Venerable Kaundinya |
---|
Pribadi |
---|
Lahir | Zaman ke-6 SM |
---|
Karir sangat memuja-muja |
---|
Guru | Gautama Buddha |
---|
Kaundinya (Sanskerta: कौण्डिन्य, Kauṇḍinya, Pali: Kondañña) juga dikenal sebagai Ajnata Kaundinya (Sanskerta: अज्ञात कौण्डिन्य, Ājñātakauṇḍinya, Pali: Añña Kondañña) merupakan seorang bhikkhu buddhis dalam sangha Buddha Gautama dan merupakan orang pertama yang dibuat sebagai arahat. Ia hidup pada zaman ke-6 SM di tempat yang dikenal sekarnag sebagai Uttar Pradesh dan Bihar, India.
Kaundinya merupakan seorang brahmin muda yang menonjol karena keunggulannya akan veda dan yang belakang sekali diangkat sebagai filolog mahkamah kerajaan oleh Raja Suddhodana dari wangsa Sakya di Kapilavastu. Kaundinya merupakan filolog satu-satu-nya yang dengan tegas memperkirakan kelahiran Pangeran Siddharta bahwa pangeran yang belakang sekali akan dibuat sebagai seorang Buddha yang tercerahkan, dan bersumpah untuk dibuat sebagai pengikutnya. Kaundinya dan keempat koleganya memasuki Siddharta dalam petapaan selama enam tahun, tetapi memisahkan diri sehabis Siddharta membelakangi praktek penyiksaan diri. Menjelang pencerahannya, Siddharta menyampaikan dharma pertama kali kepada gugusan Kaundinya. Kaundinya merupakan orang pertama yang ajaran nasihat tersebut dan sekaligus dibuat sebagai bhikkhu dan arahat pertama.
Kaundinya dipandang sebagai yang terkemuka dari lima pengikut permulaan Buddha yang yang belakang sekali berkelana mengelilingi India manfaat menyebarkan nasihat dharma. Punna, keponakannya, yang dikenal Buddha sebagai pengkhotbah dharma terkemuka. Pada tahun-tahun paling hasilnya, ia mengasingkan diri ke Pegunungan Himalaya dan meninggal ketika belum Buddha.
Kelahiran terdahulu Kaundinya digambarkan dibanyak sastra Buddhis. Catatan-catatan ini menegaskan bahwa ia bersumpah di keberadaannya terdahulu untuk dibuat sebagai orang pertama yang ajaran dharma ketika diserukan oleh seorang Buddha yang tercerahkan. Catatan tersebut mendokumentasikan permulaan mula hubungannya dengan Buddha Gautama sebagai arahat pertama yang dimulai pada keberadaan terdahulu dimana mereka mempunyai kalanya bertemua.
Tahun permulaan
Kaundinya lahir ketika belum Siddharta di keluarga brahmin kaya di sebuah kota bernama Donavatthu, dekat Kapilavastu, dan dikenal dengan nama keluarganya. Ketika beranjak matang, ia merebut tiga veda pada usia belia dan unggul dalam pengetahuan fisiognomi (lakhana-manta).[1]
Kaundinya dibuat sebagai seorang filolog brahmin muda di Kapilavastu di kerajaan Sakya dari Raja Suddhodana. Ia merupakan satu dari sekelompok filolog yang diundang ke mahkamah kerajaan untuk memperkirakan takdir Putera Mahkota Siddharta pada perayaan pemberian nama. Siddharta merupakan anak pertama dari Suddhodana dan Ratu Maya dari dua puluh tahun pernikahan dan jumlah keinginan diinginkan dari bayi itu, mulai dari komunitas kerajaan hingga masyarakat umum. Filolog lain mengangkat dua jari dan menawarkan agak rangkat: Bahwa Siddhartha yang belakang sekali hari dibuat sebagai seorang Chakravarti (raja agung) atau meloloskan keduniawian dan dibuat sebagai seorang pemimpin agama yang luhur. Kaundinya merupakan satu-satunya filolog yang dengan tegas memperkirakan bahwa Siddhartha akan meloloskan keduniawian dan dibuat sebagai seorang Buddha, mengangkat satu jari dan menyampaikan agaknya.[2]
Kaundinya yang belakang sekali bersumpah bahwa ia untuk ikut ketika Siddharta dibuat sebagai seorang petapa manfaat mendalami penemuan olehnya yang yang belakang sekali dibuat sebagai Buddha.[1] Untuk sementara waktu, Suddhodana berusaha untuk menggagalkan agak Kaundinya karena ia menginginkan anaknya untuk dibuat sebagai penerus manfaat merebut dan memperluas kerajaan. Suddhodana membikin peraturan-peraturan berbelit untuk menjadikan lepas sama sekali dari bahaya Siddharta dari segala penderitaan duniawi manfaat membelokkan konsepnya akan hal-hal spiritual, memanjakannya dengan segala kemewahan materi dan rasa senang yang dapat ia temukan. Akan tetapi, tamat Siddharta membujuk ayahnya untuk mengizinkannya keluar istana dan berjumpa dengan subyek-subyeknya. Suddhodana membenarkan, tetapi berusaha untuk menyajikan cerminan keberadaan manusia yang bersih dengan memerintahkan orang minta-minga, orang tua dan orang sakit untuk dibuat menjadi jauh dari jalan-jalan. Akan tetapi, Siddharta melihat empat penglihatan yang menyebabkan pemberian nilai ulang akan orientasinya akan keduniawian.[3]
Penolakan dan Arahat
Ketika Siddharta berusia 29 tahun, ia meloloskan keduniawian manfaat dibuat sebagai seorang petapa. Kaundinya, bersama dengan Bharika (Bhaddiya, Baspa (Wappa), Mahanama dan Asvajit (Assaji), secara beragam digambarkan sebegai empat dari selang filolog yang memperkirakan masa depan Siddharta, atau anak dari filolog tersebut) memasukinya menjalani kehidupan sebagai seorang petapa, dengan persetujuan dari Suddhodana yang khawatir akan keselamatan Siddharta. Hal tersebut dikenal dengan Pancavaggiya (Gugusan Lima) atau Pancaka Bhadravargiya (Gugusan Lima Keberuntungan).[1] Sehabis memahami seluruh nasihat Arada Kalama (Alara Kalama) dan yang belakang sekali Udraka Ramaputra (Uddaka Ramaputta), ia melanjutkan dan mulai menjalani penyiksaan diri bersama dengan Kaundinya dan keempat koleganya di Uruvilva (Uruvela). Kaundinya dan koleganya mendampingi Siddharta dengan harapan bahwa ia dibuat sebagai yang tercerahkan menjalani penyiksaan diri. Hal ini melibatkan penolakan-diri akan konsumsi dan cairan, dan mendekatkan diri mereka pada hal-hal yang dekat dengan kematian selama enam tahun, dimana pada saat ini Siddharta menolah penyiksaan-diri. Kaundinya dan koleganya dibuat sebagai kecewa, menduga Siddharta dibuat sebagai rakus dan menjauh dari Mrgadava (Isipatana), dekat Varanasi manfaat melanjutkan latihan mereka.[1]
Sehabis Siddharta dibuat sebagai Buddha Gautama yang tercerahkan, ia berusaha untuk berusaha mendapatkan guru-guru terdahulunya Arada Kalama dan Udraka Ramaputra manfaat mengajari mereka. Mengenali bahwa mereka telah meninggal, Buddha meneguhkan untuk menemukan Kaundinya dan rekannya untuk membagikan nasihatnya. Kaundinya dan rekan ragu akan Buddha Gautama sehabis penolakannya akan astekisme, permulaannya tidak menerima mengakui keberadaanya, kecuali menawarkan tempat duduk di lantai. Akan tetapi, petapa tersebut berhasil dipengaruhi ketika mereka merasa bahwa Buddha telah berubah sejak saat mereka membelakanginya. Buddha Gautama menyampaikan Dhammacakkappavattana Sutta (Pali; Skt., Dharmacakra Pravartana Sutra), yang berhubungan dengan Empat Kebeneran Agung dan Yang dilalui Utama Berunsur Delapan, sokoguru utama nasihat Buddhis mengenai keberadaan penderitaan yang hakiki dan bagaimana menanggapinya. Kaundinya mencapai tingkatan arahat Sotapatti ketika mendengarkan hal ini, dibuat sebagai manusia pertama yang ajaran ajaran-ajaran tersebut.[4] Buddha menyadari hal ini dengan menegaskan "annasi vata bho Kondanno" (berarti "kamu telah menyadari, Kondanna" ; bahasa Inggris: you have realised, Kondana). Lima hari yang belakang sekali, mendengarkan lanjutan Anattalakkhana Sutta mengenai ketiadaan-diri atau ketiadaan-jiwa (Anatta), Kaundinya mencapai tingkat arahat sepenuhnya. Kaundinya yang belakang sekali dibuat sebagai arahat pertama.[1] Menyadari tingkat arahat yang dicapainya, ia memohon izin dari Buddha manfaat mengundurkan diri dari keduniawian, yang disetujui dengan ucap "ehi bhikkhu". Oleh karenanya, Kaundinya dibuat sebagai bhikkhu (pendeta) pertama dalam keberadaan Buddha, yang dikenal dengan istilah sangha. Kemudian, perkumpulann di Jetavana menceritakannya sebagai bhikkhu terkemuka selang bhikkhu-bhikkhu dan pengikut permulaan.[1]
Sehabis pencerahan
Menyusul munculnya sangha, Kaundinya dan para bhikkhu lain berkelana bersama-sama Buddha dengan berjalan kaki menjalani wilayah dataran Gangga yang sekarang dikenal sebagai Bihar dan Uttar Pradesh manfaat menyebarkan nasihat dhamma. Kaundinya membantu para pengikut beralih kepercayaan kepada nasihat Buddha, yang paling terkemuka merupakan keponakannya Punna, lahir dari saudara perempuannya Mantani. Hal ini terjadi pada saat Buddha tidak kekurangan di Rajagaha, wilayah yang segera dikunjungi sehabis menyampaikan Kesadarannya manfaat memenuhi akad untuk menyampaikan nasihatnya kepada Raja Bimbisara. Pada waktu yang bersamaan, Kaundinya lagi ke kampung halamannya di Kapilavastu dan menahbiskan Punna. Punna mencapai tingkat arahat dan 500 anggota gugusannya dibuat sebagai bhikkhu. Buddha yang belakang sekali menceritakan Punnya sebagai pengikut terkemuka dalam kecakapannya dalam berceramah.[5]
Sebagai seorang bhikkhu Buddha Gautama yang tertua, tulisan-tulisan dan ceramah Kaundinya kepada bhikkhu lainnya dicatat dalam bentuk sastra. Sebuah puisi yang memuat enambelas ayat dalam Theragatha ditujukan padanya. Satu dari ayat ini diyakini telah diresitasi oleh Sacca sebagai bentuk pemujaan kepada Kaundinya, sehabis Kaundinya menyampaikan khotbah tentang Empat Kebenaran Agung pada Sacca. Pada ayat lain, Kaundinya menegur bhikkhu-bhikkhu yang menjalankan nasihat yang berlawanan dengan nasihat Buddhis. Kaundinya juga dikenal akan perjuangannya melawan Mara, setan yang berusaha untuk mencegah pencerahan Buddha. Buddha juga memuji Kaundinya dalam Udana, yang melihat pembebasan dari keinginan yang menghancurkannya.[1]
Sehabis sebagian waktu di dalam sangha, Kaundinya mengasingkan diri ke Pegunungan Himalaya selama dua belas tahun paling kesudahan kehidupannya. Hal ini ditambahkan sebagai dua gagasan di dalam sastra Buddhis. Gagasan pertama merupakan bahwa Kaundinya menganggap keberadaannya sebagai asal ketidaknyamanan Sariputra dan Moggallana, dua pemimpin pengikut Buddha. Sebagai anggota paling tua di sangha, Kaundinya memimpin para bhikkhu dalam kunjungan memohon sedekah, tetapi selama penyampaian dharma, kedua pemimpin pengikut duduk pada masing-masing sisi Buddha dan Kaundinya tidak kekurangan dibelakang mereka. Kedua pengikut merasa tidak nyaman duduk di depan Kaundinya, sehingga ia meneguhkan untuk membereskan permasalah tersebut dengan tidak mempunyai. Gagasan lain mengenai kepergian Kaundinya merupakan untuk memiliki bertambah jumlah waktu tenang dalam menjalankan budaya agamawi, yang dibuat sebagai sukar karena perhatian yang diperoleh sangha dari masyarakat umum.[1]
Menurut Samyutta Nikaya, Kaundinya mengasingkan diri ke tepi Danau Mandakini di hutan Chaddanta, yang dinamakan sebagai tempat tinggal para paccekabuddha. Dituliskan bahwa 8000 gajah di hutan bergantian menyediakan kebutuhannya. Kaundinya hanya satu kali membelakangi tempat tersebut, manfaat mengucapkan selamat tinggal kepada Buddha Gautama. Kaundinya mencium kaki Buddha dan mengusap dengan tangannya. Ia menganjurkan para pengikutnya untuk tidak bersedih cita akan dirinya ketika belum lagi ke hutan untuk meninggal di pagi hari berikut.
Ia dikremasikan diatas onggokan kayu sandalwood bangunan atas pertolongan gajah-gajah, upacaya ini diketuai oleh Anuruddha, satu dari sepuluh pemimpin pengikut dan lima ratus bhikkhu lainnya. Sisa dari pembakaran yang belakang sekali dibawa ke Veluvana, yang yang belakang sekali diabadikan dalam stupa perak.[1]
Kelahiran lagi ketika belum dan yang akan datang
Sama jalannya dengan doktrin Buddhis akan kelahiran lagi, keberadaan terdahulu Kaundinya diterangkan dalam naskah-naskah Buddhis. Naskah tersebut berulang kali menunjuk sebuah alur dimana Kaundinya memiliki keinginan agamawi pada kelahiran-kelahiran terdahulunya, jumlah darinya merupakan keadaan kelahiran-kelahiran terdahulu Buddha dan pengikut terkemuka lainnya. Hal ini merupakan hal biasa di selang pengikut-pengikut terkemuka, yang seluruhnya mengalami jumlah pertemuan dengan Buddha Gautama yang akan datang di kehidupan terdahulu, hal ini konsisten dengan konsep Buddhis sebab dan yang belakang sekali suatu peristiwa dan karma. Dalam sastra Theravada yang bercakap Pali, Kaundinya dibicarakan mulai berusaha untuk pencerahan pada masa Padumuttara Buddha, Buddha ke-13. Seorang anak dari kepada rumah tangga kaya di Hamsavati, Kaundinya melihat seorang pendeta yang merupakan pengikut pertama Buddha Padmuttara. Kelahiran lagi Kaundinya terdahulu dianugerahi Buddha dan sangha dan berharap bahwa ia dibuat sebagai pengikut pertama Buddha medatang. Padumuttara dibicarakan telah bernubuat manfaat memenuhi hal tersebut dalam masa Buddha Gautama, 1000 aeon pada masa mendatang. Sehabis meninggalnya Buddha Padmuttara, Kaundinya membangun ruangan bertahtakan batu mutiara di dalam cetiya dimana relik disimpan dan juga membikin persembahan yang dihiasi dengna batu permata. Apadana mempersembahkan hal yang selisih pada reinkarnasi ini. Disebutkan bahwa Kaundinya merupakan orang pertama yang mempersempahkan konsumsi kepada Padumuttara dan dibuat sebagai seorang dewa di dunia Tusita. Dibicarakan bertambah lanjut bahwa selama waktu Buddha Vipassi, Kaundinya merupakan adalah kepala rumah tangga bernama Mahakala yang mempersembahkan hasil pertama dari ladangnya dalam sembilan tingkatan penghasilan kepada Buddha. Mahavastu memberikan pernyataan lain yang menjelaskan sumpah Kaundinya untuk mencapai tingkat arahat pada kelahiran lagi paling hasilnya. Catatan ini juga menambahkan bahwa ia merupakan seorang pembuat tembikar di Rajagaha pada keberadaan terdahulu. Seorang Paccekabuddha yang menderita penyakit yang berhubungan dengan empedu berusaha mendapatkan tempat bernaung di tempat pembuat tembikar dan dibuat sebagai sembuh. Pada saat yang sama, sebagian Paccekabbudha lain datang mengunjungi pondok manfaat menanyakan keadaan kesehatan rekan mereka. Pembuat tembikar menanyakan kepada mereka siapa yang terlebih dahulu menyadari dharma, dimana sang pasien menjawab dengan nada membenarkan. Oleh karena itu, pembuat tembikar membikin sumpahnya.[1]
Walaupun terdapat perbedaan pernyataan, seluruhnya membenarkan kata-kata yang dipakai ketika menyampaikan sumpahnya:
Dengan rahmat yang telah diri sendiri raih dengan menjalankan pelayanan ini kepadamu, kalau diri sendiri dibuat sebagai orang pertama yang menyadari dharma ketika disebutkan oleh Yang Mahamulia. Kalau diri sendiri tidak haus akan kemenangan dan kehormatan. Kalau diri sendiri hanya berharap akan ranjang terpisah dan mangkuk meminta-minta. Kalau diri sendiri membaringkan tubuh diri sendiri di selang jeram dan tempat buka di hutan, meninggal duni sebatang kara.
[1]
(Inggris) By the merit I have acquired by doing this service of attending on you, may I be the first of all to realise the dharma when proclaimed by an Exalted One. May I not crave for gain and honour. May I wish only for a solitary bed and begging bowl. May I lay aside my body among the cascades and forest glades, dying all alone.[1]
Dalam sebagian kelahiran-kembali terdahulu dimana Kaundinya dan Buddha Gautama berpintas yang dilalui juga dicatat dalam sastra bercakap Pali. Mahavastu mengutip kelahiran terdahulu dimana Kaundinya merupakan seorang pedagang pelayaran yang kehilangan seluruh kekayaannya di sebuah peristiwa kapal karam di tengah-laut. Kaundinya yang belakang sekali pergi berusaha mendapatkan raja Kosala, yang populer lebar reputasinya untuk filantropi. Akan tetapi monarki Kosala telah membelakangi kerajaannya dan menyerahkan kerajaannya kepada raja Kasi yang tidak kekurangan di sekitarnya. Raja Kosala menjalankan hal tersebut manfaat menghindari pertumpahan darah, sejak raja Kasi mengancam untuk menyerbu. Akan tetapi, raja Kasi akan menangkap raja Kosala dan menitahkan penghargaan luhur akan hal tersebut. Raja Kosala (Buddha Gautama pada kelahiran lagi sebelumnya) mengikat dirinya dan berdiskusi kepada pedagang untuk menyerahkannya kepada Kasi supaya pedagang tersebut tidak lagi tidak kekurangan dalam kemiskinan. Akan tetapi, ketika raja Kasi mendengarkan hal ini, ia menarik mundur pasukannya dan mengembalikan wangsa Kosala. Raja Kosala yang belakang sekali mengembalikan kekayaan si pedagang. Buddha Gautama mengutip kejadian ini manfaat menggambarkan ikatan selang mahluk hidup yang diperluas hingga keberadaan terdahulunya. Pada kelahiran-kembali lainnya dalam Mahavastu, Kaundinya dan empat rekannya yang kelak dibuat sebagai bhikkhu pertama merupakan pedagang pelayaran dibawah perintah Buddha Gautama yang akan datang. Buddha yang akan datang tersebut mengorbankan dirinya manfaat menyelamatkan mereka dari kematian di laut. Divyavadana menggambarkan dua kelahiran-kembali Kaundinya. Salah satunya ia merupakan seekor burung bernama Uccangama. Pada peluang lain, ia merupakan seekor harimau betina dan Buddha Gautama merupakan harimau lain. Buddha mendatang tersebut mengorbankan hidupnya dengan mempersembahkan dirinya sebagai santapan kepada harimau betina supaya harimau betina tidak memakan anak-anak harimaunya.[1]
Buku "Lima Ratus Pengikut" anggota (delapan) dari Sutra Teratai Mahayana meramalkan bahwa pada masa mendatang ia akan dibuat sebagai Buddha yang dinamai "Kecerahan Univesal" (bahasa Inggris: Universal Brightness).[6]
Sumber acuan
Asal :
pasar.kurikulum.org, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, perpustakaan.web.id, dll.