Masjid Mantingan

Masjid Mantingan
LetakMantingan
Jepara, Jawa Tengah, Indonesia
Afiliasi agamaIslam
Deskripsi arsitektur
Macam arsitekturMasjid
Gaya arsitekturTajug
Tahun selesai1559
Spesifikasi


Masjid Mantingan yaitu sebuah masjid lawas di Desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Masjid ini konon didirikan pada masa Kesultanan Demak.

Letak dan Aksesibilitas

Masjid dan Makam Mantingan terletak 5 km arah selatan dari pusat kota Jepara di desa Mantingan kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara. Masjid dan Makam Mantingan berdiri dalam satu kompleks yang mudah dijangkau dengan kendaraan roda empat dari beragam jurusan dengan sarana jalan aspal. Obyek wisata sejarah ini dengan sarana angkutan jurusan Terminal Jepara – Mantingan yang dapat ditempuh beberapa menit.

Sejarah dan Legenda

Masjid Mantingan adalah masjid kedua setelah Masjid Agung Demak, bangunan pada tahun 1481 Saka atau tahun 1559 Masehi berdasarkan candrasengkala yang terukir pada mihrab Masjid Mantingan berbunyi “Rupa Brahmana Warna Sari”. Pembangunan masjid ini berkait dengan anak R. Muhayat Syeh, sultan Aceh, yang bernama R. Toyib. Pada awalnya R. Toyib yang dilahirkan di Aceh ini menimba ilmu ke Tanah Suci dan Negeri Cina (Campa) untuk dakwah Islamiyah. Ia pergi ke Jawa (Jepara) dan menikah dengan Ratu Kalinyamat (Retno Kencono). Ratu ini yaitu putri Sultan Trenggono, sultan Kerajaan Demak. Pengahabisannya beliau mendapat gelar Sultan Hadlirin dan sekaligus dinobatkan menjadi raja muda Jepara sampai wafat. [1]

Masjid ini adalah salah satu pusat aktivitas penyebaran agama Islam di pesisir utara Pulau Jawa dan adalah masjid kedua setelah masjid Agung Demak. Konon, pengawas pekerjaan pembangunan masjid ini yaitu Babah Liem Mo Han.

Arsitektur Masjid

Didirikan dengan lantai tinggi ditutup dengan ubin bikinan Tiongkok, dan demikian juga dengan undak-undakannya. Semua benda tersebut diikutkan dari Makao. Kontruksi atap termasuk bubungan yaitu gaya Tiongkok. Dinding luar dan dalam dihiasi dengan piring tembikar bergambar biru, sedang dinding sebelah tempat imam dan khatib dihiasi dengan relief-relief persegi.

Salah satu ciri masjid ini yaitu reliefnya. Beberapa di selanya memiliki pola tanaman yang membentukkan rupa makhluk hidup, sehingga tidak dapat dituturkan melanggar larangan agama Islam.

Kompleks Makam dan Kepercayaan Masyarakat

Berdekatan dengan kompleks masjid[2] terdapat makam Sultan Hadlirin (atau Sunan Mantingan). Selain itu terdapat pula makam Ratu Kalinyamat, Patih Sungging Badarduwung seorang keturunan Cina yang bernama Cie Gwi Gwan. Terdapat juga makam Mbah Abdul Jalil, yang disebut-sebut menjadi nama lain Syekh Siti Jenar.

Makam ini selalu ramai dikunjungi pada saat khol untuk mengingatkan wafatnya Sunan Mantingan berikut upacara tukar luwur (Penggantian Kelambu). Upacara ini dipersiapkan setiap satu tahun pada tanggal 17 Rabiul 'Awal, sehari sebelum peringatan Hari Jadi Jepara. Makam Mantingan sampai sekarang masih diasumsikan sakral dan mempunyai tuah bagi masyarakat Jepara dan sekitarnya. Pohon pace yang tumbuh disekitar makam, konon bagi Ibu-ibu yang sudah sekian tahun menikah belum dikarunia putra disandarkan sering berziarah ke Makam Mantingan dan mengambil buah pace yang jatuh untuk diproduksi rujak kemudian dimakan bersama suami. [3]

Cairan keramat

Kepercayaan lain yaitu tidak kekurangannya tuah[4] cairan mantingan yang menurut kisahnya ampuh untuk menguji kejujuran seseorang dan membuktikan hal mana yang telah tersedia dan yang salah. Biasanya cairan keramat ini dipakai masyarakat Jepara dan sekitarnya bila sedang menghadapi suatu sengketa. Cairan ini diberi mantra dan doa lalu diminum.

Rujukan

Masjid akbar dan bersejarah di Indonesia
 
Sumatera
 
Jawa
 
Kalimantan
 
Sulawesi
 
Nusa Tenggara
 
Maluku
 
Papua


Sumber :
andrafarm.com, pasar.ggiklan.com, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, dan sebagainya.