Shakti Konta untuk membunuh Arjuna.

Dijadikan panglima pasukan Korawa

Setelah Drona gugur pada hari kelima belas, Duryodana menunjuk Karna sebagai panglima yang baru. Karna maju peperangan dengan Salya raja Madra sebagai kusir keretanya, dengan keinginan dapat mengimbangi Arjuna yang dikusiri Kresna. Salya sendiri sakit hati karena mengalami rasa direndahkan oleh Karna. Sambil mengendalikan kereta beliau gencar memuji-muji kesaktian Arjuna untuk menakut-nakuti Karna.

Pada hari keenam belas, Karna berhasil mengalahkan Yudistira, Bimasena, Nakula, dan Sadewa, tetapi tidak sampai membunuh mereka berdasarkan kontraknya di hadapan Kunti dahulu. Karna kesudahan bertanding memerangi Arjuna. Keduanya saling berusaha membunuh satu sama lain. Ketika Karna mengincar leher Arjuna menggunakan panah Nagasatra, diam-diam Salya memberi isyarat pada Kresna. Kresna pun menggerakkan keretanya sehingga panah pusaka tersebut meleset hanya mengenai mahkota Arjuna. Pertempuran tersebut kesudahannya tertunda oleh terbenamnya matahari.

Pertempuran belakang

Karna menghalau roda keretanya yang terperosok ke dalam lumpur pada saat peperangan Baratayuda. Peristiwa ini jadi sesaat menjelang kematiannya di tangan Arjuna.

Pada hari ketujuh belas, peperangan tanding antara Karna dan Arjuna dilanjutkan kembali. Setelah bertempur dalam waktu yang cukup lama, kutukan atas diri Karna pun dijadikan kenyataan. Ketika Arjuna membidiknya menggunakan panah Pasupati, salah satu roda keretanya terperosok ke dalam lumpur sampai terbenam setengahnya. Karna tidak peduli, beliau pun membaca mantra untuk mengerahkan kesaktiannya mengimbangi Pasupati. Namun, kutukan kedua juga dijadikan kenyataan. Karna tiba-tiba tidak teringat terhadap semua ilmu yang pernah beliau pelajari dari Parasurama.

Karna menginginkan Arjuna untuk menahan diri selagi beliau turun untuk menghalau keretanya agar kembali berjalan normal. Pada saat itulah Kresna mendesak agar Arjuna segera membunuh Karna karena ini yaitu peluang terbaik. Arjuna ragu-ragu karena saat itu Karna sedang lengah dan benar di bawah. Kresna mengingatkan Arjuna bahwa Karna sebelumnya juga jadi curang karena ikut mengeroyok Abimanyu sampai mati pada hari ketiga belas.

Teringat pada kematian putranya yang tragis tersebut, Arjuna pun membiarkan lepas panah Pasupati yang melesat memenggal kepala Karna. Karna pun tewas seketika.

Kehidupan di surga

Mahabharata bagian belakang, atau Swargarohanikaparwa, mengisahkan perjalanan Yudistira naik ke surga. Di tempat yang serba indah itu beliau mengalami rasa kecewa karena yang dijumpainya justru arwah para Korawa, bukan adik-adiknya. Beliau kesudahan diantar para Kingkara untuk menjumpai keempat Pandawa yang sedang mengalami penyiksaan di neraka. Di tempat mengerikan itu, beliau menjumpai arwah keempat saudara kandung yang lebih mudanya sedang disiksa bersama para pahlawan luhur lainya, misalnya Karna, Drestadyumna, Abimanyu, Satyaki, dan lain-lain.

Meskipun demikian, Yudistira memilih benar di neraka daripada harus kembali ke surga. Tiba-tiba benarnya pun berbalik. Yudistira dan para pahlawan tersebut kesudahan dibawa masuk oleh ke dalam surga oleh para dewa sedangkan para penjahat, yaitu Korawa masuk ke dalam neraka. Agaknya peyiksaan tersebut hanya bersifat selagi, selain untuk menguji keteguhan hati Yudistira, juga untuk membersihkan dosa-dosa para pahlawan selama hidup di dunia dahulu.

Dengan demikian, meskipun sewaktu di dunia Karna hidup bersama para Korawa, tetapi ketika benar di alam baka arwahnya bersama-sama menjadi satu kelompok dengan para Pandawa.

Versi pewayangan Jawa

Dalam pewayangan Jawa, terdapat beberapa perbedaan mengenai kisah hidup Karna dibandingkan dengan versi aslinya. Menurut versi ini, Karna mengetahui jati dirinya bukan dari Kresna, melainkan dari Batara Narada.

Dikisahkan bahwa, meskipun Karna mengabdi pada Duryodana, tetapi beliau berani menculik calon istri pemimpin Korawa tersebut yang bernama Surtikanti putri Salya. Keduanya memang terlibat hubungan asmara. Orang yang dapat menangkap Karna tidak lain yaitu Arjuna. Pertarungan keduanya kesudahan dilerai oleh Narada dengan mengisahkan kisah pembuangan Karna sewaktu bayi dahulu.

Karna dan Arjuna kesudahan bersama-sama menumpas pemberontakan Kalakarna raja Awangga, seorang bawahan Duryodana. Atas tingkah laku baiknya itu, Duryodana merelakan Surtikanti dijadikan istri Karna, bahkan Karna pun diangkat sebagai raja Awangga menukarkan Kalakarna. Dari perkawinan itu kelahiran dua orang putra bernama Warsasena dan Warsakusuma. Adapun versi Mahabharata menyebut nama putra Karna yaitu Wresasena, sedangkan nama istrinya tidak diketahui.

Perbedaan selanjutnya ialah pusaka Konta yang diperoleh Karna bukan anugerah Batara Indra, melainkan dari Batara Guru. Menurut versi ini Senjata Konta dinamakan dengan nama Kuntawijayadanu, sebenarnya hendak diberikan kepada Arjuna yang saat itu sedang bertapa mencari pusaka untuk memotong tali pusar keponakannya, yaitu Gatotkaca putra Bimasena. Dengan bantuan Batara Surya, Karna berhasil mengelabui Batara Narada yang diutus Batara Guru untuk menjumpai Arjuna.

Surya yang menciptakan suasana remang-remang membikin Narada mengira Karna yaitu Arjuna. Beliau pun memberikan Kuntawijaya kepadanya. Setelah menyadari kekeliruannya, Narada pun pergi dan menemukan Arjuna yang asli. Arjuna berusaha merebut Kuntawijaya dari tangan Karna. Setelah melalui pertarungan, Arjuna hanya berhasil merebut sarung pusaka itu saja. Meskipun demikian, sarung tersebut dibuat dari kayu Mastaba yang dapat dipakai untuk memotong tali pusar Gatotkaca. Anehnya, sarung Kunta kesudahan masuk ke dalam perut Gatotkaca menambah kekuatan bayi tersebut. Kelak, Gatotkaca tewas di tangan Karna. Kuntawijaya musnah karena masuk ke dalam perut Gatotkaca, sebagai pertanda bersatunya kembali pusaka dengan sarung pembungkusnya.

Menurut versi Jawa, pusaka pemberian Indra bukan bernama Konta, melainkan bernama Badaltulak. Sama dengan versi aslinya, pusaka ini diperoleh Karna setelah pakaian peperangannya dimohon oleh Indra.

Karna versi Jawa sudah mengetahui bahwa beliau yaitu kakak tiri para Pandawa sejak awal, yaitu menjelang perkawinannya dengan Surtikanti. Jadi, kedatangan Kresna menjumpainya sewaktu dijadikan duta ke Hastinapura bukan untuk membuka jati dirinya, tetapi hanya untuk menginginkannya agar bergabung dengan Pandawa.

Karna menampik dengan alasan sebagai seorang kesatria, beliau harus menepati kontrak bahwa beliau hendak selalu setia kepada Duryodana. Kresna terus mendesak bahwa dharma seorang kesatria yang semakin utama yaitu menumpas angkara murka. Dengan membela Duryodana, berarti Karna membela angkara murka. Karena terus didesak, Karna terpaksa membuka rahasia bahwa beliau tetap membela Korawa agar dapat menghasut Duryodana agar berani bertempur memerangi Pandawa. Beliau yakin bahwa angkara murka di Hastinapura hendak hilang bersama kematian Duryodana, dan yang dapat membunuhnya hanya para Pandawa. Karna yakin bahwa jika peperangan meletus, dirinya mesti ikut dijadikan korban. Namun, beliau telah bertekad untuk menyiapkan diri sebagai tumbal demi kebahagiaan adik-adiknya, para Pandawa.

Dalam peperangan tersebut Karna kesudahannya tewas di tangan Arjuna. Tetapi versi Jawa tidak kesudahannya begitu saja. Keris pusaka Karna yang bernama Kaladite tiba-tiba melesat ke arah leher Arjuna. Arjuna pun menangkisnya menggunakan keris Kalanadah, peninggalan Gatotkaca. Kedua pusaka itu pun musnah bersama.

Surtikanti datang ke Kurusetra bersama Adirata. Melihat suaminya gugur, Surtikanti pun bunuh diri di hadapan Arjuna. Adirata duka dan berteriak menantang Arjuna. Bimasena muncul menghardik ayah angkat Karna tersebut sehingga lari ketakutan. Tetapi malangnya, Adirata terjatuh dan meninggal seketika.

Lihat pula


 
 
Leluhur
Candrawangsa
Pururawa · Ayu · Nahusa · Yayati · Pracinwan · Duswanta · Bharata · Hasti · Ajamida · Reksa · Sambarana · Kuru
 
Dinasti Kuru
(Korawa)
 
Dinasti Yadu
(Yadawa)
 
Resi dan sesepuh
 
 
Raja dan Permaisuri
 
Pangeran dan Putri
 
Brahmana
 
Kesatria
Aswatama · Barbarika · Ekalawya · Karna · Kicaka · Sangkuni · Satyajit
 
Lain-lain
 


Sumber :
wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, ilmu-pendidikan.com, pasar.nomor.net, dsb.