Sultan Sepuh dari Banjar

Sultan Banjar
Masa kekuasaan1734-1759
Dinobatkan1734
PendahuluSultan il-Hamidullah
PenggantiSultan Muhammadillah
Anak

1. ♂ Sunan Nata Alam
2. ♂ Pangeran Mangku Dilaga
3. ♂ Pangeran Aria Mangku Negara
4. ♂ Pangeran Isa
5. ♂ Pangeran Berahim[1]
6. ♀ Putri Sara
7.♀ Ratu Anom
8 .♂ Pangeran Prabu

9. ♂ Pangeran Thoha
[2]
WangsaDinasti Banjarmasin
AyahSultan Tahmidullah I

Sultan Sepuh atau Pangeran Tamdjidoellah (ke-1)[3]yaitu Penjabat Sultan Banjar selang tahun 1734-1759[4] atau Panembahan Tingi[5]

Pangeran Tamjid-Allah I semula memegang jabatan mangkubumi kemudian sesudah meninggalnya Sultan Hamidullah dia berperan sebagai wali Putra Mahkota yaitu Muhammad Aliuddin Aminullah yang belum matang. Tetapi kemudian mengangkat dirinya dijadikan Sultan dengan gelar Sultan Sepuh. Pada tahun 1759, sultan Sepuh turun tahta dan kemudian mangkat pada tahun 1767.

Sultan Sepuh ditolong kerabat yang lebih mudanya Pangeran Nullah (Panembahan Hirang) sebagai mangkubumi (kepala pemerintahan). Salah seorang beradik-berkakaknya yang bernama Pangeran Mas Dipati diangkatkan sebagai kepala daerah Negara.

Sultan Tahlilullah berputra enam orang yaitu Pangeran Tamjidullah, Pangeran Nullah, Pangeran Dipati, Pangeran Istana Dipati, Pangeran Wira Kasuma dan Pangeran Mas. Pangeran Mas nantinya dijadikan mangkubumi dengan gelar Ratu Anom Kasuma Yuda (mangkubumi Sultan Tahmidullah II).[6]

Pada tahun 1747, Kyai Martajaya, seorang Banjar dilantik sebagai syahbandar (biasanya jabatan syahbandar dipegang oleh orang Gujarat atau Tionghoa). Kyai Martaraga dilantik dijadikan penghulu (ulama keraton) tahun 1752. Kyai ingabehi Surengrana yang berasal dari Margasari memegang jabatan Puspawana (petugas yang mengurus ternak, padang perburuan, dan sungai untuk persediaan ikan bagi warga istana). Sepupu Sultan Sepuh yang bernama Pangeran Suryanata dijadikan ketua Dewan Mahkota. Dia tinggal di Martapura dan berpulang tahun 1750. Putera almarhum yang bernama Pangeran Prabukasuma menggantikan sebagai ketua Dewan Mahkota. Beberapa anggota Dewan Mahkota tinggal di luar Kayu Tangi yaitu Pangeran Marta dan Pangeran Ulahnegara yang tinggal di Margasari dan Pangeran Wiranata tinggal di Tapin[7]

Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah bin Sultan Hamidullah dijadikan Putra Mahkota dengan gelar Ratu Anum, belakangan dia berhasil menuntut tahta dari pamannya.

Latar Belakangan

Kemangkatan Sultan Hamidullah (Sultan Kuning) tahun 1734, yaitu pertanda awan mendung di kesultanan Banjarmasin. Balik timbul penyakit lama, pertentangan kepentingan perebutan kekuasaan mulai dijadikan kembali. Jangankan putra mahkotanya belum matang pada kala Sultan mangkat. Berdasarkan dengan tradisi, maka wali dipegang oleh pamannya atau kerabat yang lebih muda Sultan Kuning yaitu Pangeran Tamjidillah, sehingga nantinya bila putra mahkota telah matang, barulah tahta kerajaan hendak diserahkan. Pangeran Tamjidillah sebagai wali sultan mempunyai siasat yang semakin jauh, yaitu berkeinginan merupakan hak kekuasaan politik mempunyai dalam tangannya dan keturunannya. Untuk itu, Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah yang telah matang dijadikan menantunya. Dengan perkawinan tersebut, putra mahkota tentunya tidak sampai hati menanti bahkan merebut kekuasaan dari mertuanya, yang berarti sesuai dengan ayahnya sendiri. Kenyataan memang demikian, sehingga putra mahkota belum cukup bernafsu, untuk menanti balik hak atas tahta kesultanan Banjarmasin. Oleh sebab itu, Pangeran Tamjidillah berhasil berkuasa sementara 25 tahun dan mengangkat dirinya dijadikan Sultan dengan gelar Sultan Sepuh (1734-1759).

Tetapi bagaimanapun juga Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah mau mengambil balik hak atas tahta kerajaan sebagai berbakat waris yang aci dari Sultan Kuning/Sultan Chamidullah. Usahanya menanti bantuan VOC merebut tahta dari pamannya, sekaligus juga mertuanya, tidak kunjung tiba, sebab itu dengan inisiatif sendiri, Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah berhasil lepas dari kungkungan pamannya dan melarikan diri ke Tabanio, sebuah pelabuhan perdagangan lada yang terpenting dari kesultanan Banjarmasin. Putera mahkota dijadikan bajak laut untuk mengumpulkan daya, dan menanti kala yang baik merebut balik tahta pamannya. Sementara itu Sultan Tamjidillah pada tahun 1747 membuat janji dagang dengan VOC, yang yaitu landasan bagi VOC, untuk mengadakan hubungan dagang dan politik dengan kesultanan Banjarmasin sampai tahun 1787.

Akad 18 Mei 1747

Akad itu tertanggal 18 Mei 1747 tertulis huruf Arab-Melayu dan bahasa Melayu dan huruf Latin bahasa Belanda. Akad yang tertulis dengan huruf Arab-Melayu dan bercakap Melayu itu diantaranya berbunyi:

Bahwa inilah surat perniagaan dan perkenalan yang telah dimufakatkan oleh Sultan Tamjidillah serta Ratu Anum dan sekalian orang yang besar-besar yang mempunyai memerintahkan dalam negeri Banjar, maka sekalian itu mufakatlah dengan Kompeni Wilandia titah dari pada Gurnadur Jenderal Gustap Wilem Baron pan Imhoff serta dengan Raden pan India yang telah berbuat titah perintah kepada tiga orang Wilandia dan yang dijadikan kepala perintah itu yaitu komandur Astipan Markus pan der Hiden dan dua orang pitur mulia yang seorang Yan pan Suchtelen dan yang seorang Danil pan der Beruh maka yang tiga orang itu sesuai juga menanggung titah itu. Syahdan tersebutlah akad yang telah kemudian itu tatkala pada abad itu yaitu Seri Sultan sangat kasih berkasihan dengan Kompeni Wilandia maka tiba-tiba tiada orang Banjar menurut seperti akad yang telah kemudian itu. Syahdan kemudian dari pada itu yang telah tersebut perlu Kompeni Wilandia membuat surat akad tatkala pada abad Seri Sultan sangat berkasih-kasihan dengan Kompeni Wilandia maka sekonyong-konyong tiada orang Banjar mengikuti seperti akad yang dahulu itu yaitu seakan-akan tiada surat akad yang tinggal kembali pada sekarang ini. Syahdan maka tersebutlah dalamnya Gurnadur Jenderal dan segala Raden pan India dengan segalanya juga menitahkan tiga orang Wilandia hendak membaharui surat akad yang semakin patut selang kedua pihak itu agar kekal berkekalan selama-lamanya dari pada sahabat bersahabat tiada berkali-kali berubah dalam kedua pihak itu dan adapun titah Kompeni itu tertanggung atas tiga orang Wilandia yaitu Komandir Astipan Markus pan der Hiden dan dua orang pitur mulia yaitu Yan pan Suchetelen dan Danil pan der Beruh ialah yang hendak membikin surat akad yang baharu ini[8]

Dari pendahuluan surat akad ini dapat dikenal bahwa akad yang telah dibuat ketika belumnya, tidak ditaati oleh Orang Banjar, sebab Orang Banjar memang dikenal sebagai pedagang bebas tidak mau terikat dengan aturan-aturan yang merugikan perdagangan mereka sendiri. Akad ini dibuat selang Kesultanan Banjar yang diterapkan oleh Sultan Tamjidillah I serta Ratu Anum (Muhammad Aliuddin Aminullah) dengan pihak VOC yang diwakili Steven Marcus van der Heijden, Yan van Suchtelen dan Danil van der Burgh atas perintah Gubernur Jenderal Gustaaf Willem baron van Imhoff.[8]

Gustaaf Willem baron van Imhoff, Gubernur Jenderal VOC tahun 1743-1750

Pasal-pasal dalam akad itu menyangkut perdagangan monopoli lada di dalam Kesultanan Banjar. Dalam akad itu diberitahukan perihal harga patokan lada dan larangan bagi bangsa kulit putih lain daripada VOC mengadakan perdagangan lada dengan Kesultanan Banjar. Pasal-pasal dari akad itu diantaranya adalah :

Pasal yang kelima yaitu Seri Sultan dan Ratu Anum telah berjanji pada hal memberi perniagaan dengan Kompeni Wilandia dan menjual sekalian lada di dalam negeri Banjar maka sekalian lada itu sekali-kali jangan di jual kepada tempat yang lain maka hendaklah Seri Sutan dan Ratu Anum mengerasi atas rakyat sekalian dalam negeri Banjar agar jangan mempunyai yang menjual pada lainnya lain daripada Kompeni jua yang membeli lada itu.

Pasal yang keenam yaitu Seri Sultan dan Ratu Anum membuat akad dengan Wilandia dari pada melarang macam orang putih yang datang berniaga ke negeri Banjar dari pada menjual jualan atau membeli jualan dan jikalau mempunyai seandainya melawan dari larangan itu hendak dihukumkan dengan bagaimana patut hukuman atasnya.

Pasal yang ketujuh mengikat juga gerangan Kompeni Wilandia seperti cakap Seri Sultan dan Ratu Anum dari pada sebuah wangkang Cina yang agar boleh dia datang ke Banjar pada tiap-tiap tahun satu wangkang dan hendak jualannya itu mana sekehendak orang memikili hendak tetapi menjual lada itu sekali-sekali tiada dia boleh orang Banjar menjual lada dengan orang Cina dengan putus harga delapan real dalam sepikul.

Pasal yang kedelapan Kompeni Wilandia telah memutuskan harga lada dengan Seri Sultan dan Ratu Anum yang dalam sepikul itu enam real putus harganya selama-lama tiada berganti hendak tetapi dalam sepikul itu yaitu seratus kati atau seratus dua puluh lima pun dacin. Kompeni yang dipakai dan hendaklah lada itu kering dan bersih dalamnnya jangan mempunyai seperti ciri seperti pasir atau batu yang kecil-kecil dan jikalau menimbang lada itu hendaklah mempunyai dua orang pihak dari pada seri Sultan dan dua orang pula dari pada pihak Kompeni ... ...... ... .....
[8]

Akad itu mengandung dua belas pasal. Disamping kepastian perihal harga yang sudah pasti juga meliputi persyaratan perihal kualitas lada, bahwa lada itu harus kering. Ketentuan monopoli tersebut juga menyangkut perihalnya para pedagang ke negeri Banjar. Orang Cina jangan membeli lada kepada orang Banjar, tetapi harus membeli kepada kompeni. Kompeni membeli lada kepada orang Banjar seharga enam real sepikul sedangkan Kompeni menjualnya kepada orang Cina delapan real sepikulnya.[8]

Monopoli tersebut juga membenahi bahwa Orang Banjar jangan berlayar ke sebelah timur sampai ke Bali, Sumbawa, Lombok, batas ke sebelah barat jangan melalui Palembang, Johor, Malaka dan Belitung. [8]

Kata-kata penutup dari akad itu berbunyi :
Beristirahat surat ini akad yang telah berlaku di dalam istana Seri Sultan dan Ratu Anum di Kayu Tangi yang telah mufakat dengan Kompeni Wilandia dalam hijrat seribu seratus enam puluh tahun kepada tahun Ba dan kepada bulan Rabi’ulawwal dan pada hari Chamis yaitu dua surat yang telah berlaku dan dalam keduanya itu sesuai serta dengan capnya dan tapak tangan dan satu surat yang tinggal dibawah Seri Sultan dan Ratu Anum dan yang satu surat tinggal di bawah Kompeni.
[8]

Akad itu ditandatangani oleh Sultan Tamjidillah I, dengan cap segi delapan di tengahnya tertera huruf Arab dan terbaca Sultan Tamjidillah. Pada proses yang ditandatangani Kompeni tertulis : Terbuat dan tersurat dalam bilik musyawarah kami dalam Kota Intan Batawiah pada enambelas hari bulan Juni tahun seribu tujuh ratus empat puluh tujuh.
[8]

Secara sepintas bahwa akad itu mendudukkan pihak Kompeni Belanda pada jabatan yang semakin dominan, tetapi pada praktiknya kemudian akad itu hanya sekedar siasat bagi pihak kerajaan untuk melindungi terhadap pengaruh pihak lain, sebab Orang Banjar selalu mengadakan transaksi perdagangan secara bebas dengan bangsa apa saja yang membeli lada. Kenyataan ini dapat dikenal bahwa sesudah sembilan tahun kemudian diadakanlah akad balik sebagai usaha Kompeni Belanda untuk semakin mengefektifkan akad tahun 1747.

Akad 20 Oktober 1756

Jacob Mossel, Gubernur Jenderal VOC tahun 1750-1761

Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal VOC Jacob Mossel (1750-1761) dibuat kembali akad baru selang Sultan Sepuh (Tamjidullah I) dengan John Andreas Paravicini komisaris Belanda ditandatangani pada 20 Oktober 1756. Dalam pendahuluan dari surat akad itu sebagai konsiderans dari diadakannya akad diberitahukan bahwa :
Bahwa Tuan Yang Maha Mulia Gubernur Jenderal dan tuan-tuan yang maha bangsawan Raden pan India dengan sangat kesusakaran memandang dan beberapa kali telah mengerti yang Sultan-Sultan Banjar dan dahulu-dahulu sementaranya tinggal dalam tidak cukup pada memelihara hendak bunyi maksud waad akad serta dengan hukum budaya yang tiada berpaut-pautan pada orang yang baik.... [8]

Selanjutnya dapat dibaca dalam konsiderans akad itu bahwa orang Banjar berdagang secara bebas dengan orang Cina, sehingga bunyi dalam akad tahun 1747 tidak sempat ditepati. Konsideran itu berbunyi :
.....Orang Cina sekarang lima tahun lamanya yaitu membawa lada ke negeri Cina daripada yang telah dijanjikan dalam waad akad....... .
[8]

Larangan berdagang dengan orang Cina semakin dipertegas kembali dalam Pasal yang keenam, begitu pula larangan berdagang dengan orang Inggris dan Perancis.

Inti akad diantaranya (pasal 6) :

  • Larangan berdagang lada dengan orang Cina, Inggris dan Perancis. Akad tersebut juga menyangkut komoditas lainnya seperti sarang burung dan intan.
  • Kompeni Belanda hendak membantu Seri Sultan untuk menaklukkan balik daerah kerajaan Banjar yang telah memisahkan diri seperti : Berau, Kutai, Pasir, Sanggau, Sintang dan Lawai serta daerah jajahannya. Kalau berhasil maka Seri Sultan hendak mengangkat Penghulu-Penghulu di daerah tersebut dan selanjutnya Seri Sultan memerintahkan kepada Penghulu-Penghulu tersebut untuk menyerahkan hasil dari daerah tersebut setiap tahun kepada Kompeni Belanda dengan perincian sebagai berikut :
  1. Berau, 20 pikul sarang burung dan 20 pikul lilin.
  2. Kutai, 20 pikul sarang burung dan 40 pikul lilin.
  3. Pasir, 40 tahil emas halus dan 20 pikul sarang burung, serta 20 pikul lilin
  4. Sanggau, 40 tahil emas halus dan 40 pikul lilin[9]
  5. Sintang, 60 tahil emas halus dan 40 pikul lilin
  6. Lawai (alias Pinoh), 200 tahil emas halus, dan 20 pikul sarang burung [8]

Di Majapahit, ukuran timbangan dinamakan sekati, sesuai dengan 20 tahil; setahil sesuai dengan 16 qian; 1 qian sesuai dengan 4 kubana.

Akad 27 Oktober 1756

Sebagai upaya merebut kekuasaan dari pamannya, seminggu kemudian dijadikan kembali akad yang dibuat oleh Tuan Almusyarafat Pangeran Ratu Anom yaitu gelar dari Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah, menantu Seri Sultan Tamjidillah I dan juga keponakan Sultan dengan Kompeni Belanda. Akad itu ditandatangani di benteng Tatas (sekarang Banjarmasin Tengah) pada 27 Oktober 1756. Akad ini dibuat atas inisiatif sendiri dari Ratu Anom (artinya Putra Mahkota) dalam usahanya memperoleh tahta dari mertuanya, berdasarkan dengan akad bahwa Seri Sultan Tamjidullah I sebetulnya hanya berfungsi sebagai wali, sementara Ratu Anom belum matang. Pasal yang kedua dari akad yang dibuatnya, menerangkan usahanya merebut kekuasaan dan juga kekuasaan yang sekarang dipegang oleh Seri Sultan Tamjidillah I yaitu perbuatan seorang jahil yang hendak menghilang asal keturunan Sultan Banjar yang aci.

Sultan Sepuh/Tamjidullah I hasilnya menyerahkan tahta kepada Pangeran Ratu Anom pada tahun 1759 yang mengambil gelar Sultan Muhammadillah, sedangkan Pangeran Tamjidullah I sendiri meloloskan gelar Sultan kemudian menyebut dirinya hanya sebagai Panembahan, tetapi kemudian Sultan Muhammadillah/Pangeran Ratu Anom berpulang pada tahun 1761. Kekuasaan balik mempunyai di tangan Pangeran Tamjidullah I kemudian dia menuding puteranya Pangeran Nata Dilaga sebagai Wali Sultan (1761-1767) dengan gelar Panembahan Kaharuddin Khalilullah. Pangeran Mas kerabat yang lebih muda Pangeran Tamjidullah I dilantik sebagai mangkubumi dengan gelar Ratu Anum Kasuma Yuda dalam masa pemerintahan tersebut.[6]

Sebelumnya:
Sultan il-Hamidullah
Sultan Banjar
1734-1759
Digantikan oleh:
Muhammad Aliuddin Aminullah
Sebelumnya:
Pangeran Suria Nagara
Mangkubumi
1730-1734
Digantikan oleh:
Pangeran Nullah

Rujukan

  • Arsip Nasional, Surat-Surat Akad selang Kesultanan Bandjarmasin, dengan Pemerintahan VOC, Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia Belanda 1835-1860, Jakarta, 1965, hal. 34.


Sumber acuan

  1. ^ http://sinarbulannews.wordpress.com/2011/01/02/silsilah-keturunan-sultan-adam-al-wasikubillah-martapura-kerajaan-banjar
  2. ^ Sejarah Kerajaan Banjar
  3. ^ (Belanda) Cornelis Noorlander, Johannes (1935). Bandjarmasin en de Compagnie in de tweede helft der 18de eeuw. M. Dubbeldeman. hlm. 43. 
  4. ^ Regnal Chronologies Southeast Asia: the Islands
  5. ^ (Indonesia) M. Gazali Usman, Kerajaan Banjar: Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam, Banjarmasin: Lambung Mangkurat Press, 1994.
  6. ^ Kekeliruan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama tutur_candi
  7. ^ http://eprints.lib.ui.ac.id/12976/1/82338-T6811-Politik%20dan-TOC.pdf
  8. ^ a b c d e f g h i j (Indonesia) Bandjermasin (Sultanate), Surat-surat perdjandjian selang Kesultanan Bandjarmasin dengan pemerintahan2 V.O.C.: Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia- Belanda 1635-1860, Penerbit Arsip Nasional Republik Indonesia, Kompartimen Perhubungan dengan Rakjat 1965
  9. ^ Belakangan Sanggau ditaklukan oleh Sultan Pontianak, sedangkan Sintang dan Lawai (Kabupaten Melawi) tetap dimasukan dalam mandala Kesultanan Banjar.


Sumber :
wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, ensiklopedia.web.id, pasar.andrafarm.com, dsb-nya.