Kakawin Bhomântaka

Kakawin Bhomântaka atau juga dikata menjadi Kakawin Bhomakawya yaitu sebuah kakawin dalam bahasa Jawa Kuna. Kakawin ini merupakan salah satu yang terpanjang dalam Sastra Jawa Kuna, panjangnya mencapai 1.492 bait. Isinya ialah kisah tuturan peperangan selang Prabu Kresna dan sang raksasa Bhoma.

Masa penulisan dan penggubah syair

Tidak diketahui kapan kakawin Bhomântaka ditulis. Penulisnya juga tidak diketahui. Namun menurut P.J. Zoetmulder (1974) yang jelas diketahui ialah bahwa kakawin ini merupakan kakawin terpanjang yang berasal dari Jawa Timur dan kemungkinan bisa dijajarkan dengan kakawin Arjunawiwāha bagi masa penggubahan.

Mengenai nama kakawin

Friedrich, sang pakar sastra Jawa Kuna dari Prusia yang menerbitkan kakawin ini bagi pertama kalinya pada tahun 1852, menyebutnya menjadi kakawin Bhomakāwya. Nama ini memang dikata pada bait ketiga pupuh pertama kakawin ini.. Namun pada kolofon-kolofon naskah-naskah manuskrip nama yang disebutkan yaitu Bhomântaka. Selain itu di tradisi Jawa dan Bali nama yang dikenal yaitu Bhomântaka pula sehingga para pakar seperti Teeuw (1946, 2005), Zoetmulder (1974), dan Robson (2005) belakangnya menggunakan nama Bhomântaka pula.

Ringkasan

Di bawah ini ringkasan kisah yang terkandung dalam kakawin Bhomântaka disajikan. Ringkasan dibagi menurut adegan yang termuat.

Pembukaan 1-2

Kakawin dimulai dengan manggala sang penyair. Prabu Kresna dan saudaranya; Baladewa dikenalkan. Lukisan ibu kota Dwārawati diberikan; sebuah adegan audiensi dan datangnya tamu dari sorga dilukiskan, di mana mereka memohon perlindungan dari Naraka, sang raksasa.

Diceritakanlah bagaima sang Naraka dilahirkan menjadi putra batara Wisnu dan batari Pertiwi, oleh karenanya Naraka memiliki nama Bhoma. Bhoma berarti yaitu “Putra Bumi”. Kesudahan ia menjadi raja dan batara Brahma bertitah bahwa ia akan memerintah tiga dunia. Kresna memutuskan bahwa Samba, putra tertuanya akan dikirimkan bagi mengawal para tapa di Himālaya. Kresna mengajarkan Sāmba kewajiban atau dharmanya menjadi seorang anak lelaki.

Kepergian Samba 3-13

Sāmba bertemu dengan ibunya Jambawatī dan kesudahan berangkat dari istana. Sang raja memberinya wejangan mengenai dharma seorang ksatria; kesudahan iapun dan pengikutnya berangkat ke daerah pedesaan.

Kesudahan lukisan daerah pedesaan diberikan; mereka bermalam di sebuah pertapaan dan diterima di sana. Para balatentara berkata-kata dan bercengkerama. Pertapaan dan daerah pedesaan sampai gunung Himalaya dilukiskan lebih lanjut.

Pertapaan-pertapaan yang dirusak oleh bala Naraka dilukiskan; para raksasa mencium keberadaan mereka dan menyerang pada malam hari. Terjadilah pertempuran sengit; kaum raksasa berhasil dipukul mundur.

Samba kesudahan berlawat pada sebuah pertapaan terpencil dan bercengkerama di sana. Sebuah pertapaan dilukiskan. Sisa-sisa kaum raksasa menyerang kembali; mereka berhasil dipukul mundur oleh para tapa dan Samba. Perjalanan kesudahan dilanjutkan ke tempat larangan Wiśwamitra; Sāmba disambut di sana.

Dharmadewa dan Yajñawatī 14-29

Seorang siswa Wiśwamitra, Guņadewa, mengisahkan tentang komunitas di pegunungan, termasuk yang sekarang telah dihindari dan semasih belumnya dihuni oleh putra batara Wisnu, Dharmadewa yang merupakan kekasih Yajñawatī.

Sāmba teringat bahwa ia pernah terlahirkan menjadi Dharmadewa dan bagaimana ia pergi dari Yajñawatī. Ia kesudahan berusaha keras bagi menemukannya, dan Guņadewa memberinya pelajaran akan anitya. Semetara itu Tilottamā, seorang bidadari datang. Sāmba mengenalnya menjadi dayang Yajñawatī.

Tilottamā memberi tahu bahwa Yajñawatī telah lahir kembali menjadi seorang putri, namun sekarang ia dicekal oleh Naraka. Tilottamā tahu ia dicekal di mana dan berjanji akan mengantar Sāmba.

Kesudahan kecantikan sang putri diperikan; Saharşā bertutur bahwa ia sudah datang. Sang putri kesudahan menyiapkan diri.

Sāmba dan Tillottamā datang; Tilottamā yang pertama masuk dan mendatangi sang putri yang mengharapkan kekasihnya. Sāmba masuk, namun sang putri kelihatannya enggan menjumpainya.

Sāmba berusaha keras bagi melayu sang putri dan memperingati bahwa mereka pada kehidupan semasih belumnya merupakan kekasih. Mereka dipersatukan. Tilottamā merasa cemas, namun Sāmba bertutur bahwa ia bersedia melawan para raksasa. Para dayang-dayang masuk dan melihat pasangan ini baru saja sah pemain cinta.

Dāruki, seorang kusir, masuk dan memperingatkan pangeran Sāmba bahwa mereka dalam kondisi bahaya: para raksasa telah datang. Sāmba pergi dari sang putri dan pertempuran mulai.

Sang putri dibawa ke istana Bhoma 30-43

Para wanita menjadi panik dan para dayang-dayang kesudahan mengungsikan sang putri ke istana Bhoma, Prāgjyotişa. Para raksasa terusir kembali, dan Sāmba kesudahan berusaha menemukan kekasihnya kembali.

Ia berusaha mengejarnya, namun dihalangi oleh Nārada dan menyuruhnya bagi kembali. Pada perjalanan kembali, ia berjumpa dengan Tilottamā dan memohon bagi menyampaikan rasa menantinya kepada sang putri.

Sang pangeran kembali, namun Krĕsna mencemaskannya. Dāruki berusaha memberi tahu apakah yang telah terjadi. Prabu Citraratha diterima di balai audiensi, dikirim oleh Indra, sebab para Dewata terdesak berperang melawan Naraka.

Sang raja berjanji akan memberikan pertolongan dan memohon saran Uddhawa kebijakan apa yang harus diambil. Uddhawa memberi jawaban dengan cakap panjang lebar mengenai kewajiban seorang raja dan bagaimana harus melawan para raksasa.

Maka sang prabu memberi perintah bagi bersiap. Dalam waktu tiga hari balatentara Yadu berangkat. Mereka mencapai lereng Himālaya dan menghasilkan sebuah perkemahan di luar pemukiman musuh. Yajñawatī mendengar bagaimana Sāmba telah datang dan mengirimkan Puşpawatī dengan sebuah pesan.

Penjelasan cinta Yajñawati 41-43

Yajñawatī kesudahan bercerita akan cinta sang putri dan memohon Sāmba bagi mengambilnya. Hari selanjutnya kaum Yadu menyerang; sesudah sebuah pertempuran sengit, para raksasa melarikan diri.

Si raksasa Mura menyerang kembali, namun dibunuh dan kaum Yadu masuk ke dalam istana. Sāmba ada dan menemukan Yajñawatī; kaum Yadu kesudahan pergi.

Sāmba berhasil melarikan Yajñawatī 44-49

Kaum Yadu sungguh lelah dan mereka berkemah bagi bermalam di daerah Magadha. Prabu Jarāsandha mendengar dan menyerang ditolong oleh selimut kegelapan. Sāmba terluka namun bisa melarikan diri dengan sang putri di dalam keretanya; sehabis jauh roda kereta patah. Sang pangeran kesudahan jatuh terpingsan.

Yajñawatī menangis; seorang biku lewat dan merasa iba. Ia merasa kasihan atas keduanya dan memandikan sang pangeran dengan cairan yang dibawa menjadi bekal.

Sang pangeran siuman dan diurusi di dalam pertapaan. Sāmba bermimpi bahwa Batara Wisnu memberinya jiwa-Nya. Dāruki datang dan bercerita apa yang terjadi terhadapnya, kesudahan Sāmba kembali ke Dwārawatī dengan Yajñawatī.

Prabu Druma 50-72

Prabu Druma telah terusir dari negerinya dan sekarang memohon perlindungan Krĕsna. Druma bertutur dengan sebuah dewan penghulu dan Basudewa memberikan sokongannya yang kesudahan diterimanya. Ia kesudahan menjelaskan siapa saja yang tidak kekurangan di sisi Bhoma.

Kaum Yadu mengatakan dukungan mereka dan kesudahan pergi bercengkerama di gunung Rewataka.

Seorang gadis, bernama Kokajā, jatuh cinta dan bercerita kepada sahabatnya bahwa ia menggandrungi putra Prabu Druma, Suratha. Kesudahan sahabatnya pergi berusaha menemukannya..

Isi sebuah surat cinta dilukiskan. Selain itu tidak kekurangan pula lukisan dunia. Para selir membicarakan kewajiban mereka.

Kaum Yadu bercengkerama di gunung Rewataka dan kembali ke negeri.

Penjelasan peperangan Bhoma 73-84

Bhoma sungguh murka atas apa yang terjadi dan kembali dari sorga. Ia bercerita kepada Mahodara bahwa ia berencana bagi melawan Dwārawatī. Ia ditolong oleh Cedi, Awangga, Magadha, dan Kalingga. Bhoma bermusyawarah harus mengambil kebijakan apa. Ia kesudahan mengirimkan Śatruntapa dan menjadi duta ke Krĕsna bagi berusaha menemukan tahu apakah ia bersedia menyerah atau berperang.

Para duta datang dan diterima. Śatruntapa bertutur kepada Baladewa dan Kresna, menyampaikan pesan Bhoma. Gada menjawab dan menyangkal semua gagasannya. Āhuka (Ugrasena) bertutur dengan damai. Śatruntapa murka dan Mahodara bertutur, didatangi oleh Wabhru. Mereka saling menghina dan para duta pergi menuju sang Bhoma.

Bhoma mengatakan peperangan dan mengambil kedudukan di gunung Rewataka dengan bala tentara raksasanya. Kaum Yadu dan sekutu mereka berkumpul dan mendiskusikan rancangan yang harus mereka ambil. Kresna memberikan perintahnya dan para hulubalang telah siap. Malam itu sebuah pesta diberikan.

Keesokan harinya, pagi-pagi Prabu Kresna didatangi oleh Dewi Ganggā yang telah dikirim oleh para Dewata bagi membawa cairan dan memandikannya. Kresna kesudahan berangkat dengan para putranya.

Bala tentara yang telah berkumpul kelihatan. Tiba-tiba sang resi Durwaśa datang bagi menjumpai Kresna, dan memohonnya bagi menyiapkan konsumsi baginya. Kresna kesudahan pergi dan menyerahkan kepemimpinan kepada Arjuna dan Rukma.

Peperangan di Rewataka 85-113

Ketika melihat gunung Rewataka, kedua bala tentara berjumpa. Bhoma memerintahkan Cedi, Karna dan Magadha bagi menantang kaum Yadu. Bhoma memiliki tentara berjumlah lima divisi sedangkan kaum Yadu memiliki tiga.

Para prajurit Bhoma menyerang bala tentara Prabu Bāhlika; bala tentara Cedi menyerang Prabu Drupada; Somadatta melakukan pertandingan dengan Karna; Windu dan Anuwinda dengan Yawana. Kegelapan menimpa ajang pertempuran.

Pertempuran sengit berlanjut. Maka Suratha terluka parah dan tewas. Prabu Śiśupāla (Cedi) tewas. Karna tewas dibunuh Sāmba. Hiraņya terbunuh. Prabu Magadha yang maju tewas dibunuh Gada. Para raksasa ditahan oleh kaum Yadu.

Rukma dibunuh oleh Mahodara; Sāmba dan Dāruki dibunuh oleh Bhoma. Arjuna dan Bhoma bertanding; Arjuna sekarat sementara Bhoma bisa ingat.

Kresna segera diberi tahu yang kesudahan datang dengan sang Baladewa bagi melawan para raksasa.

Dāruki bercerita kepada Krĕsna mengenai rahasia bunga Wijaya Bhoma.

Arjuna belakangnya tewas. Sang resi Durwaśa datang dan memberi anugerah bagi mengembalikan seorang yang telah tewas; Kresna menetapkan pilihan Prabu Druma. Durwaśa memberikan nasihat kepada Krĕsna dan menghilang. Pertempuran sementara tetap berlanjut. Nisunda dan Pañcajana tewas. Hayagrīwa dan Tāra juga tewas.

Bhoma dan Kresna berperang; kereta Maņipuşpaka dihancurkan. Kresna mengambil bentuknya menjadi Wisnu, diiringi oleh Garuda, wahananya yang merebut bunga. Bhoma dibunuh oleh Kresna.

Para raksasa melarikan diri. Baladewa menemukan sebuah gunung permata di angkasa dan mengambilnya. Brahmā datang dan memberikan sembah kepada Kresna menjadi raja utama.

Dewa-dewa lain datang dan Wisnu memberi nasihat mereka atas dharma atau kewajiban setiap. Batara Śakra (Indra) memberi anugerah, sehingga Krĕsna memohon supaya semua raja yang telah tewas dan kaum Yadu dibuat hidup kembali, dan tidak melupakan musuh-musuhnya Cedi, Karna dan Jarāsandha.

Sehabis dibuat hidup kembali, mereka mengira peperangan masih berlangsung; Kresna melayani mantan musuh-musuhnya.

Peperangan belakangnya 114-118

Kresna berpulang ke Dwārawatī dan asmanya yang populer dikenal kembali.

Para ksatria diberi penghargaan dan hadiah. Para pangeran diberi anugerah pula; Sāmba juga diberi hadiah dan Suratha diberi seorang tuan putri bagi diperistri. Keberanian Kresna dikenal seluruh dunia. Ia kesudahan bersanggama dengan empat putri pada waktu yang bersamaan menjadi Wisnu. Semua kasta melaksanakan kewajiban mereka.


Nasihat anitya

Kakawin Bhomântaka sarat dengan ajaran-ajaran yang berkomunikasi dengan agama Hindu dan Buddha. Salah satu nasihat yang dibahas dalam kakawin ini dan akan dibahas lebih lanjut yaitu suatu uraian mengenai "anitya" atau seringkali diartikan dengan “ketidakkekalan” atau “fana” dalam bahasa Indonesia (Inggris impermanence). Nasihat ini terdapat pada pupuh 17 di mana sang Gunadewa yang merupakan seorang putra pertapa mengajarkan ke sang Sāmba. Di bawah diberikan kutipan pupuh ini dalam bahasa Jawa Kuna beserta terjemahannya.

Teks Jawa KunaAlihbahasa
5. munisuta marma temen sira ri lara narèndrasutângaçaPutra sang pertama terharu atas rasa masygul sang pangeran yang luhur
irika matangguh ucap t-adiwasa bapa denta wimūrcha dahatkesudahan iapun mengajarkan kenya dan berkata: “Janganlah terlalu bersedih hati bapak.
purih ikanang dadi duhkha gatinika matangnyan ade hid.epensebab sedih memang anggota dari kehidupan oleh karenanya janganlah dipikirkan
lilang i manah nrepaputra panguşadha sang ārya rikang prihatinhati yang bebas sama sekali dari hasrat oh sang pangeran itulah obat sakit hati seorang bangsawan.
6. hana laki tatwanikang dadi ginaway anitya dadinya kabèhWahai anakku, intisari kehidupan ialah bahwa semuanya yaitu tidak tidak berkesudahan (anitya)
anili-anilih wişaya ng manemu sukha bhinukti mawèh prihatijika seseorang tetap mengambil kenikmatan indria menjadi tujuannya, maka hal yang telah dinikmati akan membawa kesedihan
prawalanikā sang angenak-inaki ng anilih sukha mogha jenektanda seseorang yang dengan cara tenang menerima pengalaman sukacita ialah bahwa ia melakukannya dengan santai
sang anemu bhoga ta yan wruha ta sira pinan.d.ita yogya tirunia yang menikmati kesenangan petuah hal ini, maka ia yaitu bijak dan benar ditiru
7. lawan ikahen ing wwang akuren apasah ta wasānanikāsedangkan hasil orang menikah ialah belakangnya berpisah

sihika sināhaken ing pati kalawan inaknya winas.t.a kabèh || cinta dikalahkan oleh kematian dan semua kenikmatannya hilang

kunang ikanang kari mogha karaketan i ramyaniki n kabharantetapi yang dihindari bagaimanapun rekat dengan keindahannya dan kewalahan
ikang alarê tekaning pati niyata turung wruh ikān mangajiyang tetap bersedih hati sampai mati, jelas belum petuah pelajaran dengan cara penuh.”

Suntingan teks

Suntingan teks edisi Teeuw dan Robson

Kakawin Bhomântaka pertama kali diterbitkan oleh sang pakar sastra Jawa Kuna dari Prusia, Friedrich pada tahun 1852 menggunakan aksara Jawa. Namun terjemahan pertama, dalam bahasa Belanda, baru muncul pada tahun 1946 dan digarap oleh Teeuw. Kesudahan hampir 60 tahun kesudahan, Teeuw bersama Robson menyajikan terjemahan dalam bahasa Inggris.

Sumber referensi

  • Poerbatjaraka dan Tardjan Hadiwidjaja, 1952, Kepustakaan Djawa. Amsterdam/Djakarta: Djambatan
  • A. Teeuw, 1946, Bhomakâwya.
  • A. Teeuw dan S.O. Robson, 2005, Bhomântaka. Leiden: KITLV
  • P.J. Zoetmulder, 1974, Kalangwan. A Survey of Old Javanese literature. The Hague:Martinus Nijhoff


Asal :
id.wikipedia.org, ilmu-pendidikan.com, pasar.kpt.co.id, wiki.edunitas.com, dsb-nya.