Kerajaan Kalingga
Kerajaan Kalingga Kerajaan Ho-Ling | |||||
| |||||
Peta kerajaan Kalingga | |||||
Ibukota | Tidak jelas, diduga sela Pekalongan atau Keling Jepara | ||||
Bahasa | Melayu Kuna Sanskerta | ||||
Agama | Hindu dan Buddha | ||||
Pemerintahan | Kerajaan | ||||
Raja atau Ratu | |||||
- | perkiraan tahun 674 ¹ | Ratu Shima | |||
Sejarah | |||||
- | Didirikan | Masa abad ke-6 | |||
- | Dibubarkan | Masa abad ke-7 | |||
Berdasarkan asal kabar Tiongkok¹ |
Kalingga atau Ho-ling (sebutan dari asal Tiongkok) yaitu sebuah kerajaan bercorak Hindu yang timbul di Jawa Tengah perkiraan masa abad ke-6 masehi. Letak pusat kerajaan ini belumlah jelas, kemungkinan tidak kekurangan di suatu tempat sela Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang. Asal sejarah kerajaan ini masih belum jelas dan kabur, kebanyakan diperoleh dari asal catatan China, tradisi kisah setempat, dan naskah Carita Parahyangan yang disusun beberapa masa abad lamanya kemudian pada masa abad ke-16 menyinggung secara singkat mengenai Ratu Shima dan kaitannya dengan Kerajaan Galuh. Kalingga telah tidak kekurangan pada masa abad ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok. Kerajaan ini sudah menjalani diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal memiliki peraturan barang siapa yang mencuri, akan dipenggal tangannya.
Daftar pokok
Catatan dari asal lokal
Kisah lokal
Terdapat kisah yang mengembang di Jawa Tengah utara mengenai seorang Maharani legendaris yang menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kebenaran dengan keras tanpa pandang bulu. Kisah legenda ini mengatakan cerita mengenai Ratu Shima yang mendidik rakyatnya agar selalu jadi jujur dan menindak keras kejahatan pencurian. Beliau menerapkan hukuman yang keras yaitu pemotongan tangan bagi siapa saja yang mencuri. Pada suatu ketika seorang raja dari seberang lautan mendengar mengenai kemashuran rakyat kerajaan Kalingga yang terkenal jujur dan taat hukum. Untuk mengujinya beliau mendudukkan sekantung uang emas di persimpangan jalan tidak jauh market. Tak tidak kekurangan sorang pun rakyat Kalingga yang berani menyentuh jangankan mengambil barang yang bukan miliknya. Hingga tiga tahun kemudian kantung itu disentuh oleh putra mahkota dengan kakinya. Ratu Shima demi menjunjung hukum menjatuhkan hukuman mati kepada putranya. Dewan menteri memohon agar Ratu mengampuni kekeliruan putranya. Karena kaki sang pangeranlah yang menyentuh barang yang bukan miliknya, maka sang pangeran dijatuhi hukuman dipenggal kakinya.[1]
Carita Parahyangan
Berdasarkan naskah Carita Parahyangan yang berasal dari masa abad ke-16, putri Maharani Shima, Parwati, menikah dengan putera mahkota Kerajaan Galuh yang bernama Mandiminyak, yang kemudian dibuat sebagai raja kedua dari Kerajaan Galuh. Maharani Shima memiliki cucu yang bernama Sanaha yang menikah dengan raja ketiga dari Kerajaan Galuh, yaitu Brantasenawa. Sanaha dan Bratasenawa memiliki anak yang bernama Sanjaya yang kelak dibuat sebagai raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723-732 M).
Setelah Maharani Shima meninggal pada tahun 732 M, Sanjaya menggantikan buyutnya dan dibuat sebagai raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian dinamakan Bumi Mataram, dan kemudian mendirikan Dinasti/Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno.
Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban. Kemudian Raja Sanjaya menikahi Sudiwara puteri Dewasinga, Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara, dan memiliki putra yaitu Rakai Panangkaran.
Pada masa abad ke-5 timbul Kerajaan Ho-ling (atau Kalingga) yang diperkirakan terletak di utara Jawa Tengah. Keterangan perihal Kerajaan Ho-ling diperoleh dari prasasti dan catatan dari negeri Cina. Pada tahun 752, Kerajaan Ho-ling dibuat sebagai wilayah taklukan Sriwijaya disebabkan kerajaan ini dibuat sebagai babak jaringan perdagangan Hindu, bersama Malayu dan Tarumanagara yang sebelumnya telah ditaklukan Sriwijaya. Ketiga kerajaan tersebut dibuat sebagai pesaing kuat jaringan perdagangan Sriwijaya-Buddha.[2]
Fakta
Di Puncak Rahtawu (Gunung Muria) tidak jauh dengan Disktrik Keling, Jepara di sana terdapat empat arca batu, yaitu arca Batara Guru, Narada, Togog, dan Wisnu. Sampai sekarang belum tidak kekurangan yang dapat memastikan bagaimana mengangkut arca tersebut ke puncak itu memikirkan ajang yang begitu berat. Pada tahun 1990, di seputar puncak tersebut, Prof Gunadi[3] dan empat orang tenaga stafnya dari Balai Arkeologi Nasional Yogyakarta (kini Balai Arkeologi Yogyakarta) menemukan Prasasti Rahtawun. Selain empat arca, di kawasan itu tidak kekurangan pula enam tempat pemujaan yang letaknya tersebar dari arah bawah hingga menjelang puncak. Setiap diberi nama (pewayangan) Bambang Sakri, Abiyoso, Jonggring Saloko, Sekutrem, Pandu Dewonoto, dan Kamunoyoso.
Berita Cina
Berita keberadaan Ho-ling juga dapat diperoleh dari berita yang berasal dari masa abad Dinasti Tang dan catatan I-Tsing.
Catatan dari masa abad Dinasti Tang
Kisah Cina pada masa abad Dinasti Tang (618 M - 906 M) memberikan perihal keterangan Ho-ling sebagai berikut.
- Ho-ling atau dinamakan Jawa terletak di Lautan Selatan. Di sebelah utaranya terletak Ta Hen La (Kamboja), di sebelah timurnya terletak Po-Li (Pulau Bali) dan di sebelah barat terletak Pulau Sumatera.
- Ibukota Ho-ling dibeliti oleh tembok yang terbuat dari tonggak kayu.
- Raja tinggal di suatu propertti besar bertajuk, beratap daun palem, dan singgasananya terbuat dari gading.
- Penduduk Kerajaan Ho-ling sudah pintar membuat minuman keras dari bunga kelapa
- Daerah Ho-ling berproduksi kulit penyu, emas, perak, cula badak dan gading gajah.
Catatan dari berita Cina ini juga menyebutkan bahwa sejak tahun 674, rakyat Ho-ling diperintah oleh Ratu Hsi-mo (Shima). Beliau yaitu seorang ratu yang sangat berpegang pada kebenaran dan bijaksana. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Ho-ling sangat merdeka dari bahaya dan tentram.
Catatan I-Tsing
Catatan I-Tsing (tahun 664/665 M) menyebutkan bahwa pada masa abad ke-7 tanah Jawa telah dibuat sebagai salah satu pusat pengetahuan agama Buddha Hinayana. Di Ho-ling tidak kekurangan pendeta Cina bernama Hwining, yang mengalihbahasakan salah satu kitab agama Buddha ke dalam Bahasa Tionghoa. Beliau bekerjasama dengan pendeta Jawa bernama Janabadra. Kitab terjemahan itu ditengahnya memuat kisah perihal Nirwana, tetapi kisah ini berlainan dengan kisah Nirwana dalam agama Buddha Hinayana.
Peninggalan
Peninggalan Kerajaan Ho-ling adalah:
Prasasti Tukmas
Prasasti Tukmas ditemukan di ditemukan di lereng barat Gunung Merapi, tepatnya di Dusun Dakawu, Desa Lebak, Disktrik Grabag, Magelang di Jawa Tengah. Prasasti bertuliskan huruf Pallawa yang berbicara Sanskerta. Prasasti menyebutkan perihal mata cairan yang bersih dan jernih. Sungai yang mengalir dari asal cairan tersebut disamakan dengan Sungai Gangga di India. Pada prasasti itu tidak kekurangan gambar-gambar seperti trisula, kendi, kapak, kelasangka, cakra dan bunga teratai yang yaitu lambang keeratan hubungan manusia dengan dewa-dewa Hindu.[4]
Prasasti Sojomerto
Prasasti Sojomerto ditemukan di Desa Sojomerto, Disktrik Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Prasasti ini beraksara Kawi dan berbahasa Melayu Kuna dan berasal dari perkiraan masa abad ke-7 masehi. Prasasti ini bersifat keagamaan Siwais. Pokok prasasti memuat keluarga dari tokoh utamanya, Dapunta Selendra, yaitu ayahnya bernama Santanu, ibunya bernama Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama Sampula. Prof. Drs. Boechari berpendapat bahwa tokoh yang bernama Dapunta Selendra yaitu cikal-bakal raja-raja keturunan Wangsa Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu.
Candi Angin
Candi Angin ditemukan di Desa Tempur, Disktrik Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Candi Bubrah, Jepara
Candi Bubrah ditemukan di Desa Tempur, Disktrik Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Kedua temuan prasasti ini menunjuk bahwa kawasan pantai utara Jawa Tengah dahulu mengembang kerajaan yang bercorak Hindu Siwais. Catatan ini menunjuk kemungkinan keadaan hubungan dengan Wangsa Sailendra atau kerajaan Medang yang mengembang kemudian di Jawa Tengah Selatan.
Sumber acuan
- ^ Drs. R. Soekmono, (1973 edisi cetak ulang ke-5 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 37.
- ^ Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. hlm. pages 171. ISBN 981-4155-67-5.
- ^ http://regional.kompas.com/read/2008/12/28/08593188/Puncak.Sanga.Likur.Tempat.Ritual.1.Sura
- ^ IPS Terpadu Kelas VII SMP/MTs, Penerbit Galaxy Puspa Mega:Tim IPS SMP/MTs.
|
ensiklopedia.web.id, pasar.gilland-group.com, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, dan sebagainya.