Dharanindra

Dharanindra, atau sesekali disingkat Indra, merupakan seorang raja dari Wangsa Sailendra yang memerintah lebih kurang tahun 782. Namanya ditemukan dalam prasasti Kelurak dengan didampingi gelar Sri Sanggrama Dhananjaya. Tokoh ini dipercaya telah berhasil melebarkan wilayah kekuasaan Wangsa Sailendra sampai ke Semenanjung Malaya dan daratan Indocina.

Salah satu gagasan yang diterangkan Sejarawan Slamet Muljana menyebut Dharanindra identik dengan Sri Maharaja Rakai Panunggalan, merupakan raja ketiga Kerajaan Medang periode Jawa Tengah, atau yang lazim dinamakan Kerajaan Mataram Kuno.

Penumpas musuh-musuh perwira

Nama Dharanindra terdapat dalam prasasti Kelurak tahun 782. Dalam prasasti itu ia dipuji sebagai Wairiwarawiramardana, atau "penumpas musuh-musuh perwira". Julukan yang mirip terdapat dalam prasasti Nalanda, merupakan Wirawairimathana, dan prasasti Ligor B merupakan Sarwwarimadawimathana.

Sejarawan Slamet Muljana menganggap ketiga julukan tersebut merupakan istilah untuk orang yang sama, merupakan Dharanindra. Dalam prasasti Nalanda, Wirawairimathana memiliki putra bernama Samaragrawira, ayah dari Balaputradewa (raja Kerajaan Sriwijaya). Dengan ujar lain, Balaputradewa merupakan cucu Dharanindra.

Sementara itu prasasti Ligor B yang memuat kata Sarwwarimadawimathana menurut gagasan Sejarawan George Cœdès dibawa keluar oleh Maharaja Wisnu raja Sriwijaya. Prasasti ini diasumsikan lanjutan dari prasasti Ligor A, yang berangka tahun 775. Dalam hal ini Slamet Muljana berpendapat bahwa, hanya prasasti A saja yang ditulis tahun 775, sedangkan prasasti B ditulis sesudah Kerajaan Sriwijaya jatuh ke tangan Wangsa Sailendra.

Gagasan Muljana merupakan terdapat perbedaan kelola bahasa selang prasasti A dan B, sehingga kedua prasasti itu menurutnya ditulis dalam waktu yang tidak bersamaan. Ia akhir memadukannya dengan berita dalam prasasti Po Ngar, bahwa Jawa sudah melalui menguasai dan memerintah Kamboja (Chen-La) sampai tahun 802. Selain itu, Jawa juga sudah melalui menyerang Campa tahun 787.

Jadi, menurut teori Slamet Muljana, Dharanindra sebagai raja Jawa telah berhasil menaklukkan Kerajaan Sriwijaya, termasuk daerah bawahannya di Semenanjung Malaya, merupakan Ligor. Prasasti Ligor B ditulis olehnya sebagai pertanda bahwa Wangsa Sailendra telah berkuasa atas Sriwijaya. Prasasti ini memuat puji-pujian untuk dirinya sebagai penjelmaan Wisnu. Daerah Ligor akhir dijadikannya sebagai pangkalan militer untuk menyerang Campa tahun 787 dan juga Kamboja.

Penaklukan terhadap Sriwijaya, Ligor, Campa, dan Kamboja ini berdasarkan dengan julukan Dharanindra, merupakan "penumpas musuh-musuh perwira". Kamboja sendiri akhir-akhirnya berhasil merdeka di bawah pimpinan Jayawarman tahun 802. Mungkin saat itu Dharanindra telah wafat.

Dalam teorinya, George Coedes menganggap Maharaja Wisnu merupakan ayah dari Dharanindra. Sementara itu, Slamet Muljana menganggap Wisnu dan Dharanindra merupakan orang yang sama. Selain karena kemiripan julukan, juga karena kemiripan arti nama. Wisnu dan Dharanindra menurutnya sama-sama bermakna “pelindung jagad”.

Hubungan dengan Rakai Panangkaran

Rakai Panangkaran merupakan raja kedua Kerajaan Medang (periode Jawa Tengah) versi prasasti Mantyasih. Pada tahun 778 ia membangun Candi Kalasan atas permohonan para guru raja Sailendra.

Menurut teori van Naerrsen, Rakai Panangkaran merupakan anggota Wangsa Sanjaya yang dijadikan bawahan raja Sailendra. Nama raja Sailendra itu akhir ditemukan dalam prasasti Kelurak (782), merupakan Dharanindra. Dengan ujar lain, Dharanindra merupakan atasan Rakai Panangkaran.

Menurut teori Marwati Pusponegoro dan Nugroho Notosutanto, Wangsa Sanjaya tidak sudah melalui aci karena tidak sudah melalui disebutkan dalam prasasti mana pun. Sanjaya dan Rakai Panangkaran merupakan anggota Wangsa Sailendra tetapi lain agama. Sanjaya beribadat Hindu Siwa, sedangkan Rakai Panangkaran merupakan putranya yang berpindah agama dijadikan penganut Buddha Mahayana.

Teori ini mengusir anggapan bahwa Rakai Panangkaran merupakan bawahan Wangsa Sailendra, karena ia sendiri dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka (permata Wangsa Sailendra) dalam prasasti Kalasan (778). Jadi, yang dimaksud dengan "para guru raja Sailendra" tidak lain merupakan para guru Rakai Panangkaran sendiri. Prasasti Kalasan dan prasasti Kelurak hanya berselisih empat tahun, aci probabilitas akbar dibawa keluar oleh raja yang sama. Dengan ujar lain, Dharanindra merupakan nama asli Rakai Panangkaran.

Menurut teori Slamet Muljana, Rakai Panangkaran bukan putra Sanjaya. Keduanya bermula dari dua dinasti yang lain. Rakai Panangkaran merupakan anggota Wangsa Sailendra yang berhasil merebut takhta Kerajaan Medang dan mengalahkan Wangsa Sanjaya. Bila ia hanya dijadikan raja bawahan saja, maka ia tidak mungkin bergelar maharaja dan dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka. Sementara itu, menurut prasasti Kalasan, nama asli Rakai Panangkaran merupakan Dyah Pancapana, aci tidak mungkin sama dengan Dharanindra. Dengan ujar lain, Dharanindra merupakan raja pengganti Rakai Panangkaran.

Dalam prasasti Mantyasih dikenal nama raja Kerajaan Medang sesudah Rakai Panangkaran merupakan Rakai Panunggalan. Jadi, menurut teori Slamet Muljana, Dharanindra merupakan nama asli dari Rakai Panunggalan.

Kepustakaan

  • Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
  • Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Pengetahuan
  • Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS


Menurut teori George Coedes:

Sebelumnya:
Maharaja Wisnu
Raja Wangsa Sailendra
? – 782 - ?
Digantikan oleh:
Samaratungga

Menurut teori Pusponegoro – Notosutanto:

Sebelumnya:
Sanjaya
Raja Wangsa Sailendra
? – 782 - ?
Digantikan oleh:
Samaratungga

Menurut teori Slamet Muljana:

Sebelumnya:
Rakai Panangkaran
Raja Medang (periode Jawa Tengah)
? – 782 - ?
Digantikan oleh:
Rakai Warak


Sumber :
id.wikipedia.org, civitasbook.com (Ensiklopedia), pasar.ggkarir.com, wiki.edunitas.com, dll-nya.